Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Aku dan Sumi segera masuk ke dalam mobil, hatiku benar-benar tidak bisa menerima tingkah laku Sandra tadi. Ah, sungguh dia begitu menyebalkan! Nafasku naik turun, didera rasa cemburu yang menyiksa.
Tak tahan, aku mencoba menelpon Adnan. Aku ingin bertanya tentang Kalung, mengapa kalung itu masih berada dalam leher Sandra? Bukankah dia berjanji akan meninggalkan Sandra? Namun, Adnan tidak menjawab panggilanku, membuatku semakin geram dan tidak bisa menahan emosi.
Sumi yang menyadari perubahan wajahku, bertanya kepadaku, "Kamu kenapa sih, Ran? Dari tadi kek cemberut aja."
"Lagi pengen makan orang," seruku, mencoba meluapkan kekesalanku.
"Haaa? Jangan, Ran! Aku kan gak punya daging, hanya tulang aja," sahut Sumi, berusaha membuatku tertawa agar melupakan rasa kesalku.
Namun, tawa Sumi tak cukup mampu membuatku melupakan rasa cemburu dan kekesalan tadi. Hatiku terus saja merasa sakit dan terbebani.
Sesampainya di butikku, aku bergegas masuk ke dalam dengan perasaan berkecamuk karena pertemuan dengan Sandra tadi.
"Mengapa dia harus muncul kembali?" gumamku kesal dalam hati.
Langkahku gegas menuju tempat kerjaku, kuusahakan untuk fokus pada pekerjaanku demi menepis bayangan masa lalu yang kembali terbawa.
Rencananya, hari ini aku ingin pulang lebih awal agar bisa bersama Naura, putri kecilku yang menjadi sumber semangat hidupku.
"Tak ingin kuulur waktu, aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini," bisikku pada diriku sendiri, mencoba melupakan Sandra sejenak dan fokus pada impian bersama Naura.
Entah sejak kapan sonya berdiri di depanku, tangannya bergetar dan bibirnya bergetar. Wajahnya memerah dan matanya sembab karena menangis. Aku bisa melihat bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.
"Sudah, duduk dulu, cerita pelan-pelan," kataku sambil menariknya duduk di sofa kecil di sudut butik.
Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya bicara, "Rania, mama... mama memutuskan untuk menjodohkanku dengan anak temannya. Tanpa tanya pendapatku."
Aku terkejut, "Loh, kenapa tiba-tiba? Bagaimana dengan Vian?"
Sonya mengusap air mata yang mengalir di pipinya, "Itu dia, Rania. Aku dan Vian sudah merencanakan masa depan bersama, tapi sekarang semua berantakan. Aku tak tahu harus bagaimana."
Kami berdua terdiam sejenak. Butik yang biasanya ramai terasa sangat sepi. Aku bisa merasakan keputusasaan yang melingkupi Sonya.
"Tapi Sonya, kamu harus bicara dengan mama kamu. Jelaskan tentang perasaanmu dan Vian," saranku mencoba memberikan solusi.
Sonya mengangguk pelan, "Aku tahu, Rania. Tapi, mama sangat keras kepala. Dia sudah bertemu dengan keluarga calon suamiku minggu depan."
Air mata kembali mengalir di wajahnya yang pucat. Aku meraih tangan Sonya, memberikan sedikit kekuatan melalui sentuhan itu.
"Kita akan cari cara, So. Aku akan bantu kamu," kataku dengan penuh keyakinan. Sonya memandangku, matanya berbinar sedikit, mencari titik terang di tengah keputusasaannya.
"Bagaimana caranya ran?" Tanya Sonya penasaran
"Kamu bisa mengajak Vian ke rumah, siapa tahu dengan itu Mama akan menerima hubungan kamu," ucapku berusaha memberi solusi.
Sonya tampak terdiam, mungkin dia sedang mempertimbangkan saran yang kuutarakan tadi. Kemudian, ia tersenyum dan memelukku erat dari samping.
"Terima kasih ya, Ran. Kamu memang selalu ada untukku," ucapnya dengan suara penuh haru.
"Tentu saja, So. Kita kan sahabat," balasku sambil tersenyum kepadanya.
Sonya melepaskan pelukannya dan mengusap air mata yang sempat mengalir. "Sekarang aku merasa jauh lebih tenang," ucapnya dengan nada lega.
Saat itu, aku tahu bahwa terkadang sebuah dukungan dan kehadiran teman bisa membawa ketenangan dalam menghadapi masalah yang menghimpit.
