Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Liburan itu kerja
Setelah semester pertama yang melelahkan, Dion akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Liburan dua minggu yang dinantikan tiba juga, namun di benaknya, segala perasaan campur aduk tentang cinta dan hidupnya mulai memenuhi kepala. Merasa ingin menghindari masalah percintaannya yang rumit dan terus-menerus terbayang, Dion memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih produktif.
Sore itu, ia mengunjungi pamannya yang memiliki sebuah toko buku kecil di ujung kota. Toko itu sudah beroperasi bertahun-tahun, tetapi belakangan, karena perkembangan zaman, pengunjungnya semakin jarang.
"Toko bukumu ini masih buka terus, Om?" Dion menyapa sambil tersenyum, setibanya di toko.
Pamannya, seorang pria tua dengan rambut sebagian besar berwarna abu-abu, menyambutnya dengan senyuman ramah. "Masih, Dion. Meskipun ya, sepi, tapi tetap buka. Buku-buku ini terlalu berharga untuk ditinggalkan."
Dion tersenyum tipis dan melirik rak-rak buku yang tersusun rapi. "Om, aku pikir selama liburan ini aku bisa bantu-bantu di sini. Lumayan juga kan buat isi waktu?"
Paman Dion tertawa kecil. "Ah, kamu mau kerja liburan? Oke, boleh saja. Tapi jangan berharap dapat upah besar. Toko ini kan sepi."
"Tidak masalah, Om. Yang penting ada kegiatan biar otakku nggak terus-terusan mikirin hal-hal yang bikin stres."
Setelah percakapan singkat itu, Dion akhirnya diizinkan bekerja di toko buku. Meskipun tidak terlalu ramai, dia menyukai suasana toko yang tenang dan aroma buku yang selalu menenangkan. Namun, memang seperti yang dikatakan pamannya, pengunjung sangat jarang ada. Hari pertama bekerja, hanya ada dua orang yang masuk ke toko, dan itu pun hanya untuk bertanya-tanya, bukan membeli buku.
Dengan suasana yang begitu sepi, Dion duduk di belakang meja kasir sambil mengeluarkan ponselnya. Ia membuka grup WhatsApp teman-teman sekolahnya, mencoba mengusir rasa bosan.
Reza: "Bro, gimana liburan kalian? Ada rencana besar nggak nih?"
Aldi: "Rencana besar gue tidur sepanjang hari."
Fariz: "Lah, gue tiap hari juga gitu, Bro."
Dion tersenyum membaca percakapan mereka. Kemudian, Reza mengusulkan hal lain.
Reza: "Eh, gimana kalau kita bikin rencana ngumpul? Yang seru gitu, jangan cuma nongkrong doang."
Aldi: "Main paintball mungkin? Atau jalan-jalan ke luar kota?"
Fariz: "Atau lebih simpel, main ke rumah Dion. Kan dia kerja di toko buku sekarang, kita serbu aja di sana."
Dion: "Heh, nggak ada kerjaan lain ya kalian?"
Aldi: "Nggak ada. Makanya ngusulin ide!"
Sambil tertawa kecil, Dion melanjutkan obrolan di grup sembari memperhatikan pintu toko yang masih sepi dari pengunjung. Waktu berjalan begitu lambat, tetapi tiba-tiba sebuah notifikasi dari grup membuatnya tertawa terbahak.
Reza: "Denger-denger, Dion sekarang jadi ahli buku. Ada yang mau jadi pacarnya? Bisa tanya langsung sama bukunya!"
Fariz: "Ya, sapa tahu ada bab khusus 'Cara Mendapatkan Pacar', kan."
Aldi: "Hati-hati, Don, nanti bukunya iri karena lo deket sama cewek!"
Percakapan itu membuat Dion tertawa sendiri di meja kasir. Bahkan dalam suasana sesepi ini, teman-temannya tetap bisa membuatnya tersenyum. Saat sedang asyik membalas pesan-pesan mereka, pintu toko tiba-tiba terbuka.
