Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Kekesalan Ibnu
Lelaki paro baya itu menceritakan kisah hidup yang ia lalui saat membesarkan kedua anaknya, hingga mereka bisa berdikari dan mempunyai usaha sendiri di kota Surabaya.
Kini keduanya tidak ingin kembali ke Malang, malahan mereka berharap ia dan istrinya ikut menetap di Surabaya dan menikmati hari tua tanpa harus memikirkan masalah ekonomi.
“Bagaimana dengan usaha resto di depan pak?” kini Hilman yang memandang ke arah resto yang semakin ramai pengunjung.
“Itu usaha adik saya yang kini dilanjutkan anaknya. Semuanya peninggalan almarhum orang tua kami,” pak Tejo bercerita panjang lebar tentang tanah yang berdampingan miliknya dan adik perempuannya.
Sedangkan usaha resto kini telah dikelola keponakannya putra dari adiknya. Mereka memilih menetap di Malang dan mengembangkan usaha resto yang ditinggalkan orang tuanya yang kini telah berpulang.
“Berapa kira-kira harga yang akan dilepas untuk semua lahan dan kolam ini pak?” akhirnya Hilman langsung menanyakan pada pak Tejo begitu lelaki tua itu mengakhiri ceritanya.
“Mas dan mbaknya ini suami istri ya ?” sejenak pak Tejo memandang keduanya bergantian.
“Maunya sih gitu pak .... “ Hilman berkata penuh harap, “Doakan saja tahun ini naik ke pelaminan.”
Sejenak tatapannya bersirobak dengan Ajeng yang dibalas senyum tipis. Hilman mengedipkan mata dengan penuh arti.
“Aamiin. Semoga niat baik mas dan mbaknya diijabah Allah,” pak Tejo turut mengamini keinginan Hilman.
Perasaan kesal kembali menyeruak di benak Bisma. Rasanya ia ingin menarik Ajeng dan membawanya dari hadapan para lelaki yang tidak ada hubungan apa pun dengannya. Tapi ia tidak punya hak untuk melakukan semua itu. Ajeng bukanlah siapa-siapanya lagi.
“Jadi berapa pak?” kini Ajeng kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada pak Tejo.
“Paling banter 180 jutaaan .... “ ujar pak Tejo, “Ini udah harga terendah yang saya tawarkan untuk mas Hilman dan calonnya.”
Hilman menatap Ajeng lekat. Keduanya bertatapan lama membuat Bisma yang kini berada di belakang mereka semakin tidak senang.
“Rencananya buat mahar ya?” kembali pertanyaan pak Tejo membuat Ajeng tertawa.
“Wah, usulan yang bagus pak. Terima kasih atas saran yang brilian,” Hilman langsung mengacungkan dua jempolnya mendengar ucapan pak Tejo.
“Gaklah pak,” potong Ajeng cepat, “Saya ingin fokus bekerja dulu membesarkan putri tunggal saya.”
Ia tidak ingin terjadi kesalah pahaman antara pak Tejo dan relasi yang terjalin antara ia dan Hilman. Apalagi keinginannya untuk berumah tangga belum ada dalam rencana yang ia buat dalam dua tahun ke depan. Fokusnya adalah membahagiakan diri sendiri serta putri tunggalnya.
Raut kekecewaan muncul di wajah tampan Hilman mendengar perkataan Ajeng. Tapi ia tidak bisa berbuat apa pun. Ia tau, Ajeng memang berbeda dengan perempuan yang pernah ia kenal. Dan ia semakin tertantang untuk mendapatkan perempuan yang telah mempunyai tempat tersendiri di hatinya.
“Doakan saja pak, jika ada keinginannya untuk kembali membuka hati, semoga sayalah orang pertama yang dipilih,” dengan senyum yang berusaha ia tampilkan untuk menutupi rasa kecewa Hilman menyambung ucapan Ajeng.
“Semoga jodoh mbak dan masnya disegerakan,” pak Tejo berkata dengan bijaksana, sambil mengajak keduanya kembali ke rumah singgahnya yang berada di samping resto yang masih ramai pengunjung.
Bisma meninggalkan ketiganya terlebih dahulu dengan perasaan yang ia sendiri sulit untuk mengungkapkan. Pandangannya tajam mengarah ke sekitar untuk mencari keberadaan Ibnu.
“Pak .... “Ibnu kini berdiri di sampingnya, “Kita mampir dulu makan siang?”
“Kita langsung pulang,” ketus Bisma.
Glek! Ibnu menelan ludah.
Padahal perutnya udah melilit pengen diisi, dengan tenggorokan yang serasa dibakar menahan haus. Apalagi aroma ikan bakar sedari tadi sudah membuang kosentrasinya akan hal lain. Tapi melihat wajah masam memerah begitu Bisma membuka kaca mata dan topi membuat Ibnu mengurungkan niatnya untuk berkata.
