Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She Is... Cute
--- Author's Pov -----
Sanu mengerjap beberapa kali saat mendengar suara alarm di nakasnya berbunyi. Ia buru-buru mematikan alarm tersebut dengan gerakan hati-hati, takut membangunkan gadis yang masih terlelap di sebelahnya itu.
Sanu menyibak selimutnya dengan perlahan dan bangkit dari kasur dengan sangat hati-hati. Ia mengamati Saras yang masih tertidur dalam posisi terlentang.
Gadis itu sangat tenang dalam tidurnya hingga membuat Sanu menyunggingkan senyum tanpa sadar.
Astaga!
Sanu terkesiap saat melihat baju Saras tersingkap, memperlihatkan perut ratanya. Jantungya berdebar dengan sangat amat kencang seraya membuang muka, ini pertama kalinya dia melihat perut perempuan secara langsung!
Sanu mencoba membetulkan baju tersebut dengan memicingkan mata. Ia tidak mau mencuri-curi kesempatan di saat seperti ini. Dengan sangat hati-hati, ia menahan napas kuat-kuat saat jemarinya tak sengaja menyentuh kulit Saras yang terbuka. Sanu menjerit dalam hati, tak sengaja menyenggol kulit mulus itu. Sanu masih berusaha menutup baju istrinya itu dengan benar saat tanpa sengaja ia melihat sebuah memar di perut Saras.
Sanu menarik tangannya agar bisa melihat memar itu dengan jelas. Ia takut salah lihat.
"Dia kenapa ya?" Sanu bergumam dengan khawatir. Sebuah perasaan aneh menjalar di hatinya. Apa yang terjadi dengan Saras? Kenapa ia memiliki memar selebar itu di perutnya?
Tanpa berusaha mengganggu privasi gadis itu lebih lama lagi, Sanu membetulkan pakaian Saras dengan segera. Sesaat setelah Sanu menurunkan baju gadis itu, Saras menggeliat, membuat Sanu nyaris melompat di tempatnya.
"Hngghh" Saras bergerak dalam tidurnya, jantung Sanu nyaris mencelos karena takut Saras berpikir yang tidak-tidak jika gadis itu terbangun.
Setelah memastikan Saras tidak terbangun dan melanjutkan tidurnya, Sanu memundurkan diri dan menghela napas pelan.
Suaranya.... Aku suka suaranya barusan. She is... cute! batin Sanu usai mendengar lenguhan istrinya barusan.
Ia juga turut membetulkan selimut Saras agar gadis itu tidak kedinginan saat bangun nanti. Sanu menatap gadis itu sekali lagi. Kali ini Sanu menyadari bahwa Saras mengernyit dalam tidurnya. Dahinya terlipat, seolah ia sedang mengalami sesuatu yang buruk dalam mimpinya.
Dengan ragu, Sanu berjalan mendekat dan menunduk untuk memijat area pelipis dan dahi Saras.
Kenapa dia terlihat takut sekali dalam tidurnya ya? Batin Sanu usai berhasil memudarkan kernyitan di dahi Saras.
Usai memastikan gadis itu tidur dengan aman, Sanu berjalan pelan keluar dari kamar. Sebelum ia menghilang dari balik pintu, Sanu melirik Saras sekali lagi. Memandangi wajah tidurnya yang kini terlihat sangat cantik dan berseri.
----
Saras menggeliat dan mengusap matanya dengan perlahan. Cahaya keemasan yang menembus gorden kamarnya membuatnya merasa silau.
Dengan gerakan malas, Saras menoleh untuk melihat jam yang ada di atas jendela. Pukul delapan pagi.
Saras berusaha mengembalikan kesadarannya dengan mengerjap berkali-kali. Ia merasa tidur dengan sangat nyenyak semalam. Biasanya, ia selalu mengalami insomnia parah dan mimpi buruk di setiap malamnya. Setiap hari selama bertahun-tahun, Saras tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak.
