Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas yang Tak Terlihat
Shabiya duduk di pinggir ranjang, kakinya terlipat di bawah tubuhnya. Matanya menatap Chandra yang berdiri di dekat jendela, dengan segelas whiskey yang hampir kosong di tangannya. Ia tampak seperti patung, punggungnya tegak, bahunya tegang, pandangannya kosong mengarah ke hujan di luar.
Setelah beberapa saat hening, Shabiya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
"Chandra," suaranya pelan tapi tegas. "Aku ingin tahu sesuatu."
Chandra tidak menoleh. Matanya masih menatap ke luar, tapi ada jeda kecil sebelum ia menjawab, suaranya dalam, nyaris datar. "Apa?"
Shabiya menggigit bibir bawahnya, menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Tentang Erika. Tentang kalian."
Ketegangan di bahu Chandra semakin terlihat. Ia tidak bergerak, tapi Shabiya tahu bahwa kata-katanya telah menusuk sesuatu yang dalam, sesuatu yang rapuh.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya tetap datar, tapi ada nada tajam yang menyelinap di baliknya. "Kenapa kau ingin tahu?"
"Aku hanya ingin memahami, ingin tahu lebih banyak," jawab Shabiya dengan tenang, meskipun hatinya berdebar. Ia tahu ini pembicaraan yang berbahaya, tapi ia sudah terlanjur bicara.
Akhirnya, Chandra berbalik. Tatapannya gelap, tajam, tapi ada sesuatu yang lain di matanya_sesuatu yang hampir menyerupai rasa sakit. Ia berjalan perlahan ke arah ranjang, berdiri di depan Shabiya, menatapnya dengan intensitas yang membuat wanita itu ingin mundur tapi tidak bisa.
"Erika," katanya pelan, hampir berbisik. "Adalah kesalahan terbesarku."
Shabiya terdiam, tidak memotong. Ia tahu Chandra tidak mudah berbagi, dan jika ia berbicara sekarang, maka itu adalah momen yang langka.
"Kami bertemu ketika aku masih berusaha membangun hidupku. Dia cerdas, menarik, penuh dengan ambisi. Aku pikir... aku pikir dia mencintaiku." Chandra tertawa kecil, tapi itu lebih terdengar seperti ejekan untuk dirinya sendiri. "Ternyata dia hanya mencintai apa yang bisa kuberikan padanya."
Shabiya melihat luka itu di mata Chandra, luka yang meskipun sudah lama, masih belum sepenuhnya sembuh. "Dan Awan?" tanyanya pelan.
Chandra tersenyum tipis, tapi itu senyuman yang pahit. "Saudaraku sendiri. Mereka berselingkuh di belakangku. Aku bahkan tidak tahu kapan itu dimulai. Aku hanya tahu bahwa ketika akhirnya aku menyadarinya, segalanya sudah terlambat."
Ia duduk di sofa di seberangnya, tubuhnya bersandar ke belakang, tapi auranya tetap tegang. "Aku tidak pernah membayangkan bahwa pengkhianatan itu akan datang dari dua orang yang seharusnya paling kupercayai. Erika dan aku... kami berencana untuk menikah. Aku membeli rumah ini, ya, untuk dia." Tatapannya beralih ke sekeliling ruangan, dan ada sesuatu yang getir dalam suaranya. "Aku membangun tempat ini untuk kami. Tapi sayangnya, dia memilih kakakku."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh dengan rasa sakit yang tersembunyi di balik nada suara Chandra yang dingin. Shabiya merasa dadanya sesak, bukan karena apa yang Chandra katakan, tetapi karena cara ia mengatakannya_seolah-olah luka itu tidak hanya menghancurkannya tetapi juga mengubahnya menjadi seseorang yang berbeda.
"Dan sekarang," lanjut Chandra, menatap Shabiya dengan tajam, "rumah ini bukan lagi untuk nya. Ini milik kita. Aku membangun ulang semuanya untuk kita."
Shabiya mengangguk pelan, tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia ingin menenangkan Chandra, ingin menjelaskan bahwa ia tidak berniat mengungkit luka lama itu. Tapi sebelum ia bisa berbicara, Chandra melanjutkan.
"Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama, Shabiya," katanya dengan nada rendah tapi tegas. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi."
Ada intensitas dalam kata-katanya yang membuat Shabiya hampir tidak bisa bernapas. Ia tahu bahwa ini adalah deklarasi yang serius, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Chandra berdiri, meninggalkan gelas whiskey di atas meja.
