Sheila Cowles, seorang anak yatim piatu, menjalani kehidupan sederhana sebagai cleaning service di sebuah toko mainan anak-anak.
Suatu hari, karena kecerobohannya, seorang wanita hamil besar terpeleset dan Sheila menjadi tersangka dalam kejadian tersebut.
"Kau telah merenggut wanita yang kucintai. Karena itu, duniamu akan kubuat seperti di neraka," kata Leonard dengan penuh amarah.
"Dengan senang hati, aku akan menghadapi segala neraka yang kau ciptakan untukku," jawab Sheila dengan tekad yang bulat.
Bagaimana Sheila menghadapi kehidupan barunya sebagai ibu sambung bagi bayi kembar, ditambah dengan ancaman Leonard yang memendam dendam?
🌹Follow akun NT Othor : Kacan🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kacan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDHD 33 (Berubah?)
Lima bulan berlalu.
Sejak kejadian yang menimpa Sheila, Leonard tak lagi pernah menyentuhnya. Bahkan, pria itu tak lagi mengungkit-ungkit tentang kematian Zora.
Pria itu tak lagi memanggil penata rambut untuk merubah gaya rambutnya menjadi seperti Zora. Kini rambutnya menjuntai panjang, dan tampak indah.
Hanya saja, cara berpakaiannya tetap seperti mendiang istri Leonard.
Sungguh aneh. Tapi, jika diingat-ingat bagaimana marahnya Leonard hingga ia harus mendapatkan sepuluh jahitan di keningnya, hatinya langsung terasa ngilu.
Kenangan buruk! Dan Sheila benci mengingatnya.
Sheila meraba keningnya sembari mematut diri di depan cermin meja rias. Sorot matanya menatap serius ke arah refleksi dirinya.
“Aku bersyukur bekas lukanya tidak begitu kentara,” kata Sheila bermonolog.
Ya, semua itu tidak terlepas dari Leonard yang memiliki dokter keluarga terhebat sehingga bekas jahit di keningnya tampak samar.
Sheila menyudahi kegiatannya, lalu beranjak pergi ke kamar baby twins.
Dengan perlahan Sheila membuka pintu kamar kedua putri sambungnya. “Rose, apakah mereka sudah tidur?”
Rose yang tengah duduk di dekat baby box pun langsung berdiri.
“Belum, nona Viona dan nona Viola sepertinya menunggu kehadiranmu,” ujar Rose.
Dua sudut bibir Sheila meninggi, ia menghampiri kedua putrinya yang sudah memasuki usia enam bulan.
“Bolehkah aku meminta tolong padamu, Rose?”
Kepala Rose mengangguk sebagai jawaban.
“Bantu aku membawa baby twins ke kamarku,” ucap Sheila.
“Baiklah.” Lagi-lagi Rose menganggukkan kepala.
Sheila mengangkat Viola ke dalam gendongannya, sementara Rose menggendong Viona.
Setibanya di kamar, Sheila langsung meletakkan putri sambungnya ke atas ranjang dengan penuh kehati-hatian, yang disusul oleh Rose.
“Sebaiknya saya kembali, permisi.” Dengan sungkan Rose meninggalkan kamar Sheila yang juga menjadi kamar tuannya, Leonard.
Rose, wanita itu tidak mau memusingkan apa yang sebenarnya terjadi di keluarga tempat dia bekerja. Tugasnya hanya mengurus bayi kembar tuannya, bukan yang lain.
Melihat kepergian Rose yang terburu-buru membuat Sheila menggeleng-gelengkan kepala.
“Ma.”
“Ba.”
Sheila menoleh kala suara celotehan dua bayi gembulnya menguar.
“Iya, Sayang-sayangnya Mama.” Sheila menghampiri Viona dan Viola yang sudah berubah posisi menjadi tengkurap.
“Ma … ba.” Viona dan Viola menghentak-hentakkan kedua tangan gembulnya.
Melihat itu tentu Sheila tertawa. Ia dengan sifat jahilnya mentoel-toel kedua pipi yang lebih mirip dengan bakpao, sampai bayi-bayi gembul itu berceloteh tak jelas.
“Protes sama Mama, ya? Iya-iya maaf, habisnya kalian gemesin banget.”
Belakangan ini, kedua putri sambungnya semakin aktif berceloteh, dan Sheila merasa bahagia atas perkembangan dua bayinya.
Rasa sayangnya ke pada si kembar makin hari makin besar, tak ada kata berkurang.