Dion langsung mendongak. Seorang pria paruh baya masuk ke dalam, mengenakan setelan formal yang sedikit ketinggalan zaman. Wajahnya ramah, tapi ada kelelahan yang terpancar dari matanya.
"Selamat sore, Nak," sapa pria itu sambil melihat-lihat rak buku di dekat pintu. "Masih buka kan toko ini?"
Dion berdiri, tersenyum. "Iya, Pak. Silakan kalau mau lihat-lihat."
Pria itu mengangguk, berjalan perlahan sambil melihat satu demi satu buku di rak. Dion mengamati pria itu dengan rasa penasaran, terutama karena jarang ada pengunjung yang datang. Sambil memperhatikan dari belakang meja, Dion melanjutkan obrolannya dengan teman-temannya di grup.
Fariz: "Bro, tadi ada tebak-tebakan baru nih. Siapa tahu lo suka. Tebak, kenapa kucing suka internet?"
Dion: "Ah, gitu aja mah gampang. Karena mereka suka nge-'purr'."
Aldi: "Wkwkwk, jokes bapak-bapak banget lo, Dion."
Dion tertawa kecil lagi, lalu meletakkan ponselnya saat pria tadi datang ke meja kasir membawa dua buku. Salah satu buku yang dipilihnya adalah buku tentang sejarah lokal, dan satunya lagi buku tentang catur.
"Ini saja yang saya ambil," kata pria itu sambil menyerahkan buku-bukunya kepada Dion.
Dion mengangguk, memindai barcode buku-buku itu dan memasukkan harga ke mesin kasir. Setelah transaksi selesai, pria itu tersenyum puas. "Terima kasih, Nak. Saya suka toko buku yang sepi seperti ini. Lebih tenang."
"Terima kasih juga sudah mampir, Pak," jawab Dion dengan ramah. "Jarang-jarang ada pengunjung yang tertarik sama buku catur."
Pria itu tertawa kecil. "Catur itu lebih dari sekadar permainan. Dalam catur, ada seni mengatur strategi dan memahami gerakan lawan. Sama seperti hidup."
Dion mengangguk setuju, merasa terkesan dengan pernyataan pria itu. Setelah pria itu pergi, Dion kembali duduk dan membuka ponselnya lagi. Obrolan di grup sudah bergeser ke topik baru.
Reza: "Eh, ngomong-ngomong soal catur, kalian pernah nggak ketemu orang yang jago catur banget sampai bikin kalian bingung?"
Aldi: "Nggak, tapi gue pernah ketemu orang yang bikin gue bingung tanpa harus main catur."
Fariz: "Itu si Dion, Bro. Bikin bingung tiap hari."
Dion hanya bisa menggeleng sambil tertawa membaca guyonan itu. Tiba-tiba ia merasa, meskipun liburannya mungkin tidak akan terlalu seru seperti yang lain, setidaknya ada momen-momen kecil seperti ini yang bisa membuatnya tersenyum.
Ketika sore mulai menjelang malam, toko masih sepi, dan Dion mulai merasakan rasa kantuk yang perlahan datang. Namun sebelum ia sempat benar-benar tertidur di kursinya, ponselnya berdering lagi. Kali ini dari pamannya.
"Dion, gimana di toko? Ada pengunjung?"
"Sepi, Om. Cuma ada satu dua orang doang," jawab Dion sambil menguap.
"Ya, memang begitu akhir-akhir ini. Tapi nggak apa-apa, yang penting kamu bantu Om ya. Nanti Om transfer upahnya buat hari ini."
Mendengar kata 'upah', Dion tersenyum. "Siap, Om. Santai aja."
Setelah menutup telepon, Dion merasa puas. Meskipun toko sepi dan liburan ini tidak terlalu meriah, setidaknya ada satu hal yang membuatnya senang: ia masih bisa menghabiskan waktu dengan teman-temannya, bahkan hanya lewat percakapan di ponsel. Dan tentunya, ada bonus uang dari pamannya yang bisa ia gunakan untuk apa pun yang dia mau nanti.
To be continued...