Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Dia Terkenal?
"Nyamuk, Mahen!! Woah besar sekali!! Apa memang sebesar ini nyamuk di sini? Gila, sengaja dikasih makan atau bagaimana?" Belum selesai Mahendra bicara, dia sudah berceloteh dan sibuk sendiri mengejar nyamuk setelah sempat mendaratkan telapak tangannya di kening Mahendra.
Ameera tidak bermaksud mengabaikan Mahendra, tapi nyamuk yang berkeliaran malam ini membuatnya gemas sendiri. Tanpa terduga, di tengah kegiatannya Ameera mendengar suara segerombolan pemuda yang berlalu persis di depan rumah itu.
Suara itu berhasil membuat Ameera terdiam, dia menajamkan telinganya sebelum kemudian berlalu keluar demi memastikan siapa yang menyapa Abah Asep di depan.
"Abah, yang lewat tadi siapa?"
"Mereka anak-anak kampung sini, biasa kalau sudah jam delapan mereka kumpul di pos kamling, jaga kampung, Neng," jawab pria paruh baya tersebut dan membuat Ameera manggut-manggut.
Sejujurnya dia kurang puas dengan jawaban Abah Asep, tapi apa hendak dikata hanya itu jawaban yang dia terima. Mata Ameera masih terus menatap ke depan, minimnya penerangan sangat membuat wanita itu kesulitan, bahkan punggung mereka saja tidak dapat Ameera lihat meski gelak tawa mereka masih dapat terdengar jelas.
Ya, bahkan sangat jelas dan Ameera sangat yakin di antara mereka ada Cakra. Bukan tanpa alasan dia seyakin itu, tiga bulan sudah cukup baginya untuk mengenali Cakra, terlebih lagi caranya tertawa. "Dasar tega!! Bisa-bisanya dia tertawa sebebas itu setelah meninggalkanku."
Dia menggerutu, kembali ke sisi Mahendra yang kini menghindar begitu Ameera mendekat. Gerakan spontan dalam rangka membela diri itu ternyata membuat Ameera yang sejak tadi naik darah tersinggung begitu hebatnya. "Kau kenapa lagi? Alergi kalau aku mendekat?"
"Ti-tidak, Nona ... sepertinya sudah malam, ada baiknya Nona segera masuk ke kamar," ucap pria itu semakin menjaga jarak aman lantaran khawatir cap jari di keningnya bertambah satu lagi.
"Tidur jam delapan, dikira aku anak TK," balas Ameera ketus, tidak sadar jika kini dia tengah menguap lebar hingga membuat Mahendra sedikit menyesal mengundurkan diri sebagai asisten Zean, karena yang didampingi sama iyanya.
Baru saja, bahkan belum lima menit dia bicara dan kini dengkuran halus Ameera sudah bersahutan dengan suara hewan yang dia maksud beberapa waktu lalu. Sudah berkali-kali dia katakan untuk tidur lebih awal, tapi sejak tadi Ameera masih terus menunggu dengan harapan lampu akan menyala dalam waktu dekat.
.
.
"Heeum ..."
Tanpa alarm, tanpa teriakan sang mama dan tanpa gangguan Jihan, pagi ini Ameera cukup mandiri dan terbangun kala matahari belum meninggi. Mungkin karena tidur lebih awal dan suasana di pedesaan yang begitu berbeda membuat Ameera mampu menyesuaikan diri.
Begitu terbangun, Ameera segera beranjak keluar kamar. Entah ada yang bisa dia bantu atau tidak, tapi Ameera cukup tahu diri jika sedang berada di tempat orang lain. Di luar dugaan, rumah tersebut sudah terlihat begitu rapi, agaknya Ameera bangun kurang pagi.
Tidak ingin semakin malu, Ameera segera mencari keberadaan Bu Rukmini di dapur. Sebuah kegiatan yang sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah Ameera lakukan ialah masuk dapur. Begitu masuk, wanita itu sudah disambut senyum hangat dan sambutan baik oleh wanita paruh baya itu.
"Nak Meera duduk saja, tinggal sedikit lagi ini."
Ameera menggigit bibir, dia malu dan semakin kentara jika tidak pernah menyibukkan diri di dapur. Hendak membantu juga bagaimana, semua peralatan di sini masih sederhana, bahkan bisa dipastikan Ameera tidak akan mampu menghidupkan apinya.
Kebetulan, setelah Bu Rukmini menolak bantuan Ameera, wanita itu merasakan sakit di bagian perutnya. Panggilan alam di pagi hari yang membuat Ameera memutuskan untuk sekalian mandi pagi. Namun, dari yang dia ketahui semalam, di rumah Bu Rukmini tidak menyediakan kamar mandi, hanya ada kamar kecil untuk buang air saja.