***
Sore harinya, aku sudah siap untuk pulang dan menghampiri mobil. Namun, sebelum aku berhasil masuk, Sandra muncul kembali di depanku.
"Apa kita bisa sebentar?" seru Sandra dengan nada yang membuatku penasaran.
"Maaf, saya sibuk," jawabku ketus sambil berusaha untuk menghindar.
Tidak terima dengan penolakanku, Sandra berusaha mengejarku. "Bagaimana kalau ini tentang mas Adnan?"
tiba-tiba ia menyebut nama yang cukup membuatku terhenyak. Aku menoleh dan melihat Sandra yang tampak serius. Ada rasa ingin tahu yang kuat yang seketika meluap dalam diriku.
"Baiklah, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku sambil menunjukkan bahwa aku bersedia meluangkan waktu untuknya.
Sandra menunjuk ke sebuah kursi yang berada di bawah pohon rindang. "Apa kita bisa bicara di sana?" ajaknya.
"Hmmmm..." gumamku ragu.
Namun, akhirnya aku mengalah dan mengikuti keinginan Sandra. Aku melangkah mendahului, duduk di kursi tersebut dan menunggu Sandra duduk di sampingku.
Seluruh perhatianku tertuju pada apa yang akan dibicarakan oleh Sandra, terutama tentang mas Adnan yang menjadi inti pembicaraan kali ini. Apakah ada informasi penting yang belum aku ketahui selama ini?
Sandra membuka tasnya dan menggali sesuatu di dalamnya. Aku berusaha tetap tenang, pandanganku lurus ke depan, namun dalam hati tumbuh rasa ingin tahu yang membara.
"Maaf sebelumnya, perkenalkan namaku Sandra," ucapnya dengan suara yang nyaring memecah keheningan.
"Rania," jawabku dengan nada seadanya.
Napas Sandra terdengar berat, ia menarik dan menghembuskannya dengan tidak sabar, seakan ada badai yang sedang dia hadapi.
"Kamu siapanya Mas Adnan?" tanyanya, suaranya mengandung urgensi.
"Tanya saja langsung ke dia!" balasku, suara meninggi, hati bergolak karena situasi yang mulai tak terkendali.
"Mas Adnan tak mau memberitahuku, Rania," keluhnya, keputusasaan merayap di nadanya.
Apa? Jadi dia tidak memberitahu siapa aku? Kemarahan memuncak, meradang seperti api.
"Apa kamu begitu mencintai Adnan?" tanyaku, suara penuh tuduhan.
"Iya Rania, aku sangat mencintai Mas Adnan. Dia sangat perhatian dan memberikan apa saja yang aku mau," katanya, mata berbinar-binar penuh adorasi.
"Ooh, senang ya," sinisku dengan senyum yang terukir tajam. "Asal kamu tahu, Sandra, pria yang selama ini perhatian dan memberikan apa yang kamu mau itu adalah suami orang," ujarku datar, melemparkan bom kebenaran yang mengejutkan dan mematikan.
Napas di antara kami tersedu, waktu seakan terhenti diantara pengakuan dan pengkhianatan.
Sandra terkejut dan langsung menutup mulutnya, seolah-olah tidak bisa memercayai apa yang baru saja aku ungkapkan.
"Kamu yakin yang kamu katakan, Rania?" serunya, wajahnya penuh keraguan.
Aku hanya tersenyum, mencoba menghadapi situasi ini dengan tenang meskipun ada rasa sakit yang tertanam dalam hatiku. "Apa kamu tidak percaya? Bahkan istri Adnan itu sekarang berada di sampingmu," ujarku.
Sandra mengerutkan dahinya, ia menatapku dengan ekspresi penuh kebimbangan. "Jadi kamu istri?" tanyanya dengan lembut.
"Iya, aku istri sah kekasihmu itu," sahutku, merasa sedih dan hancur saat harus mengakui hal itu.
Tidak bisa menerima kenyataan, Sandra berkata dengan keras, "Gak mungkin, Rania! Kamu pasti bohong, kan? Ini hanya akal-akalan kamu saja biar aku meninggalkan Adnan."
Aku tertawa mendengar ucapan Sandra, tapi dalam hati aku merasa seperti tersayat pisau. Mengapa kebenaran selalu begitu sulit diterima? Mengapa harus aku yang mengalami semua ini? Aku tahu itu bukan salahku, tapi justru aku yang harus menderita.
***
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...