Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Merayu
Kecanggungan tampak menyelimuti Anja dan Nathan selama perjalanan mereka. Anja masih merasa canggung karena pikiran anehnya tadi, dan Nathan sedang berusaha mengendalikan jantungnya yang berdebar tak karuan.
"Eng..." Saat hendak memulai pembicaraan, keduanya malah berbicara bersamaan, membuat suasana semakin kikuk.
"Eh, kamu dulu deh Nathan," Anja mempersilahkan.
"Enggak, Bu Anja aja dulu," Nathan menggelengkan kepalanya.
"Kamu aja dulu, nggak apa-apa."
Suasana menjadi canggung lagi. Anja dan Nathan sama-sama menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Eng, Bu Anja kapan ada waktu senggang?" tanya Nathan dengan suara gugup. Matanya fokus menatap jalanan, tidak berani menoleh ke arah Anja.
"Hari rabu Ibu senggang sih, kenapa?"
Nathan tersenyum mendengar jawaban Anja. "Kemarin kan Ibu udah janji mau nemenin aku beli furnitur rumah,"
"Oh iya!" Anja menepuk dahinya sendiri, baru ingat janjinya pada Nathan. "Sepertinya aku beneran udah tua. Omongan yang kemarin aja sudah lupa," ucapnya sambil terkekeh.
"Tua apanya? Bu Anja masih sama cantiknya," puji Nathan tanpa sadar.
"Hm?" Anja mengangkat sebelah alis, tak menyangka akan mendapatkan pujian secara tiba-tiba. "Jadi menurut kamu Ibu cantik?"
Nathan terkesiap. Menyadari kalau dirinya keceplosan. Tapi ia dengan cepat menenangkan diri. "Tentu saja. Bu Anja juga kelihatan awet muda. Wajahnya masih sama dengan tujuh tahun lalu,"
"Astaga..." Anja menangkup wajahnya sendiri malu-malu. "Kalau kamu ngomong begitu, Ibu akan makin rajin perawatan,"
Nathan tak bisa menyembunyikan senyumnya. Lucu banget sih, jadi pengen cubit pipinya.
"Oh, ya? Tadi Bu Anja mau ngomong apa?" Nathan mencoba mengganti topik pembicaraan. Jangan sampai dia keceplosan lagi di depan Anja.
"Oh, tadi Ibu mau tanya gimana keadaan ayahmu. Beliau sehat?"
Senyuman di wajah Nathan langsung luntur. Ekspresinya berubah masam. "Ya," jawabnya singkat.
Anja menyadari perubahan ekspresi Nathan, tapi ia tetap bertanya. "Ayahmu nggak masalah kalau ditinggal sendirian di Australia?"
"Nggak," Nathan menjawab malas-malasan.
Anja menggigit bibir. Sepertinya hubungan Nathan dengan ayahnya belum membaik. "Jadi, apa kamu sudah mengatakan apa yang Ibu sarankan di depan muka ayahmu?"
Nathan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, membuat Anja terkejut. "Maksud Ibu kalimat, 'sekarang aku nggak butuh kamu lagi, b4jing4n' itu?"
"Astaga.." Anja langsung menutup mulutnya dengan tangan, merasa shock sekaligus malu. "Apa aku mengatakannya sekasar itu? Maaf Nathan, sepertinya Ibu tidak bisa menjadi guru yang baik untukmu,"
"Hahahaha!" Nathan malah tertawa lebih keras. "Bu Anja baru sadar?"
Anja menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Saat itu kan Ibu baru beberapa bulan menjadi guru, jadi wajar kalau belum bisa mengendalikan omongan," Anja membela diri. "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya?"
Nathan menggeleng perlahan. "Belum. Aku belum sesukses itu Bu, jadi mungkin aku akan mengatakannya beberapa tahun lagi."
"Syukurlah," Anja pura-pura menghela napas lega. "Kalau nanti kamu benar-benar mengatakannya, tolong jangan bilang itu ide Ibu, ya?"
Nathan terkekeh. "Wah, sekarang aku malah jadi pengen melakukannya."
"Jangan dong," Anja berkata dengan nada memohon. "Kalau begitu Ibu ganti deh kata-katanya,"
"Nggak bisa begitu!" Potong Nathan cepat. "Ucapan Bu Anja tujuh tahun lalu sudah terpatri jelas di otakku."
