Dalam waktu dekat, umat manusia telah mengembangkan teknologi canggih yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan antar bintang. Misi perurkan dengan harapan menemukan planet yang layak huni. Namun, saat kru tiba setelah bertahun-tahun dalam cryosleep, mereka menemukan sinyal misterius dari peradaban asing, mengubah misi eksplorasi ini menjadi perjuangan bertahan hidup dan penemuan besar yang bisa mengubah nasib umat manusia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Ramadhan Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Bab 24: Gerbang Menuju Dimensi Kedua
Setelah berhasil menstabilkan dimensi pertama, tim Elena kembali ke markas mereka di kapal luar angkasa Nova Spear. Rasa lega sempat menyelimuti mereka, tapi di dalam hati, mereka tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan yang lebih berbahaya. Dimensi kedua kini menjadi tujuan utama mereka, dan dari laporan yang mereka dapatkan dari pemindaian awal, dimensi itu memiliki atmosfer yang jauh lebih menantang daripada yang pertama.
“Dimensi berikutnya berbeda,” kata Kara saat mereka berkumpul di ruang briefing kapal. “Menurut data dari inti yang kita pulihkan, dimensi kedua dikuasai oleh badai energi yang sangat tidak stabil. Bahkan sinyal komunikasi pun hampir tidak mungkin menembusnya.”
Elena menatap layar yang menampilkan simulasi atmosfer dimensi kedua. Angin kencang dan badai petir energi muncul terus-menerus, seperti amukan alam yang tak henti-hentinya. “Apakah kapal kita bisa melewati itu?”
Samuel, yang bertugas mengatur navigasi, menambahkan, “Kita bisa masuk, tapi dengan risiko tinggi. Sistem perisai kapal akan bekerja maksimal, tapi kita hanya punya waktu terbatas di dalam badai. Lebih dari itu, kita mungkin tidak akan bisa keluar dengan selamat.”
“Berapa lama kita bisa bertahan di dalam?” tanya Elena.
“Kita punya waktu sekitar empat hingga lima jam di dalam badai. Jika kita tidak berhasil menemukan inti sebelum itu, kita harus keluar dan mencoba lagi nanti,” jawab Samuel.
“Tidak ada pilihan lain,” ujar Elena dengan tegas. “Kita harus mengambil risiko. Dimensi ini harus distabilkan, atau seluruh misi kita akan sia-sia.”
Setelah diskusi selesai, mereka bersiap-siap untuk memasuki dimensi kedua. Tekanan di dalam kapal terasa meningkat, bukan karena masalah teknis, tetapi karena semua orang menyadari besarnya bahaya yang menanti. Tak ada yang tahu apa yang akan mereka temui di dalam badai energi itu.
---
Beberapa jam kemudian, Nova Spear meluncur menuju gerbang dimensi kedua. Begitu kapal memasuki gerbang, mereka langsung disambut oleh angin badai yang mengerikan. Perisai kapal bekerja keras untuk menahan tekanan dari luar, sementara petir energi sesekali memukul lambung kapal, membuat seluruh sistem bergetar.
“Kondisi sangat tidak stabil!” teriak Samuel dari kursi navigasinya. “Kita harus bergerak cepat!”
Elena duduk di kursi kapten, matanya terfokus pada layar di depannya. “Aktifkan pemindai, temukan lokasi inti secepat mungkin!”
Kara sibuk memeriksa sistem pertahanan, memastikan perisai tetap aktif dan siap menghadapi segala serangan tak terduga dari badai. Mark, di sisi lain, sudah menyiapkan senjata cadangan jika mereka bertemu dengan makhluk-makhluk energi yang dilaporkan berkeliaran di dalam dimensi ini.
“Kita punya sinyal lemah di arah barat daya,” kata Samuel setelah beberapa saat. “Kemungkinan besar itu sumber energi inti.”
Elena segera memberi perintah, “Arahkan kapal ke sana. Jangan buang waktu.”
---
Setelah beberapa menit melawan badai, mereka akhirnya mencapai area yang diduga sebagai lokasi inti. Tapi alih-alih menemukan sesuatu yang terlihat seperti pusat energi, mereka hanya melihat hamparan tanah berpasir dengan awan gelap yang terus bergemuruh di atas.
“Di mana intinya?” tanya Kara dengan nada bingung.
Samuel memeriksa pemindainya lagi. “Ini aneh… sinyalnya sangat kuat di sini, tapi tidak ada tanda-tanda fisik dari inti energi seperti yang kita temukan di dimensi pertama.”
Mark mengamati sekeliling dengan cermat. “Apa mungkin intinya tersembunyi di bawah permukaan?”
