Ditindas dan dibully, itu tak berlaku untuk Cinderella satu ini. Namanya Lisa. Tinggal bersama ibu dan saudara tirinya, tak membuat Lisa menjadi lemah dan penakut. Berbanding terbalik dengan kisah hidup Cinderella di masa lalu, dia menjelma menjadi gadis bar-bar dan tak pernah takut melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh keluarga tirinya.
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anim_Goh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aset Penting
Minta bom lika dan komentarnya ya guys. Insyaallah sore crazy up
***
Seperti biasa, pagi ini Lisa bangun cepat kemudian mulai beberes dan menyiapkan sarapan. Meski tubuhnya sendiri sedang terluka, itu tak menghalangi aktifitasnya dalam mengurus rumah. Dan juga, Lisa ingin cepat-cepat pergi membersihkan rumah Tuan Lionel. Di sana, dia merasa terhibur meski kelakuan pria itu sedikit absurd.
"Kenapa aku jadi memikirkan Tuan Lionel ya?" Lisa bergumam seraya menepuk kening. "Konyol."
"Kau bilang apa barusan? Coba ulangi."
Hanum yang kebetulan datang ke ruang makan, tak sengaja mendengar gumaman Lisa. Hanya tak terlalu jelas, jadi dia meminta gadis ini agar mengulangi.
"Tuli ya? Aku bilang ulangi!" bentak Hanum saat Lisa hanya diam saja.
"Tidak mau." Singkat, padat, dan jelas. Lisa cuek sambil menata telur yang telah dimasak ke dalam mangkuk saji. Tak peduli dengan tatapan kemarahan Hanum, dia kembali menyelesaikan pekerjaannya menumis sayuran. Bodo amat.
"Makin dibiarkan kau semakin tidak tahu diri saja ya, Lis. Ingin dipukuli lagi, iya?"
"Pukul tinggal pukul saja kok. Kenapa harus banyak bicara?" tantang Lisa. Sedikit pun dia tak merasa gentar dengan ancaman tersebut. Tubuhnya sudah cukup kebal.
"Kau!"
Napas Hanum sedikit menderu mendengar jawaban Lisa. Kesal, dia akhirnya memilih duduk dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas. Saat akan minum, tiba-tiba Hanum teringat dengan sayembara yang dibuat oleh Nyonya Kinara. Setelah itu dia menatap Lisa sejenak, menimang apakah harus menginterogasi gadis ini atau tidak.
(Lisa sudah bekerja di keluarga Bellin selama beberapa hari. Harusnya dia tahu sedikit banyak watak dan karakter Tuan Lionel. Lebih baik aku bertanya padanya atau tidak ya? Aku butuh informasi untuk mengembalikan keceriaan pria itu agar bisa diterima sebagai menantu di keluarga Bellin. Tetapi bagaimana jika Lisa menolak memberitahu? Dia itukan licik)
Licik? Harusnya kata ini cocok diperuntukkan bagi Hanum dan ibunya. Tetapi memang seperti itulah manusia. Semut di sebrang samudra terlihat, tapi gajah di pelupuk mata tak terlihat.
"Emm Lis, Tuan Lionel itu orangnya seperti apa?" tanya Hanum hati-hati. Besar keinginan kalau Lisa akan menjawab tanpa ada perdebatan.
Sebelah alis Lisa terangkat ke atas. Untuk apa Hanum bertanya soal Tuan Lionel? Mencurigakan. Dan Lisa akhirnya memilih untuk tetap bungkam. Malas meladeni Hanum yang entah apa tujuannya bertanya seperti itu.
"Jangan memancing keributan ya, Lis. Aku bertanya baik-baik padamu. Jawablah!"
"Apa yang harus ku jawab?" Lisa berbalik menatap Hanum. "Kalian berdua menjadikan aku pelayan di rumah itu tanpa meminta persetujuanku lebih dulu. Dan sekarang kau bertanya seperti apa Tuan Lionel? Konyol. Aku pelayan, bukan babysitter. Tahu!"
Glukk
Hanum menelan ludah. Dia tercengang melihat cara Lisa menjawab. Apa-apaan gadis ini? Kenapa malah membuatnya diam tak berkutik? Dia kalahkah?
"Aku penasaran. Kenapa tiba-tiba kau menanyakan soal Tuan Lionel? Apa mungkin karena kau mengetahui sesuatu yang berhubungan dengannya?"
"T-tidak. Kenapa juga harus mengetahui sesuatu. Tidak ada," jawab Hanum gugup. Lisa tidak boleh tahu mengenai sayembara itu. Bisa gawat nanti. Hanum khawatir Lisa akan ikut mendaftar juga.
"Bohong. Kau terlihat gugup saat menjawab. Jujur saja, kau pasti mengetahui sesuatu, bukan?"
"Tidak!"
"Iya."
"Sudah ku bilang aku tidak tahu!"
"Mengaku saja. Sorot matamu tak bisa bohong. Aku .... "
Pletakkk
Panik terus dicecar, Hanum reflek melemparkan garpu dan mengenai kepala Lisa. Setelah itu dia bersedekap tangan sambil berdecih, kesal karena gadis ini terus mendesak. "Itu baru garpu. Kalau kau masih bersikap lancang, bisa jadi yang melayang adalah nyawamu. Tahu?"