Sheila mengangkat kepalanya, menatap ke arah jam yang sudah memasuki waktu malam.
“Sebentar lagi waktunya tidur,” ucap Sheila sambil memeragakan apa yang diucapkannya.
Dua bayi gembul itu mengerti gerakan Sheila, dan suara-suara celotehan keluar beruntun.
Apakah kedua bayi itu tengah protes?
Sheila terus memperhatikan gerak-gerik Viona dan Viola, sampai matanya menyaksikan kedua bayi itu berubah posisi menjadi duduk.
Ia tak lagi terkejut, karena hal ini sudah sering ia lihat saat si kembar berumur lima bulan.
Tiba-tiba sebuah suara gemerincing kunci yang tergantung di pintu berbunyi, disaat itu pula muncul celah pada pintu yang semakin lama semakin lebar.
Sheila menoleh, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu dengan kemeja terlihat sama rapinya ketika pagi.
Leonard yang berada di ambang pintu kamar terdiam di tempatnya berdiri, sorot matanya terkunci pada wanita yang selama lima bulan ini ia hindari.
“Ma, ma, bah.” Kedua bayi gembul menggerak-gerakkan tangannya, menunjukkan keantusiasan atas kedatangan daddy mereka.
Suara Viona dan Viola menyadarkan Sheila dan juga Leonard yang saling beradu tatap.
Sheila gelagapan, buru-buru dirinya berdeham pelan. “E-eh, Viona dan Viola senang ya lihat daddy pulang,” ucapnya mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba hadir.
Sementara Leonard terlihat biasa-biasa saja, tidak menunjukkan ekspresi kaget.
Pria itu melangkah mendekati ranjang. Leonard membungkukkan tubuhnya, ia menyapa kedua putri kecilnya tanpa melakukan kontak fisik.
“Daddy mandi dulu ya. Sama mama dulu ya, Baby twins,” ucap Leonard lembut.
Seakan mengerti, kedua bayi gembul itu menghentak-hentakkan tangan di atas ranjang.
“Iya, Daddy,” sahut Sheila menimpali dengan suara dibuat seperti anak kecil.
Deg!
Leonard mengangkat kepala, membuat sorot matanya bersitatap dengan netra sang istri.
Keduanya terdiam dalam perasaan mengganjal.
“Ekhem!” Leonard memutus kontak matanya dengan Sheila. Ia menegakkan punggungnya, lalu berlalu pergi ke kamar mandi.
“Mama? Daddy? Oh sial! Jantung keparat!” maki Leonard dalam hati, merutuki kebodohannya sendiri.
Sheila menggeleng-gelengkan kepalanya, menghilangkan bayang-bayang wajah Leonard yang tadi menatapnya.
Dalam hati ia merapalkan mantra yang membuatnya cepat kembali waras “Dia gila, dia jahat, dia kejam!”
Beberapa menit berlalu, Leonard keluar dari kamar mandi dengan handuk putih menutupi pinggang hingga atas lututnya.
Aroma segar dari sabun yang digunakan Leonard menguar, menusuk hidung Sheila.
Sheila melirik suaminya sekilas, lalu matanya kembali terfokus pada Viona dan Viola.
“Kenapa mereka belum tidur?” tanya Leonard yang tiba-tiba sudah duduk di dekatnya.
Tubuh Sheila tersentak kaget. Ia memegangi dadanya sembari mengatur napas.
“Ini aku mau mengantar mereka ke kamar,” jawab Sheila setengah berbisik, sebab ia tidak ingin kedua putri sambungnya memanggilnya dengan sebutan ‘aku’.
Leonard mengangguk. Pria itu berdiri menghadap Sheila. “Tunggu, aku mengenakan baju.”
Mata Sheila terpaku pada bulir-bulir air yang mengalir dari leher suaminya. Matanya bergerak mengikuti bulir air menghilang di pusar Leonard.
“Tunggu aku!” ulang Leonard saat menyadari Sheila yang diam-diam mengamati tubuhnya.
“Ha?” Sheila terlihat bingung. Namun, sedetik kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Iya, iya.”
Sheila menatap punggung lebar suaminya yang berjalan masuk ke dalam walk in closed sembari merutuki diri dalam hati.
Bersambung ….
Eh udeh bab 33 aje 🙈 jangan lupa angkat jempole ye zeyeng 🤭🤭🤭
di tunggu kelanjutan ya