Di balik suami yang sibuk mencari nafkah, ada istri tak tahu diri yang justru asyik selingkuh dengan alasan kesepian—kurang perhatian.
Sementara di balik istri patuh, ada suami tak tahu diri yang asyik selingkuh, dan mendapat dukungan penuh keluarganya, hanya karena selingkuhannya kaya raya!
Berawal dari Akbar mengaku diPHK hingga tak bisa memberi uang sepeser pun. Namun, Akbar justru jadi makin rapi, necis, bahkan wangi. Alih-alih mencari kerja seperti pamitnya, Arini justru menemukan Akbar ngamar bareng Killa—wanita seksi, dan tak lain istri Ardhan, bos Arini!
“Enggak usah bingung apalagi buang-buang energi, Rin. Kalau mereka saja bisa selingkuh, kenapa kita enggak? Ayo, kamu selingkuh sama saya. Saya bersumpah akan memperlakukan kamu seperti ratu, biar suami kamu nangis darah!” ucap Ardhan kepada Arini. Mereka sama-sama menyaksikan perselingkuhan pasangan mereka.
“Kenapa hanya selingkuh? Kenapa Pak Ardhan enggak langsung nikahin saya saja?” balas Arini sangat serius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Kresek-Kresek
“Kamu di mana?” lirih Ardhan sembari mengemudikan mobilnya sendiri.
Ardhan tak lagi memakai sopir, hingga pria itu harus jauh lebih hati-hati dalam mengemudinya.
“Di kontrakan. Tempat tinggal utama kita memang di kontrakan, kan? Paksu sudah mau pulang?” balas Arini dari sambungan suara di ponsel Ardhan.
Baru mendengar suara Arini yang sangat nyaring, Ardhan refleks nyengir. Mobil yang Ardhan kendarai, baru saja memasuki pelataran kediaman keluarganya yang sangat luas. Kediaman yang keluarga Ardhan tempati sebenarnya merupakan warisan turun temurun dari keluarga terdahulu. Selain itu, baik dari pihak mama maupun pihak sang papa, keluarga orang tua Ardhan memang dari kalangan berada. Kendati demikian, semua bangunan maupun segala sesuatu yang ada di sana termasuk itu klinik, selalu mengalami renovasi seiring bergantinya waktu. Hingga bangunan sekaligus keadaan di sana selalu tampak terawat layaknya baru.
Kini, di tengah hujan yang mengguyur, Ardhan sengaja langsung memarkir mobilnya di depan kontrakan dirinya dan sang istri tinggal sementara. Tampak Arini yang sigap menunggu di teras kontrakan, tampak sangat ceria. Padahal sudah tengah malam, tapi Arini terlihat sangat ceria bahkan energik.
“Tuh anak enggak ada ngantuk-ngantuknya. Beterai nyawanya selalu full. Apa malah baru bangun tidur?” pikir Ardhan sambil mematikan mesin mobilnya. Kedua matanya kerap mengawasi sang istri yang memakai piyama lengan panjang warna kuning. Arini tetap memakai hijab dan memang baru akan melepasnya ketika mereka sedang di kamar hanya berduaan.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sementara alih-alih membawa payung, Arini justru menghiasi kedua tangannya menggunakan handuk besar. Layaknya anggapan Ardhan, Arini begitu ceria bahkan energik. Seolah baterai kehidupan Arini selalu penuh.
“Di situ saja, licin jangan ikut nyusul!” sergah Ardhan sambil buru-buru turun dari mobil. Ia membiarkan tubuhnya terguyur hujan yang terbilang deras dan bahkan sampai disertai angin kencang.
Mendengar wanti-wanti sang suami, Arini yang awalnya akan menghampiri Ardhan refleks mundur. Namun setelah Ardhan ada di hadapannya, Arini sudah langsung membentangkan salah satu handuknya kemudian menyelimutkannya di kepala Ardhan.
“Tasnya enggak dibawa turun?” ucap Arini agak berseru. Sebab hujan deras disertai angin yang berlangsung, membuat suasana jadi bising.
“Besok saja. Takutnya basah. Lagipula enggak ada yang perlu aku kerjakan,” sergah Ardhan yang langsung mendekap erat tubuh Arini kemudian menggiringnya masuk ke dalam kontrakan.
