Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taruhan Terakhir
Sirene polisi semakin mendekat, menggema melalui gedung yang sepi. Alia bisa merasakan jantungnya berdetak begitu cepat seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Tangan pria besar yang memegang senjata tetap terangkat, mengarah lurus ke arah Alia. Di saat yang sama, Rio berdiri tak jauh darinya, sementara Aldo menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam, masih memegang ponselnya. Semua tampak seperti berada di ambang jurang, hanya butuh satu gerakan salah untuk membuat segalanya runtuh.
“Turunin senjatanya,” kata Rio pelan namun tegas, matanya tertuju pada pria besar di sebelahnya. “Kita udah nggak punya waktu lagi. Polisi udah di sini.”
Pria besar itu mendengus, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan. Namun, dia tidak bergerak, senjatanya masih terarah pada Alia. “Gue nggak peduli. Kalau kita jatuh, cewek ini ikut jatuh.”
Rio maju beberapa langkah, kini jaraknya dengan pria itu hanya beberapa meter. “Gue bilang turunin senjatanya. Kita nggak akan bisa keluar dari sini kalau lo terus kayak gini.”
Alia bisa melihat ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka. Rio tampak gelisah, meskipun berusaha menyembunyikannya. Dia tahu posisinya genting, dan satu langkah salah bisa membuatnya kehilangan segalanya—termasuk Alia.
“Apa lo nggak ngerti? Kita nggak bisa lari lagi,” lanjut Rio. “Semua ini udah selesai. Kalau lo nembak sekarang, nggak ada jalan balik buat lo.”
Pria besar itu terlihat berpikir sejenak, tatapannya berpindah dari Alia ke Rio, lalu kembali lagi. “Lo pikir gue takut?” gumamnya dengan nada rendah, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Gue udah terlalu dalam di sini, Rio. Gue nggak akan jatuh sendiri.”
Aldo yang berdiri tak jauh dari sana akhirnya angkat bicara. “Lo nggak perlu ngelakuin ini,” katanya dengan suara tenang, berusaha menenangkan situasi. “Semua orang masih punya kesempatan buat keluar dari sini dengan aman. Lo cuma perlu melepas senjatanya dan nyerah.”
“Diam lo!” bentak pria besar itu, suaranya menggema di ruangan yang kini sunyi. Aldo terdiam, tapi tatapannya tetap tak gentar. Alia bisa merasakan ketegangan semakin memuncak, seakan waktu berhenti di sekitar mereka.
Lalu tiba-tiba, pria besar itu melangkah maju, membuat jantung Alia semakin berdebar kencang. Dia bisa melihat jari pria itu bergerak sedikit di pelatuk, bersiap untuk menembak. Namun, sebelum dia bisa menarik pelatuknya, Rio bergerak cepat. Dalam satu gerakan gesit, Rio menerjang ke arah pria itu, mencoba menjatuhkan senjatanya.
Suara benturan terdengar keras ketika tubuh mereka berdua saling bertabrakan, membuat senjata pria itu terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi dentingan logam. Alia berteriak kaget, mundur beberapa langkah, sementara Aldo langsung bergerak maju untuk membantu. Tapi pria besar itu terlalu kuat. Dalam hitungan detik, dia berhasil melepaskan diri dari Rio dan berdiri lagi, kali ini dengan ekspresi marah yang semakin mengerikan.
“Apa lo pikir lo bisa ngalahin gue, Rio?” suaranya bergemuruh, penuh amarah. Dengan satu tinju keras, dia memukul Rio hingga jatuh tersungkur ke lantai. Rio mengerang kesakitan, namun sebelum pria itu bisa melakukan apa-apa lagi, Aldo sudah menghampirinya dan berusaha menahan tubuh besar pria itu.
“Aldo, hati-hati!” teriak Alia, merasa ngeri melihat pertarungan yang berlangsung di depannya. Namun Aldo terus melawan, meski kekuatannya jelas tak sebanding dengan pria besar itu. Mereka saling bergulat di lantai, berusaha mendapatkan kendali atas situasi.
Sementara itu, Rio dengan susah payah bangkit dari lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya. Alia ingin berlari ke arahnya, namun langkahnya tertahan oleh rasa takut yang semakin mencekam. Dia tahu, situasinya terlalu berbahaya untuk bertindak gegabah. Rio, meskipun terluka, tidak menyerah. Dengan sisa tenaganya, dia berlari menuju senjata yang terjatuh dan berhasil meraihnya.