Bayangan tentang perlakuan ayahnya selalu menghantuinya sebelum tidur, hingga seringkali hal itu membuatnya terjaga semalaman. Kalaupun berhasil tidur, Saras selalu dihinggapi mimpi buruk yang aneh. Ia bahkan tak pernah bisa tidur lebih dari tiga jam setiap malamnya. Oleh karena itu, Saras merasa terkejut ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa memimpikan apa-apa. Ia bahkan tidur lebih dari sepuluh jam, di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat langkah baginya.
Saras segera beranjak dan membereskan tempat tidurnya. Ia baru sadar bahwa Sanu sudah tidak ada di sana.
"Dia kemana?" gumam Saras seraya membuka pintu kamar dan berjalan menuruni anak tangga.
Setibanya ia di lantai satu, ia dapat melihat dengan jelas bahwa Sanu tengah menyiapkan sarapan di meja makan. Ia sedang memindahkan pancake ke dalam piring saat ia melihat Saras berdiri di salah satu anak tangga.
Sanu menyunggingkan senyum, "Duduklah. Sarapannya baru matang."
Saras menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Suaminya itu telah rapih mengenakan kaos polo berwarna biru muda yang dimasukkan ke dalam celana jeansnya yang berwarna putih.
Saras yang masih belum benar-benar tersadar pun tanpa sadar mengikuti arahan Sanu dan duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan.
Melihat Saras sudah duduk manis, Sanu meletakkan piring berisi beberapa lembar pancake di hadapannya.
Ia berjalan kembali ke pantry kemudian kembali dengan membawa beberapa toples kaca, "Ada selai cokelat, kacang, strawberry, dan keju. Ini ada juga madu kalau kamu mau." ujarnya seraya menyodorkan toples-toples itu ke hadapan Saras.
Saras tak berkata apa-apa, ia hanya memandangi Sanu yang masih bergemeletak di sekitaran pantry. Usai beberapa menit berselang, Sanu membawa satu piring berisi pancake miliknya dan duduk di hadapan Saras, "Kenapa kamu belum memakannya?" tanyanya seraya menatap Saras dengan bingung.
Seperti terbangun dari lamunan, Saras tersentak kemudian mengambil pisau dan garpu yang sudah tertata rapih di sebelah piring makanannya, "Oh, iya."
"Hari ini kamu ada kelas?" usai keheningan selama beberapa menit, Sanu membuka suara dengan melontarkan sebuah pertanyaan.
"Ya, nanti siang." balas Saras singkat, ia masih sibuk mengunyah pancake di mulutnya. Rasanya benar-benar enak. Ia benar-benar kagum dengan kemampuan memasak Sanu. Hanya saja ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Baiklah. Kamu mau aku mengantarmu? Di jam itu seharusnya aku sudah selesai," Sanu berujar pelan. Ia memandang Saras untuk melihat reaksinya.
Gadis itu membalas tatapannya dengan datar, "Tidak perlu. Lagipula, aku tidak ingin orang-orang tahu bahwa kita memiliki hubungan."
Sanu terdiam mendengarnya. Entah kenapa ada rasa sakit yang tak terjelaskan di dadanya. Apakah Saras tidak mau orang-orang tahu hubungan mereka untuk menjaga perasaan kekasihnya itu?
"Baiklah, aku mengerti."
Saras melirik Sanu. Ekspresinya kini terlihat murung, tak secerah sebelumnya. Namun, Saras tak peduli. Ia lebih memilih menghabiskan sarapannya kembali daripada harus melakukan sesuatu untuk menjelaskan apapun kepada Sanu.
Selama beberapa menit, tak ada obrolan apapun. Yang terdengar hanya gemelenting garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing, sampai akhirnya, Sanu kembali membuka suara.
"Apa kamu pernah terjatuh atau terbentur sesuatu belakangan ini?"
Saras menengadah. Ia memandang Sanu dengan tatapan heran. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?
