Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vivian, Dihyan, Mendadak Ada Centhini
Vivian dengan gesit memarkirkan motornya di lorong gang antar ruko, kemudian menutup gerbangnya. Dihyan yang berada di belakang Vivian, dibonceng, memeluk pinggang Vivian yang langsing itu dengan perasaan bercampur aduk: nafsu, semangat – excitement, dan geli karena akan melakukan sesuatu yang nakal dan nekat.
Vivian dan Dihyan bergandengan. Mereka saling pandang dan menahan tawa cekikikan mereka ketika menaiki tangga besi di satu sudut bangunan yang cenderung redup tersebut.
Sesampainya di lantai dua, Vivian membuka pintu dengan kunci kamar. Dihyan mengikutinya dengan berjinjit-jinjit.
Setelah pintu ditutup oleh Vivian, gadis itu menyalakan salah satu lampu. Cahaya berhasil menerangi kamar, meski bukan lampu utama yang terlalu terang dan gebyar.
Dihyan menghela nafas. Ia memindai seluruh ruangan anak gadis itu. Aroma kamarnya harum, khas kamar seorang perempuan. Mengingatkannya akan kamar Centhini yang beraroma lembut dan manis seperti ini pula.
Tirai lebar menutupi jendela kaca yang juga cukup lebar. Lemari pakaian, meja kecil dan rak boneka tersusun rapi. Kasur yang terletak di ujung ruangan, terhampar di lantai tanpa dipan atau ranjang, dengan seprai dan selimut yang berantakan.
Vivian mengunci pintu, kemudian bersandar membelakanginya. Ia menatap Dihyan, “Aku belum sempat membereskannya tadi. Baru sadar kalau aku ketiduran.” Vivian tersenyum tidak enak.
Mana Dihyan peduli.
Ia berjalan pelan ke arah sang gadis yang jelas sudah kembali terhanyut di dalam gelora hasrat yang sudah dari tadi ikut menempel di raganya.
Ketika Dihyan merengkuh pinggangnya, secara naluriah Vivian memajukan perutnya yang bersentuhan dengan tubuh Dihyan. Vivian melingkarkan kedua tangannya di leher Dihyan dan bersiap melanjutkan kegiatan yang sempat terputus di lorong antar kompleks pertokoan tadi.
Mereka berpagutan kembali, saling kecup dan saling kecap.
Sudah hampir dua tahun sejak Vivian merasakan ciuman. Ia tahu ia cantik, tapi tak secantik itu. Masih banyak yang lebih menarik dibanding dirinya di Singkawang kota saja. Itu sebabnya ia tak berlebihan dalam berharap pada laki-laki yang mendekatinya. Ia malah akan sigap menerima pinangan seorang laki-laki berperut buncit asal Taiwan dan membawanya pergi dari sini. Pacarnya sebelumnya, seorang laki-laki Cina biasa yang kerjanya hanya menagih ciuman setiap bertemu, dan mantan pacarnya itu sama sekali tidak menarik.
Kini, mana mungkin sosok semenawan Dihyan sanggup tak ia acuhkan. Walau pertemuan keduanya termasuk singkat, Vivian tidak peduli dengan itu semua. Ia sungguh ingin menyicipi manisnya ketampanan itu. Ketika kesempatan itu datang, jelas ia tak ada niat untuk melepaskannya. Inilah saat yang paling tepat.
Tangan Dihyan yang panjang itu perlahan tetapi pasti menuruni lekukan pinggang, pinggul kemudian mendarat di kedua bokong Vivian. Tapi, tetap tidak berhenti. Sembari terus saling kecup, saling membunyikan sentuhan basah kedua pasang bibir mereka tersebut, Dihyan menurunkan tangannya menyentuh paha luar Vivian.
Vivian serasa ingin melonjak. Lecutan listrik mendera setiap jengkal tubuhnya.
Seperti seorang profesional, Dihyan mengangkat satu kaki Vivian dan menariknya mendekat. Rok jins pendeknya tersingkap, dan dengan mudah, karena hanya terbalut selembar cawat, Vivian merasakan kejantanan Dihyan yang sudah separuh bangkit dang mengeras.
Satu tangan Dihyan yang bebas meremas bokong gadis itu perlahan, tetapi sebelum Vivian sempat menyesuaikan nafasnya pada nada-nada percumbuan ini, satu tangan Dihyan yang bebas mendadak sudah sampai di dada kirinya.
Dihyan melepaskan ciumannya, kemudian menatap mata Vivian dalam-dalam. “Aku boleh pegang?” tanya Dihyan setengah berbisik.
Vivian menahan nafas. Pacarnya dahulu pernah berusaha untuk mendapatkan kesempatan ini, tetapi selalu berhasil ia tepis ketika berciuman tangan mantan pacarnya itu bergerilya ke arah dadanya tersebut.