"Aku butuh udara segar," katanya singkat sebelum berjalan keluar, meninggalkan Shabiya sendirian di kamar mereka.
***
Malam di luar kamar mereka sunyi, hanya terdengar sesekali suara hujan yang tersisa mengetuk lembut jendela. Udara dalam ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk meredakan kegelisahan di hati Chandra. Setelah hampir satu jam di luar, ia akhirnya kembali, langkahnya pelan saat memasuki kamar. Ia tidak ingin membangunkan Shabiya_tidak setelah perdebatan panjang tadi.
Tapi saat matanya menangkap sosoknya, ia terdiam di ambang pintu.
Shabiya tertidur di sisi ranjang, dengan posisi menyamping, wajahnya menghadap ke Chandra. Rambut panjangnya terurai di atas bantal putih, menciptakan kontras yang membuatnya tampak seperti lukisan. Cahaya lampu malam yang lembut menyorot wajahnya, menonjolkan setiap lekuk halus dan alisnya yang melengkung sempurna.
Wajahnya begitu polos, begitu alami, begitu... rapuh.
Chandra merasakan dadanya mengencang. Selama ini, Shabiya baginya adalah sosok yang tangguh, berdiri seperti dinding batu di hadapan badai. Tapi sekarang, ia melihat sisi lain dari istrinya_sisi yang tenang, hampir tak tersentuh.
Ia mendekat tanpa suara, berhenti di sisi ranjang, matanya masih terpaku pada wajah Shabiya. Bahkan dalam tidur, ada sesuatu yang membuat wanita itu tampak kuat. Tidak ada kerutan kecemasan, tidak ada tanda bahwa ia terbebani oleh perdebatan atau masalah pekerjaan. Hanya ketenangan, keindahan yang sederhana namun memukau.
Chandra menghela napas pelan, hampir tidak terdengar. Pikirannya kembali pada percakapan mereka sebelumnya. Shabiya tidak salah ingin tahu tentang Erika, tentang masa lalu yang Chandra benci untuk diingat. Tapi ia tidak siap untuk membuka semua itu, tidak ketika setiap kenangan terasa seperti duri yang mencabik-cabik hatinya.
Ia tidak menyalahkan Shabiya karena bertanya, tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya membiarkannya masuk. Tidak sepenuhnya.
"Maaf," bisiknya, nyaris tanpa suara. Kata itu meluncur tanpa disadari, dan ia sendiri terkejut telah mengucapkannya.
Matanya jatuh ke bibir Shabiya_bibir yang pernah disentuhnya, pada pesta pernikahan mereka. Itu adalah ciuman yang cepat, penuh formalitas. Tapi malam ini... ia merasakan dorongan yang tidak bisa dijelaskan. Keinginan yang tidak logis untuk merasakan lagi bagaimana rasanya menyentuh kelembutan itu, untuk mengetahui bagaimana rasanya benar-benar memilikinya.
Chandra menunduk sedikit, cukup untuk mencium aroma lembut yang berasal dari rambut Shabiya. Campuran sampo dan sesuatu yang lain_mungkin dirinya sendiri.
'Apa yang sedang kau lakukan?' pikirnya sendiri, menegur dirinya yang mulai terbawa perasaan. Tapi matanya tetap tertuju pada bibir itu, pada wajah istrinya yang tenang dan damai. Keinginan itu menguat, membuatnya frustrasi.
Ia mengulurkan tangan, hampir menyentuh pipi Shabiya, sebelum menariknya kembali dengan cepat. Napasnya menjadi berat. Ini salah. Dia tidur. Dia tidak tahu.
Namun, dorongan itu tidak hilang. Sebaliknya, semakin kuat. Ia tahu betapa salahnya menyerah pada perasaan itu sekarang, tetapi setiap inci dirinya berteriak untuk mendekat, untuk mengambil apa yang sebenarnya sudah menjadi miliknya.
Ia menutup matanya, menarik napas panjang, mencoba mengendalikan dirinya. Dan setelah beberapa saat, ia mundur satu langkah.
Ia kembali berdiri di ambang pintu, menatap Shabiya dari kejauhan. Perasaannya adalah campuran yang aneh—keinginan, frustrasi, dan kekaguman yang membingungkan.
"Kenapa kau harus membuatku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah keheningan.
***