“Eh, kamu tanam cabai di pot gitu? Ini hasil kamu seharian ini ngebolang?” tanya Ardhan mendadak membawa Arini mundur.
“Iya, Paksu. Aku iseng tanam-tanam. Ada cabai rawat, cabai besar, tomat, seledri, sawi. Kangkung juga aku tanam di sebelah kamar mandi. Biar suasananya seger!” balas Arini sangat bersemangat. Baterai nyawanya jadi selalu full. Sebab memiliki suami tanggung jawab, good looking sekaligus good rekening, bahkan bonus keluarga mertua super perhatian, membuat Arini tak memiliki beban. Arini merasa sangat bahagia sekaligus damai.
“Memangnya kamu enggak tahu kalau tanam cabai di depan rumah, bisa bikin kepala keluarga di rumahmu jadi galak?” ucap Ardhan serius.
“Hah? Kata siapa? Kok ibu, bahkan mbah Septi enggak bilang? Cuma bilang katanya aku rajin?” balas Arini yang memang langsung jadi bingung.
“Mereka mana berani ke kamu. Kamu kesinggung dikit saja bisa b a n t i ng mereka. Buktinya, mbah Ojan saja kapok dan langsung ketakutan ke kamu setelah dihan t a m sajadah subuh tadi!” yakin Ardhan.
Efek Ardhan masih memeluknya erat dari belakang, Arini yang jadi tidak bisa leluasa bergerak, sengaja menggunakan kedua kakinya untuk menendang-nendang potnya hingga ke teras tetangga sebelah kontrakannya.
“Apaan itu?” serius Ardhan yang sebenarnya sudah sangat ingin ngakak.
“Biar suamiku enggak galak. Cukup suami tetangga saja yang galak. Ayo cepat masuk pak Suami. Air hangatnya sudah aku tuang di ember kamar mandi ya. Mandi pakai air hangat setelah hujan-hujanan bisa bikin tubuh enggak meriang!” semangat Arini sampai meloloskan diri dari dekapan sang suami.
Arini begitu sibuk memindah lima pot berisi calon pohon cabai yang ia beli siang ini ke pasar. Kebetulan, dari sana dekat ke mana-mana. Mau ke pasar, mau ke alpa, mau cari makanan juga banyak yang jual. Beda jika ia tinggal di rumah orang tuanya yang selain sudah jauh dari mana-mana, masih harus berhadapan dengan mbak Marini yang takut mas Joko-nya keblinger kepada Arini.
“Jangan ditaruh di teras tetangga lah. Takut aku jadi penyebab api rumah tangga. Mending ditaruh di teras kontrakan sebelah saja yang masih kosong!” heboh Arini sabil membawa dua pot sekaligus.
“Hei, ... sudah. Taruh lagi di pinggir sini saja. Enggak apa-apa. Yang tadi itu aku hanya bercanda!” ucap Ardhan yang kemudian menghampiri Arini. Ia melepaskan tawanya kemudian mengambil alih pot berisi calon penghasil cabainya.
“Ih Pak Suami. Serius, aku pikir semua yang kamu katakan itu benar!” sebal Arini tetap ngambek dan memimpin langkah. Ia bahkan sengaja mengunci Ardhan di luar meski itu hanya sebentar. Karena setelah Ardhan panik, giliran dirinya yang menertawakan Ardhan.
“Selalu bahagia begini. Bahkan pak Ardhan sudah langsung sayang banget ke aku. Meski di beberapa kesempatan, dia juga enggak segan jail. Namun jailnya dia justru bikin kebersamaan kami makin seru. Aku jadi berpikir, apa yang harus aku balas bahkan bayar untuk kebahagiaan yang sekadar aku bayangkan di dalam mimpi saja, enggak pernah terjadi?” pikir Arini tengah menyiapkan wedang teh hangat di dapurnya.
Dapur di kontrakan ia tinggal memang tidak luas, tapi sangat nyaman dan fasilitasnya serba ada mengingat Arini sengaja membeli semuanya. Termasuk juga dengan kamar mandinya yang tidak begitu luas, selain kamar tidur yang hanya ada dua dan itu bersebelahan.
