Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Dengan nafas tersengal dan peluh bercucuran, Nuri beristirahat disofa ruang tengah. Lelah sekali setelah menyapu dan mengepel rumah sebesar ini. Dia memejamkan mata, rasa ngantuk tiba tiba menyerang, mungkin efek tubuh yang sangat kelelahan.
"Nuri."
Sebuah panggilan mengangetkan Nuri. Dia yang hampir tertidur seketika terjaga. Saat membuka mata, dia mendapati Sabda ada didepannya. Pria itu menatapnya dengan kening mengkerut.
"Kak Sabda udah pulang?"
"Kamu habis ngapain, kenapa terlihat kelelahan seperti itu?" Bukannya menjawab pertanyaan Nuri, Sabda malah balik bertanya.
"Em.. aku, aku habis_"
"Dia habis olahraga," sahut Yulia yang tiba-tiba muncul.
"Bu." Sabda meraih tangan Yulia lalu menciumnya.
"Kenapa tak bilang kalau mau pulang, kan bisa dijemput Fasya atau Pak Gani?" Yulia sengaja mengalihkan topik. Dia tak ingin Sabda tahu jika baru saja menyuruh Nuri membersihkan rumah.
"Udah dijemput supir kantor Bu." Sabda kembali memperhatikan Nuri. Melihatnya yang tampak kelelahan membuatnya khawatir. "Jangan olahraga berlebihan. Ingat, kamu masih hamil muda."
"A_"
"Udahlah, gak usah terlalu khawatirkan dia," Yulia memotong ucapan Nuri. "Dia saja tak mengkhawatirkan kondisinya."
"Apa maksud ibu?" tanya Nuri.
"Kalau kamu mikirin anak kamu, sudah pasti kamu tak akan olahraga berlebihan yang bisa membahayakan janin. Jangan-jangan kamu memang ingin keguguran agar terbebas dari janin itu," Yulia memutar balikkan fakta.
"Benar seperti itu Nuri?" Sabda terlihat marah.
"Semua yang dikatakan ibu kamu bohong. Justru dia yang menyu_"
"Halah sudah-sudah, gak usah banyak omong," lagi lagi Yulia memotong ucapan Nuri. Dia tak akan memberikan kesempatan buat Nuri untuk mengadukan semuanya pada Sabda. "Sabda, kamu pasti lelah, lebih baik kamu istirahat dikamar. Nanti mama Ibu suruh art membawakan minum ke kamar."
Sabda kembali menatap Nuri. Terlihat kekecewaan dimatanya.
"Aku tidak seperti itu," ucap Nuri yang bisa membaca arti tatapan Sabda.
"Sudahlah, cepat kamu kekamar, temui Fasya. Dia sangat merindukanmu. Saat kamu tak ada, dia bahkan sama sekali tak berselera makan."
Sabda menghela nafas lalu pergi dari sana, menaiki tangga menuju kamar.
Nuri dan Yulia, keduanya saling melemparkan tatapan sengit begitu Sabda pergi.
"Tega sekali Ibu memfitnahku."
Yulia hanya menanggapi dengan senyuman sinis. "Aku bahkan bisa melakukan lebih dari itu." Setelah mengatakannya, Yulia lalu pergi begitu saja.
Sesampainya dikamar, Sabda mendapati ruangan itu dalam keadaan kosong. Ternyata Fasya tak ada didalam. Dia mengambil ponsel untuk menghubunginya, tapi berkali kali dia menelepon, panggilannya tak terjawab. Entah ada dimana Fasya saat ini. Padahal dia sangat rindu padanya. Berharap saat dia datang, istrinya itu menyambut dengan suka cita.
Putus asa karena panggilannya tak kunjung dijawab, Sabda beralih mengirim pesan pada Nuri.
[Nanti sore, kita periksa kedokter]
Dia ingin segera mengetahui kondisi janin dalam kandungan Nuri. Jangan sampai terjadi sesuatu karena kesalahan Nuri yang dia anggap ceroboh. Seperti tadi contohnya, olahraga berlebihan.
Nuri yang baru masuk kedalam kamar, terkejut melihat ada pesan dari Sabda. Setelah hari itu mereka bertukar nomor telepon, hari ini pertama kalinya Sabda mengirim pesan padanya.