“Jangan bergerak!” teriak Rio, mengarahkan senjatanya pada pria besar yang kini sedang bertarung dengan Aldo. Pria itu terhenti sejenak, menyadari bahwa Rio kini memiliki kendali.
Aldo berhasil melepaskan diri dan berdiri di samping Rio, napasnya memburu. Pria besar itu menatap mereka dengan penuh kebencian, namun jelas dia tahu bahwa pertarungan ini sudah berakhir.
“Kita udah selesai di sini,” kata Rio dengan nada rendah tapi penuh ketegasan. “Kalau lo mau selamat, lo akan ikut apa yang gue bilang.”
Pria itu tidak menjawab, hanya menatap Rio dengan tatapan tajam. Namun akhirnya, perlahan, dia mengangkat tangannya tanda menyerah.
Rio tetap waspada, tidak menurunkan senjatanya. “Alia, cepet keluar dari sini,” katanya tanpa menoleh ke arah Alia.
Alia berdiri diam sejenak, merasa hatinya tersayat melihat Rio dalam kondisi seperti ini. Namun dia tahu, ini bukan waktunya untuk berpikir panjang. Dia harus keluar, seperti yang Rio katakan.
“Ayo, Alia!” Aldo berkata dengan tegas, mengisyaratkan agar dia segera pergi. Alia mengangguk pelan dan mulai berlari menuju pintu keluar, meskipun perasaannya campur aduk.
Namun, tepat saat dia hampir mencapai pintu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah tembakan keras terdengar, memecah keheningan. Alia terdiam di tempat, tubuhnya gemetar. Dia berbalik perlahan, melihat ke arah sumber suara.
Di sana, Rio berdiri dengan senjata yang masih berasap, tatapannya kosong. Pria besar yang tadi berdiri di hadapannya kini terkapar di lantai, darah mengalir deras dari dadanya. Aldo berdiri terkejut, wajahnya pucat, sementara Alia merasa seluruh dunianya runtuh.
“Rio... apa yang lo lakuin?” suara Alia nyaris tak terdengar, penuh dengan rasa syok dan ketidakpercayaan.
Rio menundukkan kepalanya, seolah mencoba memahami apa yang baru saja dia lakukan. “Gue... nggak punya pilihan lain,” gumamnya pelan, suaranya terdengar jauh dan hampa.
Namun sebelum ada yang sempat bereaksi lebih lanjut, sirene polisi terdengar semakin dekat, dan cahaya biru mulai memantul di dinding luar gedung. Rio menoleh cepat ke arah pintu, lalu kembali menatap Alia.
“Lo harus pergi sekarang,” katanya dengan nada putus asa. “Lo nggak bisa ketangkap di sini. Gue yang akan ambil semua tanggung jawab.”
“Gue nggak akan ninggalin lo, Rio!” Alia berteriak, air mata mulai mengalir di pipinya. “Lo nggak bisa lakuin ini sendirian!”
Rio tersenyum pahit, tapi matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Lo harus, Alia. Ini satu-satunya cara.”
Sebelum Alia bisa mengatakan apa pun, Aldo menarik lengannya dengan lembut namun tegas. “Alia, kita harus pergi sekarang.”
Dengan berat hati, Alia akhirnya menurut, meskipun setiap langkah yang dia ambil terasa seperti belati yang menghujam hatinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—ini belum berakhir. Semua masih jauh dari selesai.
Di belakang mereka, Rio berdiri sendiri, menunggu saat-saat terakhir sebelum polisi datang. Sementara di luar, malam semakin kelam, seakan menyembunyikan lebih banyak rahasia yang akan terungkap di kemudian hari.
Alia melangkah keluar dari gedung itu dengan pikiran berkecamuk. Namun, baru beberapa meter dari pintu, dia mendengar sesuatu yang membuatnya berhenti seketika. Suara derap langkah mendekat dengan cepat, dan suara yang dikenalnya dengan baik, lebih baik daripada yang dia duga dengan berkata, “Alia, tunggu!”. Seketika Alia membeku. Itu suara yang tak mungkin dia abaikan.