“Ini beneran enggak mau aku masakin apa hangatin makanan?” tanya Arini sambil membawa segelas besar wedang jahe. Ia sampai menggunakan lambar.
“Ada buah, kan?” tanya Ardhan sambil mengeringkan kepalanya.
“Aku sudah potong buah kiwi. Paksu bilang, pengin buah kiwi,” balas Arini sambil menatap sang suami yang langsung meresponnya dengan anggukan dua kali. Menandakan, keputusannya memotong buah kiwi, benar sesuai yang diharapkan sang suami.
“Ibu sudah tidur dari tadi? Sudah makan, kan?” tanya Ardhan dengan suara lirih sambil mengikuti langkah Arini yang meninggalkan dapur dan jelas akan langsung masuk ke dalam kamar mereka. Ia ditugasi untuk mematikan lampu dapur.
“Si mbakmu sama mas Joko, ada hubungin kamu?” lanjut Ardhan makin lembut seiring ia yang menutup pintu kamar mereka.
“Enggak ada. Lagian kan mereka enggak punya nomorku. Dan aku pun enggak ada niat buat hubungin mereka. Nanti kalau mereka apalagi mbak Marini butuh, pasti juga cari aku. Dia kan tipikal yang begitu,” jelas Arini yang baru menaruh wedang jahenya di meja kecil di sebelah ranjang tidur.
Selain ada tempat tidur berupa kasur tanpa ranjang, di sana juga dilengkapi lemari pakaian, meja, dan sebuah kursi. Di meja yang ada di sebelah tempat tidur, juga merangkap jadi meja rias mereka. Kebetulan, di sana juga dilengkapi cermin rias berukuran sedang. Sungguh hunian yang nyaman apalagi penghuninya juga memperlakukannya penuh sayang.
Setelah terdiam sambil menatap wajah Arini lama, Ardhan berangsur meraih sebelah tangan Arini. Arini nurut saja dan yakin suaminya akan mengajaknya duduk di tempat tidur mereka bahkan tentu lebih. Apalagi Arini mulai paham, makin suasana sepi dan mereka hanya sedang berdua. Makin besar pula kemungkinan kebersamaan romantis yang akan Ardhan lakukan.
“Kresek!”
“Heh?” kaget Ardhan refleks buru-buru berdiri, meski ia baru duduk di kasur mereka. Arini yang ia tuntun bahkan tak ia izinkan duduk.
“Paksu, kenapa? Kasurnya kenapa? Nyetrum? Paksu langsung mental gitu?” panik Arini yang memang langsung jadi takut.
“Astaghfirullah ...,” lirih Ardhan sesaat setelah ia.sampai menghela napas dalam.
“Kenapa ih!” Lirih Arini makin khawatir.
“Kasurnya bunyi kresek-kresek," lirih Ardhan berusaha menjelaskan.
“Ya memangnya kenapa? Masih ada kreseknya enggak aku lepas. Takutnya pas aku mens, tembus.”
“Sudah buka saja kreseknya. Nanti kedengeran sampai ke Ibu. Ini tembok enggak setebal tembok di rumah orang tuaku loh. Kresek-kresek gitu. Ibu pasti paham apa yang kita lakukan. Lagian kita ‘mainnya’ enggak mungkin sebentar. Hujan pun sudah reda enggak ada yang buat peredam suara.” Yang membuat Ardhan gemas, Arini yang awalnya serius dan terlihat sangat penasaran, jadi sibuk menahan tawa setelah mendengar penjelasannya. Di lantai hadapannya, Arini jongkok sambil mer e m a s perut dan sebisa mungkin menahan tawanya.
“Kresek-kresek. Ya Allah ... kirain tadi apa!” lirih Arini di sela kesibukannya menahan tawa dan itu karena kelakuan Ardhan yang malah langsung membopongnya.
“Kresek-kresek, Paksu ....”
“Duh ... ya sudah dilepas dulu kreseknya.”
“Semangat Paksu ... semangat. Jangan lemas gitu!”
(Ramaikan yaaa 😂😂😂😂😂)
ayo up lagi
batal nikah wweeiii...
orang keq mereka tak perlu d'tangisi... kuy lah kalean menikah.. 🤭🤭🤭🤭🤭🤣🤣🤣