“Bisa jadi,” jawab Elena. “Kita harus turun dan memeriksanya sendiri.”
Mereka bersiap-siap untuk turun dari kapal. Dengan peralatan lengkap, Elena, Kara, Samuel, dan Mark meninggalkan Nova Spear dan mulai menjelajahi area tersebut. Angin badai yang menyapu mereka membuat setiap langkah terasa berat. Meski begitu, mereka terus maju, mengikuti sinyal yang semakin kuat di pemindai Samuel.
“Tempat ini seperti ladang energi murni,” Kara berkomentar sambil berusaha menyeimbangkan diri melawan hembusan angin. “Atmosfernya penuh dengan partikel energi, hampir seperti tempat ini sendiri adalah inti dari kekacauan.”
“Bisa jadi kita berada di jantung dari badai energi itu sendiri,” jawab Samuel. “Ini mungkin penjelasan mengapa intinya begitu sulit dilacak.”
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah celah besar di tanah yang tampak seperti jurang yang sangat dalam. Dari dalam jurang itu, mereka bisa merasakan pancaran energi yang sangat kuat.
“Elena, ini dia,” kata Samuel dengan yakin. “Intinya ada di bawah sana.”
Elena mendekati tepi jurang, melihat ke dalam kegelapan yang berpusar dengan energi. “Kita harus turun, tapi dengan badai di sekeliling kita, ini akan sangat berbahaya.”
“Tapi ini satu-satunya cara,” Kara menegaskan. “Kita tidak bisa kembali tanpa mencobanya.”
Dengan hati-hati, mereka mulai turun ke dalam jurang, menggunakan tali pengaman dan alat bantu gravitasi untuk menyeimbangkan diri. Semakin dalam mereka turun, semakin terasa kuatnya energi yang berputar di sekeliling mereka. Cahaya dari petir energi di atas kepala mereka terus menyambar, menciptakan pemandangan yang menakjubkan namun mematikan.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di dasar jurang. Di sana, di tengah-tengah tanah yang retak dan penuh dengan aliran energi liar, berdiri sebuah monolit besar. Monolit itu memancarkan cahaya biru yang kuat, dan dari jarak dekat, mereka bisa merasakan getaran energi yang sangat intens.
“Ini pasti intinya,” ujar Samuel. “Tapi bagaimana kita menstabilkannya? Tidak ada kristal seperti di dimensi pertama.”
Elena mendekat, mengamati monolit tersebut. Dia merasakan keanehan, seolah-olah ada sesuatu yang berusaha berkomunikasi dengannya. “Ini berbeda,” gumamnya. “Monolit ini… mungkin tidak perlu distabilkan dengan kekuatan luar. Mungkin… kita harus menyatu dengannya.”
Kara menatap Elena dengan bingung. “Apa maksudmu?”
“Coba lihat, ini bukan sekadar objek energi. Ini seperti sumber kehidupan dimensi ini. Kita tidak bisa hanya menghancurkannya atau menanam sesuatu di sini. Kita harus menyalurkan energi kita sendiri ke dalamnya untuk menstabilkannya,” jawab Elena, matanya terpaku pada cahaya monolit.
Samuel memandang Elena dengan keraguan. “Ini sangat berisiko. Jika kita gagal, energi di sini bisa meledak dan menghancurkan seluruh dimensi, termasuk kita.”
Elena mengangguk, menyadari resikonya. “Tapi ini satu-satunya cara. Aku bisa merasakannya. Kita harus mencoba.”
Dengan penuh tekad, Elena meletakkan tangannya di permukaan monolit, merasakan getaran kuat yang segera menyebar ke seluruh tubuhnya. Perlahan, dia mulai menyalurkan energi dari dirinya sendiri ke dalam monolit, mencoba menyelaraskan getaran energi mereka. Kara dan yang lainnya menunggu dengan tegang, siap untuk bergerak jika sesuatu yang buruk terjadi.
Detik-detik berlalu, dan tiba-tiba, cahaya dari monolit mulai berdenyut lebih teratur. Energi liar di sekitarnya perlahan mulai mereda, dan badai di atas mereka terlihat semakin tenang.
“Elena, kau berhasil,” ujar Kara dengan nada kagum. “Energinya mulai stabil!”
Tapi sebelum mereka bisa bernapas lega, bumi di bawah mereka bergetar hebat. Dari balik bayangan monolit, muncul sosok besar dan berbentuk kabut energi. Makhluk itu tampak seperti penjaga dimensi yang sangat kuat, dan dengan suara gemuruh, ia langsung menyerang tim Elena.