Ameera tidak merasa hal itu sebuah penderitaan, melainkan sebaliknya. Sejak dahulu dia mendambakan suasana di pedesaan, agaknya mandi di sungai akan sangat menyenangkan. Pagi ini, dia akan ditemani Ayumi, putri semata wayang Rukmini yang masih belia.
"Teteh kan cantik, apa tidak masalah mandi di sungai begini?" tanya Ayumi hati-hati, tidak hanya kaum Adam yang dibuat kagum dengan kecantikan Ameera, tapi kaum Hawa juga demikian.
Ameera menggeleng, dia masih menikmati dinginnya air sungai pedesaan yang baru dia rasakan ketika sudah sedewasa ini, Ameera seakan merasa waktu kecilnya terbuang sia. "Aku suka, Yu, nanti sore kita mandi lagi ya!!" seru Ameera yang kemudian Ayumi angguki segera.
Belum juga selesai mandi pagi, rambut Ameera bahkan masih berbalut busa dan dia sudah merencanakan mandi sore harinya. Ameera tidak berbohong, bukan juga berpura-pura bahagia dan betah agar Ayumi sekeluarga tidak menyesal menerimanya, tapi memang dia suka walau ada beberapa hal yang membuat Ameera sedikit sulit terbiasa.
Sayang, lokasi tempat mereka mandi memang sangat terbuka hingga membuat Ameera menjadi pusat perhatian beberapa pemuda yang melewati pinggir sungai. Ameera pikir setelah dewasa dia tidak akan mendapat godaan semacam itu, tapi hari ini dia kembali mengalami hingga membuatnya bergegas pergi.
"Nggak apa-apa, Teh, sudah biasa ... mereka nggak jahat kok."
"Tetep saja takut, Yu," jawab Ameera bahkan bergetar saat mengenakan baju gantinya, menyesal sekali kenapa dia tidak meminta Mahendra ikut sekalian.
Niat hati mengajak Ayumi lantaran khawatir pria itu curi kesempatan, ternyata justru lebih menakutkan. Tidak ingin terlalu lama, Ameera mengajak Ayumi meninggalkan tempat itu segera.
Ameera yang belum terbiasa melangkah di jalan sempit itu, tidak melihat ke arah lain selain memperhatikan langkahnya. Bagi Ameera tubuhnya adalah aset dan dari ujung kaki sampai ujung rambut sama pentingnya dan tidak boleh ada yang terluka.
Terlalu fokus menunduk, dia sampai tidak sengaja menabrak punggung Ayumi yang mendadak berhenti. "Ayu, kenap_"
.
.
"Masya Allah, Kang Cakra? Kapan pulangnya?" Pertanyaan Ameera terhenti kala mendengar Ayumi juga sedang bertanya, perlahan wanita itu menatap ke depan hanya demi memastikan lawan bicara Ayumi.
"Cakra?"
Bukan lagi seperti mimpi tadi malam, Ameera benar-benar melihatnya. Bahkan, jaket yang Cakra pakai adalah jaket yang dia kenakan di malam terakhir mereka bersama. Belum satu minggu perpisahan, tapi dia merasa sudah begitu lama lantaran melihat reaksi Cakra yang tampak biasa saja seolah tidak saling mengenal.
"Belum lama, Ayu makin cantik ... sudah lulus ya?"
Entah apa maksud Cakra, sekedar pujian atau memang mereka dekat, tapi Ameera seakan tidak rela mendengar Cakra bicara selembut itu, terlebih lagi dia memuji wanita lain. "Sudah, Kang, Ayu lulus tahun lalu," jawab Ayumi yang kemudian hanya Cakra angguki.
"Ehm, oh iya, Kang Cakra pasti tahu siapa yang sama Ayu, 'kan? Ini Teh Meera, artis itu!" seru Ayumi memperkenalkan Ameera dengan begitu bangga, sementara lawan bicaranya hanya tersenyum seadanya.
Ameera pikir Ayumi mengetahui berita tentangnya, tapi ternyata tidak dan terbukti dengan pertanyaan yang dia lontarkan pada Cakra. Benar kata saudaranya, tidak semua peduli dan tahu tentang kehidupan pribadinya.
"Eum, tidak, dia terkenal ya, Yu?" Sempat terkejut dengan pertanyaan Ayumi, tapi dia semakin dibuat terkejut lagi mendengar pertanyaan Cakra hingga dia mengalihkan pandangan segera.
Tidak ingin terlalu lama berada di hadapan Cakra, wanita itu berlalu pergi lebih dulu dengan kekesalan menyeruak dalam hatinya. "Teh, tunggu!! Kenapa? Teteh marah ya? Maklum saja, Teh, kang Cakra memang tidak pernah nonton tv."
Ameera mengepalkan tangan dan terus melangkah panjang, tubuhnya yang tadi sempat dingin kini kembali panas seakan hendak meledak. "Iya, memang tidak pernah nonton TV!! Tapi dia pernah menontonku mandi, Ayumi!!"
.
.
- To Be Continued -