Tak ada sahutan. Lisa? Tentu saja dia geram. Akan tetapi dia tak berniat membalas perbuatan Hanum karena barusan melihat siluet nenek sihir yang sedang berjalan menuju ruang makan. Jika diteruskan, bisa jadi hari ini dia akan akan kembali dikeroyok. Jadi Lisa memilih untuk sabar sambil memikirkan cara untuk membalas.
(Jangan senang dulu, Hanum. Mata dibalas mata, garpu dibalas garpu. Tunggu saja. Ku pastikan hari ini juga kau akan mendapat karma dari apa yang telah kau perbuat kepadaku. Huh)
"Ada apa ini?" Arina menatap Lisa dan Hanum bergantian. Tengkuknya meremang, teringat akan kebrutalan Lisa saat menghajarnya. Khawatir gadis bengal itu akan kembali kesetanan, dia memilih duduk agak menjauh. "Sepertinya kalian baru saja bertengkar. Apa benar?"
"Tumben sekali kau tidak langsung memakiku, Bu. Masih trauma dengan seranganku ya?" ejek Lisa menyadari kalau ibu tirinya sedang menjaga jarak. Dia kemudian menyeringai sembari memainkan pisau di tangannya. "Pasti kau tidak bisa tidur nyenyak setelah ku hajar. Benar?"
"Tutup mulutmu, bocah sialan. Kau sedang bicara dengan orang tua!"
"Orang tua?"
Hanum dan ibunya saling melempar pandangan menyaksikan Lisa yang malah tertawa terbahak-bahak. Dalam hati mereka membatin, ada apa dengan gadis ini? Kenapa sikapnya terlihat seperti orang tidak waras?
"Aku memanggilmu ibu bukan karena kau orang tuaku, tapi karena kau adalah waliku. Dan juga harus berapa kali ku katakan, kapan aku pernah tinggal di rahimmu sehingga kau berani menyebut dirimu sebagai orang tua? Jangan mengada-ada, Bu. Cacing di dalam perutku sampai terpingkal-pingkal mendengar leluconmu," ucap Lisa sambil tertawa mengejek.
"Tapi .... "
"Bu, sudah." Hanum mengangguk samar. Sorot matanya memberi kode agar tidak melanjutkan perdebatan. "Kita butuh informasi darinya untuk mengulik seperti apa kehidupan Tuan Lionel. Tolong tahan dulu emosimu. Dia salah satu aset terpenting kita sekarang."
Arina mendekat. Hampir saja dia lupa kalau Lisa bekerja di rumah keluarga Bellin. Berbisik-bisik lirih, dia dan Hanum membicarakan rencana agar bisa memenangkan sayembara.
(Apa yang sedang mereka bicarakan ya? Sepertinya serius sekali. Jadi penasaran)
"Ekhmmm!" Lisa berdehem, membuat kedua nenek sihir itu berhenti berbisik-bisik kemudian menatapnya heran. "Seseorang memberitahuku tentang sebuah sayembara. Karena kalian adalah waliku, aku ingin meminta ijin untuk ikut serta dalam sayembara itu."
"A-APA???!"
"Ck, bisa tidak sih jangan berteriak? Gendang telingaku sampai sakit."
"Tidak, kau tidak boleh mengikuti sayembara itu!" teriak Arina sambil berdiri. Dia berjalan cepat menghampiri Lisa kemudian menatapnya galak. "Dengar ya, Lis. Tugasmu adalah menjadi pelayan di rumah ini untuk menebus dosa atas kematian ayahmu. Selama penebusan itu belum selesai, kau tidak diijinkan mengikuti kegiatan apapun di luar rumah tanpa seijinku. Mengerti?"
"Heboh sekali reaksinya. Santai saja, Bu. Yang barusan cuma tes saja kok. Ternyata memang benar sayembara itu yang membuat Hanum tiba-tiba menanyakan tentang Tuan Lionel. Murahan."
"Kau bilang apa barusan? Murahan?"
"Ya, murahan. Bukankah Hanum sudah punya pacar? Kenapa masih mengincar laki-laki lain? Gatal sekali."
Ejekan yang dilayangkan Lisa membuat Hanum tersinggung. Membawa garpu di tangan, dia berniat memberi pelajaran pada gadis kurang ajar tersebut.
"Coba saja kau berani menyakitiku. Akan ku beritahu Tuan Lionel kalau kau adalah psikopat yang suka menyiksa anak di bawah umur. Lakukan saja!"
Hening. Tubuh Hanum membeku di tempat. Sedangkan Lisa, dia dengan santai kembali memasak. Mengabaikan raut syok di wajah dua wanita jahat yang betah berdiri di belakangnya.
(Hahaha, rasakan itu! Memangnya enak?)
***
Apa kau adalah saudara tirinya Lionel?
lisa adalah definisi pasrah yang sebenernya. udah gk takut mati lagi gara2 idup sengsara