Menganai Dihyan, Vivian jelas tak bisa menolaknya. Dengan bercanda, teman-teman perempuannya, termasuk mitra kerjanya di mini market jelas-jelas mengatakan bahwa mereka iri dengan ukuran dan bentuk buah dada Vivian. Bahkan ketika mengenakan seragam kerja, dada Vivian yang membulat memadat itu seperti pahatan patung yang kencang dan kokoh.
Ia tahu itu. Vivian bahkan bangga dengan miliknya.
Vivian balas menatap Dihyan. Ia memperhatikan kening, pipi dan dagu laki-laki itu yang tegas, hidungnya yang mancung, serta bibirnya yang merah menggairahkan itu. Vivian menggigit bibir bawahnya, kembali menatap mata Dihyan, kemudian mengangguk.
Tangkupan telapak tangan Dihyan di dadanya mengerat dan meremasnya. Vivian menahan desahannya, meski tak sungguh mampu. Ia melarikan ekspresi suara kenikmatan itu dengan kembali mengulum bibir Dihyan.
Dada Vivian semakin membusung bersamaan dengan jantungnya yang berpacu terlalu cepat.
Dihyan duduk di atas toilet, bugil. Satu tangannya mengurut kejantanannya yang bangkit dengan sempurna. Sepasang matanya tertutup.
Vivian mendesah, pangkal pahanya basah, nafsunya membuncah, semua meriah.
Dihyan duduk di atas toilet, bugil. Satu tangannya mengurut kejantanannya yang bangkit dengan sempurna. Sepasang matanya tertutup.
Vivian semakin terlena, ia siap memberikan semua, jiwa maupun raga, pada sang pria, yang begitu mempesona, menawan, jantan, dan wajah yang begitu rupawan.
Dihyan duduk di atas toilet, bugil. Satu tangannya mengurut kejantanannya yang bangkit dengan sempurna. Sepasang matanya tertutup.
Nafsunya sudah diujung kepala. Ia sudah menggenggam dada seorang perempuan lagi, setelah sebelumnya merogoh ke dalam lapisan pakaian Septiani serta hampir menyentuh pucuknya. Dada Vivian yang montok, dada mentok, membuatnya hampir tak percaya bagaiamana bisa ada keindahan seperti ini di dalam dunia. Dihyan sungguh ingin melanjutkannya, melihat bagaimana sebenarnya isi di balik lapisan tanktop dan bra itu.
“Yaan … suwe temen kowe. Lama amat, sih. Mandi, buang hajat, apa tidur?” suara Centhini yang melengking itu menghentak kesadaran Dihyan. Ia tersedot ke dalam alur kenyataan.
“Sial! Sial!” seru Dihyan tertahan.
Satu tangannya masih menggenggam kelelakiannya, yang perlahan turun karena sama terkejutnya dengan dirinya.
“Iya, Mbak. Sik, sebentar. Udah, kamu ke kamar Bapak Ibu aja. Aku nyusul!”
“Yowis, jangan lama-lama, nanti ketiduran lagi.”
Dihyan berdiri cepat. Tubuhnya masih belum basah. Rupa-rupanya ia memang sungguh belum mandi sama sekali, dan ia tertidur sembari menggenggam kejantanannya. Dihyan berjalan ke arah wastafel kamar mandi dan melihat keris Semar Mesem bersinar terang. Aksara Cina yang terlihat menggurat di permukaannya mendadak terbaca jelas.
“Mantra … ching syin itu bekerja!”
Sepasang mata Dihyan melebar. Ia meraih keris tersebut untuk kemudian segera mandi dan membersihkan diri. Jiwanya bergetar oleh semangat.
Memang, Centhini menggagalkan percumbuannya dengan Vivian. Namun, itu tidak masalah sama sekali. Salahnya sendiri melakukannya di saat yang salah. Kelak, nanti malam, ia akan mencobanya lagi, menggulung dirinya dengan selimut dan menenggelamkan dirinya ke dalam mimpi yang sangat nyata tersebut.
Di sudut berbeda, Vivian tersentak dan terbangun. Nafasnya menggebu, dadanya yang menggembung itu kembang kempis. Apa yang sedang terjadi dengannya? Ia memang bukan gadis baik-baik, pemalu, apalagi introver. Tetapi, ia tak pernah sampai bermimpi apalagi membayangkan adegan intim semacam ini, terutama kepada seorang pemuda yang tak ia kenal. Dihyan yang ada di dalam memorinya memang merupakan sosok ganteng dan menarik, tetapi membawanya ke kamar pribadinya dan membiarkan laki-laki menciumi serta menyentuh dadanya rasa-rasanya sangat keterlaluan.
Namun, inilah yang terjadi. Vivian bangun dengan berpeluh, ia mengeluh karena tadi ia melenguh, tetapi gagal bersama-sama Dihyan menyatu dan menjadi utuh. Hampir tak dapat dipercaya bahwa ia tidak bisa menolak apa yang terjadi di dalam mimpi itu, sebaliknya ia malah sangat menginginkan bahwa tadi itu bukan sebuah mimpi belaka.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next