"Astaga, anak ini..." Anja memberengut kesal. "Sepertinya aku salah mendidik murid,"
Tawa Nathan terdengar semakin kencang.
Setelah perjalanan selama dua puluh menit, mobil Nathan berhenti di depan gerbang sekolah.
"Syukurlah gerbangnya belum ditutup," Anja merasa lega.
"Kalaupun sudah ditutup, nggak masalah juga. Bu Anja kan sudah tau jalan alternatif lain," celetuk Nathan sambil tertawa. Ia jadi teringat pertemuan pertamanya dengan Anja tujuh tahun lalu.
"Hei, jangan bilang siapa-siapa, itu adalah aibku yang sangat besar," Anja menempelkan telunjuknya di depan bibir, lalu membuka sabuk pengamannya. "Terimakasih ya Nathan, berkat kamu Ibu tidak terlambat,"
"Eh, sebentar Bu, jangan keluar dulu," cegah Nathan, lantas ia berjalan ke luar mobil.
"Kenapa? Ada apa?" Anja bertanya-tanya. Ternyata Nathan hanya berjalan memutar untuk membukakan pintu.
"Silahkan Bu,"
"Astaga, ngapain sih?" Anja terheran-heran. "Ibu kan bisa buka sendiri Nathan,"
"Di Australia, semua pria melakukan ini Bu," Nathan lagi-lagi membual.
Anja hanya bisa menarik napas panjang. "Sepertinya kamu harus memperbaikinya, Nathan. Sekarang kamu di Indonesia, dan hal-hal seperti itu tidak umum digunakan di sini. Kecuali kalau kamu mau merayu wanita,"
"Kalau memang niatku begitu, bagaimana?"
"Apa?"
"Kalau ternyata aku memang berniat untuk mer—"
"Nathan!" Anja tiba-tiba menarik kerah Nathan dan masuk ke dalam mobil.
"Kenapa, Ada apa?" Nathan berseru panik.
"Cepat tutup pintunya, cepat!" perintah Anja. Meskipun bingung, Nathan menuruti perintah gurunya itu.
"Ada apa sih, Bu?"
"Ssttt..." Anja menempelkan telunjuknya pada bibir Nathan. "Kamu diam dulu,"
Nathan sontak terdiam. Bukan karena perintah Anja, melainkan karena saat ini jantungnya berdebar hebat. Apalagi jarak wajahnya dengan Anja hanya tinggal beberapa senti saja. Kalau Anja menoleh sedikit, bibir mereka bisa saja bersentuhan.
Astaga, apa yang aku pikirkan? Kau sudah gila ya, Nathan!
Di sisi lain, Anja tidak sempat berpikir apa-apa, karena saat ini pandangannya tertuju pada seorang wanita yang melajukan motornya ke arah gerbang. Nathan mengikuti arah pandang Anja dan sedikit mengernyitkan dahi.
"Bukannya itu Bu Eni?"
"Iya, itu yang namanya Eni Sutemi," Anja tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Kenapa Bu Anja malah sembunyi di sini dan tidak menyapa dia?"
"Aduh, Nathan. Daripada Ibu harus ketemu dan menyapa dia duluan, lebih baik suruh Ibu menguras air laut dengan sendok!"
Nathan mengangkat sebelah alisnya heran. Sebenarnya, dosa apa yang sudah dilakukan Bu Eni sampai Bu Anja ku tercinta begitu membencinya? Aku yakin yang salah pasti Bu Eni, soalnya Bu Anja nggak mungkin salah.
Setelah memastikan Bu Eni menghilang dari pandangan, Anja buru-buru membuka pintu mobil dan bergegas keluar.
"Terimakasih ya Nathan! Ibu harus cepat-cepat sampai kelas biar nggak ketemu Bu Eni!" Anja melambaikan tangan sambil berlari, meninggalkan Nathan yang masih terbengong-bengong di dalam mobilnya.
"Bu Anja!" Nathan berteriak sambil melongok melalui jendela mobil. "Nanti aku jemput ya!"
Anja menghentikan langkahnya sejenak, menatap ke arah Nathan. "Nggak usah repot-repot, nanti Ibu pulang naik ojol!"
"Pokoknya nanti aku jemput!" Nathan tak memedulikan ucapan Anja. Sebelum Anja sempat menolak tawarannya lagi, Nathan langsung melajukan mobilnya pergi dari area sekolah.
Anja hanya bisa menghela napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar anak itu,"
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan