keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Cincin untuk Aza
Aza masih memikirkan pertemuannya dengan Tante Nur saat mereka melanjutkan jalan-jalan. Seingatnya, terakhir kali ia bertemu Tante Nur adalah saat masih SD, ketika Tante Nur belum menikah. Mereka sering bertemu saat Tante Nur berkunjung ke rumahnya di Blitar. Namun, setelah itu, kabar Tante Nur menghilang begitu saja, sepertinya karena menikah dan pindah ke kota lain. Bahkan bunda Zahra juga tidak tahu keberadaan Tante Nur setelah ibu Tante Nur meninggal dunia dan Tante Nur memutuskan untuk pindah ke luar kota.
“Mas Gus , aku terakhir ketemu Tante Nur tuh kalau nggak salah waktu masih SD. Waktu itu dia belum menikah,” kata Aza sambil terus memikirkan pertemuan tadi.
Gus Zidan mengangguk, mendengarkan. "Mungkin setelah menikah dia pindah, ya? Pantes kamu kaget tadi."
“Iya, sepertinya setelah menikah dia nggak tinggal di Blitar lagi,” lanjut Aza. "Aku ingat Bunda sering cerita tentang Tante Nur dulu, katanya mereka sahabatan dari kecil. Tapi ya, sejak Tante Nur pindah, kami jadi jarang ketemu. Bahkan Tante Nur juga merubah nomor kontaknya."
“Wah, berarti pertemuan tadi kebetulan banget, ya? Siapa sangka ketemunya di sini, bukan di Blitar,” Gus Zidan tersenyum. "Pasti Bunda kamu bakal senang kalau dengar kalian ketemu lagi."
Aza mengangguk. "Iya, pasti. Aku akan ceritakan ke Bunda nanti."
Mereka terus berjalan, menikmati waktu berdua, meski pikiran Aza sesekali kembali pada pertemuan dengan Tante Nur. Dunia terasa begitu kecil, dan pertemuan tak terduga seperti ini selalu menyisakan kehangatan sekaligus nostalgia bagi Aza.
Setelah keluar dari bioskop dan melanjutkan jalan-jalan sebentar, Aza merasakan perutnya mulai lapar. “Mas gus, kayaknya aku lapar nih. Kita ke food court, yuk!” Aza menarik lengan Gus Zidan menuju salah satu food court di gedung yang sama.
Mereka berjalan beriringan hingga tiba di area makan yang ramai, penuh dengan berbagai macam pilihan makanan. Aza langsung mengarahkan langkahnya ke stand yang menjual seafood—makanan favoritnya. “Aku mau pesan udang bakar sama cumi goreng tepung,” ucapnya antusias.
Gus Zidan hanya tersenyum, menggelengkan kepala sedikit. "Kamu makan aja, aku nggak terlalu lapar."
Seperti biasa, Aza memesan porsi besar, menumpuk hidangannya di atas meja. Udang bakar, cumi goreng tepung, dan beberapa lauk lainnya tersaji lengkap. Aza langsung mulai makan dengan lahap, menikmati setiap suapan, sementara Gus Zidan hanya duduk di seberangnya, memperhatikan dengan ekspresi tenang. Ia seperti sudah terbiasa melihat istrinya begitu bersemangat ketika berhadapan dengan makanan.
“Mas gus, beneran nggak mau? Nih, coba dikit,” tawar Aza sambil menyodorkan sepotong cumi goreng ke arah Gus Zidan.
Gus Zidan tertawa kecil, mengangkat tangannya menolak. "Melihat kamu makan gitu aja aku udah kenyang, kok."
Aza mendengus, “Sebenarnua kamu cuma mau bilang kalau aku rakus kan? Ingat ya, istrimu ini masih dalam masa pertumbuhan, jadi. Utuh banget makanan-makanan kayak gini!”
"Baiklah, makan yang banyak biar cepet tinggi."
Aza kemudian berpikir ulang, "eh, kira-kira aku gemuk nggak ya kalau makan banyak kayak gini? Kalau aku gemuk bagaimana?"
