Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamyang
Centhini menceritakan tentang bahwasanya Gunung Kawi banyak dikunjungi oleh wisatawan ataupun peziarah yang malah mayoritas berasal dari suku Jawa, Madura dan Tionghoa. Selain klenteng, ada banyak juga bangunan-bangunan bergaya Cina di tempat itu.
“Ini semua ada hubungannya dengan satu sosok laki-laki Cina yang bernama Tamyang. Ia datang ke Gunung Kawi tahun 40-an.”
Centhini tidak menceritakan secara detil tentang sejarahnya. Tetapi beginilah detail cerita di balik nuansa pesugihan ini.
Wilayah pesarean atau pemakaman yang dikeramatkan di Gunung Kawi adalah malam Kanjeng Nyai Zakaria II yang wafat pada tanggal 22 januari 1871 serta makam Raden Mas Imam Soedjono yang wafat para tanggal 8 Februari 1876.
Kyai Zakaria inilah yang dikenal dengan sebutan Eyang Jugo. Beliau adalah kerabat dari Keraton Kertasura, Mataram Jawa, yang juga menjadi pengawal perjuangan Pangeran Diponegoro pada masa penjajahan Belanda yang terjadi di dalam Perang Jawa pada tahun 1825 sampai 1830. Beliu juga merupakan kakek buyut dari Susuhanan Pakubuwono I. Sedangkan Raden Mas Imam Soedjono merupakan buyut dari Sultan Hamengku Buwono I yang memerintah Keraton Yogyakarta pada tahun 1755 sampai 1892.
Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina di masa lalu. Suatu saat, beliau bertemu dengan seorang perempuan Cina hamil yang kehilangan suaminya. Eyang Jugo yang memang memiliki tabiat penolong dan sifat welas asih tersebut, tentu membantu sang perempuan, termasuk dalam hal keuangan. Ini karena sang perempuan Cina hamil itu berada dalam kemiskinan.
Eyang Jugo membantu sang perempuan sampai masa persalinan. Namun, Eyang Jugo memang harus kembali ke pulau Jawa, ke kampung halamannya. Sebelum pulang, Eyang Jugo berpesan kepada perempuan itu agar jika anaknya sudah besar, diminta untuk mengunjungi Gunung Kawi di pulau Jawa.
Anak janda miskin itu bernama Tamyang.
“Entah perhitungannya benar atau nggak, Tamyang dikatakan datang juga ke Gunung Kawi pada tahun 40-an. Logikanya sih, kalau dihitung-hitung dari tahun hidupnya Eyang Jugo, kelahiran Tamyang dan tahun Tamyang datang ke Gunung Kawi, harusnya Tamyang berusia sangat tua. Tapi, ya namanya cerita legenda, Tamyang dikenal sebagai laki-laki Cina dewasa saja yang selalu berpakaian berwarna hitam-hitam,” jelas Centhini.
“Atau mungkin sebenarnya Tamyang itu tidak persis anak dari si janda miskin itu. Bisa saja anaknya yang lain, atau keturunannya,” balas Dihyan.
Centhini mengedikkan bahu. “Bisa jadi. Tapi, intinya memang si Tamyang ini datang ke Gunung Kawi untuk membalas jasa, menunjukkan penghormatan dan pengambdia. Tamyang merawat makan Eyang Juga yang terlah berbuat baik kepada ibunya, ehm … pokoknya perempuan janda miskin itu, dengan merawat makam itu dengan baik. Dia lah yang kemudian membangun tempat berdoa gaya Cina alias klenteng disana pula.”
“Terus, kenapa banyak kemudian orang-orang ke Gunung Kawi untuk melakukan praktik pesugihan, Mbak?”
“Nah, karen disana dibangun klenteng, maka ya banyak juga orang Cina yang datang untuk sembahyang. Suatu saat ada orang Cina kelas menengah, yang tidak kaya, datang untuk sembahyang di klenteng. Sekembalinya dari Gunung Kawi, ia menjadi orang yang kaya-raya. Bahkan, saat ini, keluarganya dikenal sebagai salah satu keluarga terkaya di negara ini, Indonesia.”
“Ooo … dari situ mungkin orang-oran beranggapan bahwa orang Cina itu mendapatkan pesugihan dari ritual tertentu di Gunung Kawi,” ujar Dihyan.
“Tidak hanya karena satu orang Cina itu. Rumor beredar bahwa setiap Senin Pahing dan Jumat Legi, masyarakat keturunan Cina memenuhi Gunung Kawi untuk mendapatkan berkat yang sama.”