Ia tidak tau apa yang terjadi dengan atasannya. Dan Ibnu tidak berani untuk membuka mulut. Ia langsung membawa mobil menjauhi resto dan kembali ke ke kantor .
“Percuma pake barang branded, kalo perut keroncongan .... “ batinnya lesu.
Akhirnya Ibnu membawa mobil secepat yang diinginkan Bisma dengan perasaan dongkol menahan lapar. Tapi ia tak berani bersuara. Hawa di dalam mobil benar-benar terasa membara.
Pagi sekali Bisma sudah stay di kafe resto Ajeng. Ia sengaja datang lebih awal sekalian untuk sarapan. Sebelum masuk ke kafe, ia berjalan dari sisi garasi ke taman samping yang berdekatan dengan tempat tinggal Ajeng.
Keinginan untuk melihat wajah si kecil dan tentu saja bundanya membuat Bisma merasa susah memejamkan mata di malam hari.
Perasaan senang langsung hinggap begitu melihat si mungil Lala sudah berjalan dengan riangnya ditemani bu Isma.
“Selamat pagi sayang .... “ sapa Bisma langsung berjongkok di hadapan Lala yang tertawa senang melihat kehadirannya.
Tanpa canggung Bisma langsung meraih dan menggendongnya.
“Maaf pak, adenya belum mandi .... “ bu Isma berusaha menahan Bisma yang kini telah menggendong Lala dan membawanya berjalan.
“Biar saja bu. Masih wangi juga .... “ Bisma berkata santai dengan senyum terulas dari bibirnya.
Dengan perasaan tak nyaman bu Isma mengikuti langkah keduanya dari belakang. Dalam hati ia penasaran dengan lelaki muda yang sudah kedua kalinya menggendong Lala tanpa penolakan sama sekali dari sang bocah.
“Mungkin ade merindukan kasih sayang ayahnya .... “ batin bu Isma dengan perasaan sedih.
Selama ini ia tidak pernah tau siapa ayah kandung Lala, karena ia pun baru empat bulan bekerja bersama Ajeng.
Ia jadi kagum dengan lelaki gagah yang kini membawa Lala dalam gendongannya memasuki kafe resto yang masih sepi karena suasana baru jam 7 kurang.
“Unda .... “ suara kenes Lala menghentikan kesibukan Ajeng sepagi itu yang masih membantu pegawainya di meja kasir untuk memeriksa pembukuan kafe resto.
Ajeng terkejut begitu melihat sosok tinggi dengan Lala yang berada di gendongannya. Pemandangan yang tak pernah ia lihat dan sangat jauh dari bayangannya.
Demi apa coba?
Ia mengernyitkan dahi dengan mata tertuju pada Bisma yang tampak memamerkan senyum terbaik yang ia punya saat tatapan keduanya bertaut.
“Assalamu’alaikum bunda .... “ sapa Bisma santai dengan tetap berdiri di hadapan Ajeng di meja kasir.
Entah kenapa memandang Ajeng yang kini berhijab membuatnya tak bisa berpaling. Wajahnya semakin bersinar dan menenangkan saat dipandang.
“Wa’alaikumussalam,” Ajeng menjawab dengan cepat.
Ia mengalihkan pandangan pada bu Isma yang berdiri di belakang Bisma. Melihat mata Bisma yang fokus padanya membuat Ajeng merasa tidak nyaman. Matanya membalas tatapan Bisma dengan tajam.
“Galak amat neng,” celetukan usil Bisma disertai senyum tipis terbit di wajahnya melihat sorot kekesalan dari mata Ajeng.
“Bu Is, ade belum mandi. Sudah jam tujuh juga ... “ melihat senyum yang tak lepas dari wajah Bisma membuat Ajeng membuang pandangan.
“Ade sama ibu ya .... “ bu Isma mendekat dan berusaha meraih Lala dari gendongan Bisma.
“Syama yayah .... “ Lala merangkul erat leher Bisma dan menaruh wajahnya di dada Bisma.
Ajeng tercekat. Ia memandang wajah Bisma yang menatapnya dengan lekat. Ia memberi isyarat agar bu Isma meninggalkan mereka.
Setelah kepergian bu Isma, Ajeng mendekat dan berdiri berhadapan dengan Bisma. Tanpa mempedulikan keberadaan Bisma tangannya meraih tubuh mungil Lala.
“Sayang, sama bunda yuk .... “
“Dak mahu .... “ jawaban Lala dengan menolak tangannya membuat Ajeng mendelik tajam ke arah Bisma.
Senyum kepuasan terbit di wajah Bisma melihat kelakuan Lala. Ia mencium pipi gemoy sang putri dengan sepenuh hati. Walau pun belum mandi, tapi aroma bedak bayi masih menguar dalam penciumannya.
“Mandi dulu yuk, biar wangi. Nanti pake baju princess .... “ Ajeng masih berusaha membujuk Lala yang ngotot tidak mau lepas dari gendongan Bisma.