Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Gus Zam
"Bu, Hanung ingin tahu seperti apa calon suami Hanung." kata Hanung saat ia dan Ibu Jam sedang berdua di dapur.
Ibu Jam diam sejenak.
"Jam, kamu tahu keadaan Adib. Jika Hanung bertanya, jawablah apa adanya. Walaupun Hanung sudah menerima lamaran kami, kami masih memberikannya ruang untuk mundur. Kami sadar dengan keadaan Adib, mungkin sudah jalan Adib untuk melalui semua ini."
Begitu pesan yang disampaikan Bu Nyai sewaktu berpamitan. Ibu Jam mengambil nafas sebelum mulai bercerita.
"Hanung, dengarkan cerita Ibu. Gus Zam adalah anak kedua dari Bu Nyai dan Pak Kyai yang lahir 1 tahun setelah kelahiran Ning Alifah, anak pertama. Semua berjalan normal sampai saat Gus Zam berumur 3 tahun, Ning Alifah jatuh sakit. Saat itu, Pak Kyai sedang ada undangan di Kota Jakarta dan tidak bisa pulang. Sedangkan di pesantren sedang sepi karena para santri sedang libur, termasuk Ibu yang pulang ke rumah waktu itu." Ibu Jam berhenti, seolah menahan pilu.
"Bu Nyai terpaksa menitipkan Gus Zam kepada salah satu santri yang saat itu bertugas jaga dan membawa Ning Alifah pergi kerumah sakit. Keadaan Ning Alifah yang kritis mengharuskannya dirawat dan Bu Nyai baru bisa kembali saat malam. Waktu itu Bu Nyai menemukan Gus Zam sudah tidur, jadi beliau tidak berpikiran macam-macam. Singkat cerita, Gus Zam sering dititipkan kepada santri tersebut sampai Ning Alifah diperbolehkan pulang dan Pak Kyai juga sudah kembali." Ibu Jam mulai menitikkan air mata.
Hanung yang sedari tadi mendengarkan, duduk bersimpuh dan menyandarkan kepalanya di pangkuan Ibu Jam. Dengan lembut Ibu Jam mengusap kepala Hanung.
"Bu Nyai sangat terkejut saat Gus Zam terbangun dari tidurnya, menolak untuk didekati dan menangis histeris. Pak Kyai pun menghampiri dan memegangi tubuh Gus Zam. Bukannya tenang, Gus Zam justru semakin berontak dan menangis kesakitan. Seolah ada yang menyuruh, Bu Nyai menarik pakaian Gus Zam sampai terlihat bekas luka kebiruan hampir di setiap inchi tubuhnya. Bu Nyai langsung meminta Pak Kyai untuk membawa Gus Zam ke dokter. Dari sana mereka tahu, Gus Zam telah mendapatkan penganiayaan. Segera Pak Kyai meminta sopir dan para abdi dalem untuk menangkap santri yang bertanggungjawab. Sayangnya santri itu sudah kabur dari pesantren."
Ibu Jam mengusap air matanya. Beliau menahan isakannya. Ibu Jam masih ingat betul saat dirinya kembali dari rumah, keadaan pesantren seperti sedang berduka.
"Gus Zam yang ceria, berubah menjadi orang lain. Suka menyendiri, tidak suka keramaian, takut dengan petir dan gelap, tantrum dan jarang berbicara. Bu Nyai dan Pak Kyai sudah membawa Gus Zam berobat kemana-mana, tetapi belum ada hasil. Hingga mereka pasrah dengan keadaan Gus Zam. Tetapi saat Gus Zam mulai baligh, tantrum nya berkurang. Gus Zam mulai bisa diajak berkomunikasi walaupun hanya dengan keluarganya sampai sekarang."
"Lalu, bagaimana dengan santri yang melakukan penganiayaan itu, Bu?" tanya Hanung mendongakkan kepalanya.
"Setelah satu bulan pencarian, orang tua santri mendatangi pesantren dan mengatakan bahwa anak mereka ditemukan meninggal di sebuah gubuk yang ada di desa mereka. Dari hasil visum, ditemukan penyebab kematiannya adalah overdosis dari penggunaan obat terlarang."
"Innalillahi wa innailaihi roji'un.."
"Sejak saat itu, yang mengetahui perihal Gus Zam bungkam. Mereka tidak lagi membahasnya dan menganggapnya tidak pernah terjadi. Jika saja Bu Nyai tidak memberikan izin, Ibu juga tidak akan menceritakannya kepadamu."
"Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah menceritakannya walaupun itu sangat pilu." Hanung kembali menyandarkan kepalanya.
Informasi demi informasi tentang Gus Zam, calon suaminya mulai memenuhi kepalanya. Hanung merasa ragu saat ini. Jika keluarga Gus Zam saja tidak bisa menanganinya, apalagi dirinya yang orang luar. Apakah Gus Zam akan menerimanya sebagai istri? Sedangkan pertemuan pertama mereka, Gus Zam tidak ingin melihatnya sama sekali.
"Hanung, percayalah.. Allah akan selalu bersama hambanya yang sabar. Tetapi jika kamu ingin mundur sekarang, Bu Nyai dan Pak Kyai akan menghargainya dibandingkan kamu mundur saat sudah menikah nanti." kata Ibu Jam sambil mengusap kepala Hanung.
"Berikan Hanung waktu, Bu." Hanung memejamkan matanya sejenak.
Ia pun beranjak dari simpuhannya dan pergi ke belakang mengambil air wudhu. Ia ingin menyegarkan pikirannya yang saat ini tumpang tindih.
Sementara itu, Bu Nyai dan Pak Kyai sedang duduk bertiga bersama Gus Zam di ruang tamu kediaman mereka.
"Adib, kamu mendengarkan Abi?" tanya Pak Kyai yang mendapatkan anggukan Gus Zam.
"Nak, kamu akan menikah sebentar lagi. Abi hanya minta, kelak perlakukan istrimu dengan baik. Abi dan Umi tidak bisa lagi menjaga kamu. Kamu yang akan menjaga istrimu kelak." Gus Zam tidak memberikan jawaban.
"Hanung." kata Gus Zam kemudian.
Pak Kyai dan Bu Nyai saling menatap. Walaupun mengidap gangguan mental, Gus Zam tidak memiliki gangguan pada kecerdasan intelektual nya. Sehingga semua informasi yang diterimanya tercatat jelas di ingatannya.
"Iya, Nak. Hanung calon istri kamu. Apa kamu bersedia?" kata Bu Nyai.
"Bersedia."
"Nanti Abah tuliskan akadnya, kamu hafalkan untuk hari pernikahan nanti."
"Akad."
Pak Kyai dan Bu Nyai bersyukur, Gus Zam bisa menerimanya. Sekarang mereka hanya perlu fokus mengurus keperluan dan pemberitahuan jika pengantin dan tempat acara berubah.
Saat Pak Kyai dan Bu Nyai pamit untuk mengurus sesuatu, Gus Zam menerawang langit-langit. Layaknya orang normal, Gus Zam memikirkan kemungkinan yang akan terjadi setelah dirinya menikah. Akan tetapi, yang terbesit pada otak Gus Zam saat ini adalah kemungkinan terburuk hingga membuatnya tidak percaya diri.
"Apa aku bisa menjadi imam yang baik?"
"Apa Hanung mau menikah denganku?"
"Bagaimana kalau Hanung menolak?"
"Bagaimana kalau aku menyakiti, Hanung?"
"Bagaimana kalau Hanung tidak menyukaiku?"
"Bagaimana jika Hanung meninggalkan aku?"
"Apa aku akan menjadi batu sandungan, Hanung?"
Berbagai pertanyaan pesimis memenuhi kepala Gus Zam hingga tanpa sadar mengalami sesak nafas. Segera Gus Zam berlari ke kamarnya dan meminum obat dari dokter untuk menekan kecemasannya.
Setelah mengatur nafas dan merasa tenang, Gus Zam berjalan gontai ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Segera Gus Zam melaksanakan sholat asar dan menyibukkan diri dengan ukiran kayunya.
Saat adzan maghrib berkumandang, Gus Zam meletakkan ukiran kayunya dan pergi membersihkan diri, dilanjutkan sholat maghrib munfarid.
.
.
.
.
.
Disclaimer: Author hanya menggambarkan secara umum. Gejala setiap pengidap berbeda-beda, harap konsultasikan ke tenaga profesional.
Resource:
https://www-bridgestorecovery-com.translate.goog/post-traumatic-stress-disorder/is-ptsd-curable/?\_x\_tr\_sl\=en&\_x\_tr\_tl\=id&\_x\_tr\_hl\=id&\_x\_tr\_pto\=sge\#:~:text\=PTSD%20adalah%20kondisi%20yang%20disebabkan,hidup%20yang%20jauh%20lebih%20baik.
padahal udah bagus lho