Bibir Nuri tertarik keatas saat membaca pesan dari Sabda. Meski tak ada yang spesial dari pesan itu, dia sudah merasa senang karena diperhatikan. Setidaknya Sabda benar benar peduli dan menyayangi janin dalam kandungannya. Dan saat dia harus meninggalkan bayi itu kelak, dia tak terlalu khawatir.
.
.
.
Nuri sudah siap dengan pakaian terbaiknya. Memang tak sebagus pakaian milik Yulia apalagi Fasya, tapi setidaknya, Sabda tak akan malu saat jalan bersamanya. Setelah memakai make up ala kadarnya, dia keluar, menunggu Sabda diruang keluarga. Barusan dia sudah mengirim pesan pada Sabda jika dia sudah siap.
Tak berselang lama, dia melihat Sabda menuruni tangga. Pria itu terlihat sangat tampan dengan pakaian casual. Jika berpakaian seperti ini, Sabda terlihat sangat mirip dengan Dennis. Membust Nuri seketika teringat pada mantannya tersebut.
"Kau sudah siap?" tanya Sabda begitu sampai dihadapan Nuri.
"Hem." Sahut Nuri sambil tersenyum dan mengangguk.
"Ayo."
Nuri bangkit dari duduknya. Kali ini, tak ada uluran tangan seperti malam itu, tapi tak masalah. Nuri juga tak mengharapkannya karena dia tahu, laki laki yang berstatus suaminya itu, tidak menganggapnya sebagai istri.
"Mau kemana kalian?" Seruan Yulia menghentikan langkah Sabda dan Nuri. Keduanya lalu menoleh kearah Yulia.
"Kami mau periksa kandungan," jawab Sabda.
"Berdua?" Yulia tampak terkejut. Seolah olah pergi berdua adalah satu kesalahan besar.
"Iya," sahut Sabda.
"Apa Fasya tahu?" Yulia tampak keberatan.
"Fasya tak ada dirumah. Berkali kali aku menghubunginya sejak siang tadi, tapi tidak dijawab."
"Itu bukan berarti kamu bisa pergi berduaan dengannya." Yulia menatap Nuri nyalang. Tak rela jika hubungan mereka semakin dekat. Tak hanya itu, dia juga takut Nuri akan mengadukan perbuatannya selama ini. "Kau bisa melukai hati Fasya."
"Kami hanya periksa kandungan, tak lebih," ujar Sabda. Sebenarnya dia ingin mengajak Fasya ikut serta andai saja ada dirumah, sayangnya wanita itu tak tahu ada dimana.
"Itukan menurutmu. Tapi wanita mana yang rela suaminya pergi berdua dengan wanita lain." Yulia masih berusaha menggagalkan kepergian mereka. "Fasya pasti akan cemburu, sakit hati. Lagi pula, kau tak tahu apa yang wanita itu pikirkan," Yulia melirik Nuri tajam. "Biar dia periksa kandungan dengan ibu saja. Jangan sampai dia menggunakan kesempatan berdua denganmu untuk mendekatimu."
"Aku tidak seperti itu Bu," Nuri angkat bicara. Dia lelah kalau harus selalu difitnah.
"Halah, diam kamu. Wanita miskin sepertimu pasti akan menggunakan segala cara untuk bisa mendekati pria kaya seperti Sabda."
Nuri membuang nafas berat sambil menatap Yulia. "Yang berniat menikahiku adalah putra anda, bukan permintaan saya. Jadi sudah terlihat dari awal, jika saya tidak pernah berusaha mendekatinya. Tapi dia yang manarik saya kedalam kehidupannya."
Tapi bukan Yulia namanya jika dia tak pandai bersilat lidah. "Cih, putraku kau bilang? Kau pasti sudah merencanakan semuanya dari awal. Kalau tidak, tak mungkin Sabda tiba-tiba tahu kau hamil anak Dennis."
"Sudah, cukup." Sabda pusing melihat pertengkaran kedua wanita itu.
"Sudahlah Kak, lebih baik kita tak usah kedokter." Nuri yang sudah kehabisan kesabaran hendak pergi tapi tangannya dicekal oleh Sabda.
"Kita tetap akan pergi," ujar Sabda.
"Tapi_" Yulia jelas keberatan.
"Sudahlah Bu." Tatapan jengah dari Sabda membuat Yulia tak mau bicara lagi. Dia tak mau anaknya itu semakin kesal. "Ayo kita pergi." Sabda menggandeng tangan Nuri. Berjalan meninggalkan Yulia yang makin emosi karena melihat kedua tangan yang saling bertaut itu.