Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 : Membela Risty
Ponsel Ara berdering ketika dia baru saja masuk ke toko roti untuk membeli kie sus pesanan Mama.
"Halo, Ma?"
"Ra, Mama lupa bilang, belikan satu atau dua kotak lagi untuk ayahnya Saka. Mama rasa nggak ada salahnya juga berbuat baik duluan."
"Ya, Ma. Nanti Ara belikan."
"Kamu pulang dulu ke rumah, nanti Mama tambahin masakannya Mbok Siran."
"Iyaa."
Ara menutup telepon sambil menghembuskan nafas panjang. Tidak tahu roti apa yang disukai ayahnya Saka. Daripada bingung mikir, Ara menutup mata sambil cap cip cup di depan etalase. Apapun pilihannya, berdoa saja. Apa lagi yang bisa dia lakukan sekarang?
Setelah membayar di kasir, di dekat pintu keluar Ara berpapasan dengan Risty. Kebetulan macam apa ini?!
Sebenarnya Ara paling malas memulai perang, tapi kalau sudah bertubrukan begini, mau gimana lagi. Risty melepas kaca mata hitamnya. Ara mengibaskan rambutnya.
"Ara...kebetulan banget. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
"Sorry aku sibuk."
"Ini tentang film kamu."
Langkah Ara terhenti dan mau nggak mau harus meladeni Risty. Mereka duduk di kursi dalam toko sambil menunggu minuman yang dipesan Risty datang.
"Kenapa kamu nggak mau melanjutkan pertemuan dengan tim produksi?" tanya Risty datar.
"Sebenarnya nggak ada aku juga nggak masalah, kan? Filmnya bisa lanjut, aku sudah serahin semuanya ke Pak Doni. Aku tidak perlu muncul."
"Ya. Bisa. Kamu tinggal nonton dan dibayar. Tapi film ini beresiko menimbulkan spekulasi publik. Apa kamu takut?"
"Aku nggak takut lagi, Ris."
Risty tertawa sinis. "Kalau ada apa-apa sama Saka, kamu takut?"
Ara terdiam sambil menatap Risty. "Emangnya kamu mau ngapain?"
"Minta Saka dari kamu."
"HA HA HA! Emangnya Mas Saka mau sama kamu?" tawa Ara dibikin dramatis agar terlihat sangar dan menggelegar.
Risty melirik jari manis di tangan kiri Ara. Sebuah cincin terlingkar di sana. Dadanya bergemuruh ketika memikirkan beberapa kemungkinan.
"Kamu tunangan sama dia?" tanya Risty.
Ara tidak menjawab pertanyaan Risty.
"Risty, sebenarnya aku salut banget sama kamu. Semuda ini sudah sukses, tajir melintir. Kamu bahkan jadi bosku. Apa lagi yang kamu cari? Kamu sudah punya segalanya, kenapa masih pengen minta milik orang lain?"
"Sebelum sama kamu, Saka sama aku duluan, Ra. Jadi kayaknya kalimatmu kebalik."
Ara mendekatkan wajahnya. "Kita nggak bisa terus-terusan hidup di masa lalu, Ris. Aku bukannya...gimana ya, kalau Mas Saka mau sama kamu, aku nggak akan maksa. Kemarin-kemarin aku sudah kasih waktu buat kamu. Aku kira dia memang bisa sama kamu. Tapi sekarang, it's my time. Aku nggak akan biarin Mas Saka sakit terus kalau sama kamu. Berhentilah, Ris. Ini bukan kamu yang dulu."
"Kamu barusan bilang kita tidak hidup di masa lalu. Kenapa sekarang kamu minta aku seperti dulu?"
"Aku tahu kamu masih punya hati yang baik. Aku bener-bener nggak nyangka Risty temenku SMA dulu jadi kayak gini. Lepasin Mas Saka, Ris. Hidup dia sudah berat. Kalau kamu sayang sama dia, harusnya kamu bantu dia bangkit dan sembuh. Bukan maksa dia kayak gini."
Ara berdiri dari kursinya. "Ada yang lebih penting dari film itu, Ris. Terserah kamu mau ngapain."
Dari arah pintu, masuklah seorang laki-laki berbadan besar berjalan cepat menuju tempat duduk Risty. Dia berteriak lantang. "Sudah kuduga kamu ada di sini!"
Ara yang tadinya mau beranjak pergi jadi teralihkan perhatiannya pada suara menggelegar laki-laki itu. Risty ikut berdiri, dia tidak menyangka orang itu akan datang mencarinya sampai ke sini.
"Apa maumu, Prada? Pergilah dari tokoku. Aku nggak mau parasit macam kamu mengotori tempatku."
What?! Jadi ini toko punya Risty?! Menyesalnyaa...aku beli kue di sini. Ara berteriak dalam hati.
Prada berusaha menahan amarah meskipun dilihat dari gesturnya, dia sudah bersabar sampai ubun-ubun.
"Batalkan perceraian itu."
"Nggak bisa. Nggak ada yang bisa dipertahankan lagi di antara kita."
"Risty, aku tahu aku salah. Tapi nggak harus begini."
"Terlambat. Nggak ada gunanya lagi kamu menyesal."
Ara ingin segera pergi dari medan perang antara suami istri yang hampir jadi ex ini. Tapi Prada tiba-tiba menarik tangan Risty tanpa peduli dilihat banyak orang. Risty berusaha lepas dari tangan Prada.
"Lepasin!!" bukannya Risty yang teriak, tapi malah Ara yang meraung.
Prada memandang Ara dengan tatapan jengkel. "Siapa kamu? Ngapain ikut campur?"
"Malas juga mau ikut campur urusan pribadi kalian. Tapi aku nggak suka ada laki-laki main kekerasan sama perempuan. Apa lagi di tempat umum. Nggak malu, Pak? Lepasin dia."
Prada tertawa parau. Dia melepaskan tangan Risty dan malah mendekati Ara.
"Jadi kamu belain dia? Tau apa kamu? Kamu tau sedang bicara sama siapa?"
Prada merangsek maju tapi Ara dengan gesit menarik kursi hingga menahan langkah Prada hingga tubuhnya terjerembab di sandaran kursi. Prada jatuh beserta kursinya.
Prada makin murka. Dia segera bangun dan menyasar Ara tapi Ara sudah antisipasi. Ara mundur selangkah dan memutar tubuhnya untuk menghindar. Begitu punggung Prada terhuyung, Ara menendangnya hingga Prada terpentok ke tembok.
"Bangsat!"
"STOP!" Ara mengeluarkan ponselnya sambil bersiap menelpon. "Kakekku tentara. Pakdheku polisi. Omku jaksa. Adikku jago santet. Mamaku kepala suku. Mau lawan yang mana kamu, hah?"
"Bapak kamu!"
"Papaku manusia biasa. Dahlah, Bang. Tobat. Hadapi kenyataan. Kalau perempuan ini nggak mau sama kamu ya udah lah. Cari yang lain. Lagipula bertahan sama kamu yang bisanya main kekerasan itu buang-buang waktu. Nggak guna! Coba sana cari lawan yang sebanding. Chris John atau John Cena. Berani nggak? Jangan beraninya cuma sama perempuan. Sekali telpon, masuk penjara Anda. Mau?!"
Ara mendelik sambil meluapkan semua emosinya. Kebetulan ada sasaran yang bikin emosi makin lancar.
Prada melirik Risty kemudian menyeret tangannya dengan kasar. Risty berteriak sambil berusaha melepaskan diri. Habis sudah kesabaran Ara.
"MINGGIIIR...!!"
Ara memukulkan kursi ke punggung Prada sampai dia jatuh tersungkur. Prada masih berusaha membalas Ara. Kali ini Risty yang memukulkan tasnya ke kepala Prada. Ara menambah serangan dengan jambakan maut. Kebetulan Prada berambut gondrong, mudah sekali untuk dicomot.
Orang-orang mulai ramai mendekat. Beberapa karyawan yang tahu itu adalah Risty berusaha membantu dan menyingkirkan Prada.
Karena kalah jumlah, Prada mendengus kemudian pergi dengan langkah gusar. Dia masih sempat menunjuk Ara dan Risty dengan tatapan dendam. Ara sempat merekam wajah laki-laki berangasan itu. Antisipasi.
Ara menghembuskan nafas lega sambil memegangi dadanya sendiri. Dia bukannya tidak takut. Dia takut! Tapi dia lebih takut ada sesuatu yang buruk terjadi di hadapannya. Walaupun itu sosok Risty sekalipun.
Risty merapikan baju dan rambutnya. Dia melihat Ara yang sama berantakannya dengan dirinya.
"Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi."
Ara pergi dengan langkah cepat sebelum dia merasa kasihan lagi pada Risty. Ara tidak mau ada hubungan apa-apa lagi dengan Risty. Risty duduk di kursi sambil menata hatinya yang hancur. Malu dan marah jadi satu. Matanya mulai basah.
Sepanjang perjalanan pulang, perasaan Ara tak karuan. Sesama perempuan, dia merasa iba dengan Risty. Tapi dia juga sudah tidak bisa mundur dari Saka. Dia merasa ada yang dia perjuangkan sekarang. Ara merasa keberadaannya ada gunanya juga. Bukan sekedar hidup dan bernafas sia-sia.