"Tidak pernah. Memangnya kenapa?"
Sanu terdiam. Ia terlihat sedang berpikir sementara Saras nampak tidak sabar menunggu jawabannya.
"Aku melihat memar yang cukup besar di perutmu. Itu pasti terbentuk karena benturan yang sangat keras. Kurasa kita harus ke rumah sakit dan memeriksakannya," ujar Sanu pada akhirnya. Ia menatap Saras yang kini terlihat mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia terlihat sangat marah.
"Kau... Apa kau membuka bajuku saat aku tidur?" Saras nyaris berteriak saat mengatakan hal itu.
Sanu menggeleng kuat-kuat, "Bukan, tadi saat aku terbangun bajumu tersingkap ke atas. Aku tidak sengaja melihatnya." ujar Sanu berusaha menenangkan.
"Apa kamu baik-baik saja? Kita harus ke rumah sakit dan memeriksakannya," Sanu melanjutkan. Kali ini nada bicaranya sangat lembut dan sarat akan kekhawatiran.
Saras merasakan rahangnya mengeras, entah kenapa ia tidak percaya laki-laki ini tidak sengaja melihatnya. Jangan-jangan dia melakukan sesuatu yang tidak disadari Saras saat ia tidur?
"Jangan ikut campur urusanku lagi! Kau pikir aku menikah denganmu karena aku ingin? Tidak! Kau tidak usah munafik. Kita sama-sama dijual untuk memenuhi keinginan orang tua kita. Tidak akan pernah ada cinta dalam pernikahan sialan ini!" Saras nyaris berteriak saat mengatakannya. Ia benar-benar merasa marah. Tubuhnya bergetar karena amarah.
"Kau berharap aku bisa bahagia bersamamu? Jangan bermimpi! Jangan berlagak baik dan peduli padaku, aku tidak membutuhkan kepedulianmu. Mulai sekarang, jangan mencampuri urusanku. Tidak perlu berusaha bersikap layaknya pasangan untukku, aku tidak menginginkan pasangan sepertimu. Urusi saja dirimu sendiri dan jauhi aku!" Saras kini benar-benar berteriak. Ia benar-benar marah membayangkan jika Sanu benar-benar dengan sengaja membuka pakaiannya. Sungguh lancang, pikirnya.
Setidaknya jika laki-laki itu memang ingin melakukannya, ia bisa saja mengatakannya secara langsung kepada Saras. Bukannya mencuri-curi kesempatan saat ia sedang tidak sadarkan diri dan melakukan hal yang tidak-tidak tanpa persetujuan darinya.
Saras masih merasakan amarah menguasai dirinya, dadanya naik turun karena emosi. Di saat yang sama, Sanu membuang muka. Ia menunduk lesu dengan rahang mengeras. Perkataan Saras bagai tamparan yang sangat keras bagi dirinya.
Sejujurnya Sanu menyadari itu, ia menyadari bahwa Saras memang membenci pernikahan ini. Tetapi ia mengesampingkannya dan berusaha percaya pada pernikahan mereka. Percaya bahwa mereka bisa bahagia bersama terlepas dari jahatnya orang tua mereka. Namun, setelah Saras membangun tembok itu dengan jelas, tak ada lagi alasan bagi Sanu untuk berpura-pura tidak menyadarinya.
"Baiklah. Aku memahami posisiku." ujar Sanu dengan sangat dingin, membuat Saras terkejut karena ini kali pertamanya mendengar Sanu berbicara sedingin itu.
Tak ingin berlama-lama di dekat Sanu, Saras berdiri dan berjalan ke arah pantry. Ia membuang sisa pancakenya yang belum habis dan membanting piring kosongnya dengan cukup kencang di mesin pencuci piring. Tanpa menunggu piring itu selesai tercuci otomatis, Saras berjalan dan naik kembali ke kamarnya. Rasa kesal dan marah masih menyelimuti hatinya.