Gus Zidan tergelak melihat kelakuan polos istrinya, andai saja ia bisa tertawa bebas ia pasti akan tertawa kencang,
"Kenapa malah senyum kayak gitu?" tanya Aza sembari memiringkan kepalanya.
"Gemuk apanya? Kamu kan aktif, nggak bakal gemuk cuma gara-gara makan seafood," Gus Zidan membalas santai sambil melipat tangannya di depan dada.
Aza akhirnya hanya tersenyum sambil melanjutkan makannya, menikmati momen santai berdua di tengah keramaian. “Tapi serius, kamu harus coba ini udangnya enak banget,” katanya lagi sambil menyodorkan sepotong udang.
Gus Zidan, yang kali ini tak ingin mengecewakan Aza, akhirnya mengambilnya. “Oke, oke. Biar nggak dibilang cuma jadi penonton,” jawabnya sambil menggigit udang yang ditawarkan Aza.
Aza tersenyum puas, senang akhirnya berhasil membuat Gus Zidan ikut makan. Mereka pun terus mengobrol santai, sesekali bercanda, hingga akhirnya makanan di depan Aza habis. Wajah Aza tampak sumringah dan puas setelah menikmati makanannya.
“Udah kenyang?” tanya Gus Zidan sambil menatap Aza yang terlihat puas.
Aza mengangguk. “Kenyang banget! Sekarang kita mau ke mana lagi?”
Gus Zidan tidak langsung menjawab pertanyaan Aza, ia tampak sedikit gelisah. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Aza yang sedang sibuk membereskan mejanya, penasaran dan menatap Gus Zidan dengan alis terangkat.
"Ini," kata Gus Zidan pelan, sambil membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah cincin sederhana namun elegan, berkilau di bawah cahaya lampu food court. "Cincin ini kebetulan aku tadi melihat yang bagus di toko, jadi aku membelinya, semoga kamu suka, tapi kalau kurang pas kita bisa menukarnya."
Aza tertegun sejenak, menatap cincin itu lalu menatap Gus Zidan. "Ini untukku?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Gus Zidan mengangguk. "Iya. Waktu pernikahan kita kan mendadak, jadi aku nggak sempat menyiapkan cincin yang layak. Bagaimana kamu suka?"
Aza tersenyum tipis, "Suka. Ini pertama kalinya aku dapat cincin emas." ucap Aza bersemangat sembari memakai sendiri cincin itu , "Ini benar-benar bagus, aku suka."
Kasihan sekali, apa keluarganya begitu sederhana hingga ia tidak pernah punya cincin emas? Batin Gus Zidan merasa iba dengan istrinya itu.
Tapi bukankah ustad Zaki kerap terlihat di seminar-seminar keagamaan? Batin Gus Zidan lagi karena ia beberapa kali bertemu ustadz Zaki di seminar-seminar nasional. Bagaimana pun Gus Zidan lama tinggal di luar negri jadi ia tidak begitu mengenal siapa ustad Zaki, berbeda lagi dengan Abah yai yang sudah sangat familiar dengan beliau.
Setelah puas memandangi cincin yang melingkar di jarinya, Aza pun lalu menyingkap sedikit jilbabnya, memperlihatkan liontin yang ia kenakan. Itu bukan liontin biasa, melainkan cincin perak milik Gus Zidan, yang digunakan sebagai maskawin pada saat mereka menikah. Cincin itu terlalu besar untuk jari Aza, sehingga ia memutuskan untuk menggantungkannya di leher sebagai kenang-kenangan.
“Ini, Mas gus, cincin perakmu,” kata Aza sambil menunjukkannya. “Karena nggak ada yang pas di jariku, jadi aku pakai sebagai liontin.”
Gus Zidan tersenyum melihat itu. "Kamu kreatif juga, ya."
"Bagaimana? Apa harus ku kembalikan?" tanya Aza.
"Nggak perlu, kamu pakai saja, bagaimanapun itu tetap mahar pernikahan. Kalau enggak, kamu simpan aja, anggap itu kenangan pernikahan kita," katanya lembut,
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....