“Kamu percaya itu Mbak?”
“Ya, nggak tahu juga. Bisa aja karena memang orang-orang Cina adalah pekerja keras, sehingga banyak dari mereka sukses. Tapi, kamu lihat sendiri, Yan. Aku kan bukan datang dari keluarga berada, bahkan dikategorikan sebagai melarat. Lihat aja sekeliling kamu di Singkawang ini. Malah lebih banyak Cina miskin dibanding yang kaya. Lagipula, orang-orang Cina yang datang ke Gunung Kawi sebenarnya hanya bersembahyang, yang dilakukan di hari-hari tertentu sesuai kepercayaan mereka. Ini juga mungkin sebagai bagian usaha untuk menjaga budaya Cina yang ada di Gunung Kawi, juga menghormati Eyang Jugo seperti yang telah dilakukan Tamyang.”
“Hmm … rumit juga pemikiran orang Jawa ya. Melihat orang-orang Cina pada kaya karena bersembahyang di Gunung Kawi, kemudian menyimpulkan bahwa disana letak sumber kekayaan mereka. Karena tuyul, mahluk halus, atau perjanjian dengan iblis,” gumam Dihyan.
“Ya, intinya, aku udah menggenapi janjiku, menceritakan tentang kolaborasi gaib antara Jawa dan Cina. Orang Cina malah yang memulai tradisi ziarah dan berdoa, mungkin melakukan lelaku tertentu di Gunung Kawi. Masalah apakah itu benar atau tidak, mana aku tahu, Yan.’
Walaupun Dihyan sendiri sudah menyimpulkan cerita mengenai Gunung Kawi dan legenda pesugihan itu mungkin sekali dibuat-buat, atau merupakan kesalahpahaman semata, tetap saja sudut pikirannya memberikan ruang untuk rasa percaya. Keris Semar Mesem sudah terlanjur melekat di otaknya.
“Mbak …,” ujar Dihyan.
Centhini menyipitkan kedua matanya memandang ke arah Dihyan. “Kenapa, Yan?”
“Ehm … nggak jadi deh.”
Spontan Centhini menjambak rambut Dihyan dengan gemas, membuat laki-laki itu menjerit seperti seorang perempuan tanpa sadar.
Tadinya Maryam hendak menegur Centhini karena melakukan hal itu kepada Dihyan: membully adiknya itu, tetapi mendengar Dihyan menjerit dengan cara yang lucu itu, Maryam malah tertawa.
Dihyan mengelus-elus kepalanya sendiri dengan wajah yang meringis.
“Ya ampun, le. Njerit kayak gitu. Kalau kedengeran cewek piye? Dianggap nggak macho kowe,” ujar Maryam sembari menahan tawanya.
“Terus masih mikir kenapa kamu masih nggak punya pacar?” ujar Centhini.
“Ejek aja terus …” ujar Dihyan pasrah. “Lagian ngapain mendadak jambak rambut aku, sih?”
“Habisnya, mau tanya malah nggak jadi. Kan gondok aku.”
“Mbok dibujuk dulu kek, tanyain, ‘Apa, Yan? Tanya aja. Nggak usah ragu-ragu gitu. kenapa, takut aku marah, ya?’ apa gimana, gitu.”
“Halah, kayak cewek aja. Yang cewek aku, kok kowe yang kayak perempuan gayanya. Tu, Bu, denger sendiri, tho. Dihyan ini nyusahin diri sendiri, ngerepotin diri sendiri.”
Dihyan menghela nafas panjang dengan kejadian ini.
Sebenarnya ia tadi sedang menimbang-nimbang untuk menceritakan sekalian tentang keris Semar Mesem dengan aksara Cina tersebut. Mungkin ia bisa meminta tolong Centhini untuk membaca aksaranya, apa maksudnya. Namun, tentu ia batalkan. Akan menjadi sangat kacau kalau sampai Centhini mengetahui hal tersebut. Centhini bakal mengomelinya karena telah mengambil hal yang bukan miliknya, yang mungkin adalah bagian dari ritual Tionghoa tertentu, terutama karena ia mendapatkannya di meja abu. Centhini tidak akan peduli penjelasan Dihyan mengenai keanehan benda itu, keris Semar Mesem yang merupakan hal khas budaya Jawa tetapi digunakan oleh orang Cina. Buktinya, sekarang saja ia dibully oleh mbaknya itu sendiri karena perkara sepele.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh