Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murid terlemah lalu membangkitkan kekuatannya.
Arkan adalah murid yang paling tidak diperhatikan di sekolah. Tubuhnya kecil, kurus, dan tak berdaya. Wajahnya selalu menunduk, menyembunyikan sorot mata yang sering kali kosong. Hampir tak ada yang mengingat keberadaannya. Jika ada yang berbicara padanya, itu karena mereka ingin mempermalukannya.
Sekolah Menengah Azura bukan sekolah biasa. Di sini, para murid bukan sekadar belajar ilmu akademik, melainkan juga dilatih dalam kekuatan spiritual yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Setiap murid memiliki kekuatan berbeda, diwarisi dari keluarga atau suku mereka. Ada yang mampu mengendalikan elemen, ada yang bisa menyembuhkan luka, dan beberapa bahkan memiliki kemampuan telepati.
Namun, Arkan, anak dari keluarga tanpa sejarah kekuatan luar biasa, tampaknya tidak mewarisi apa-apa. Bahkan saat tes kekuatan diadakan pada awal masuk sekolah, ia tak menunjukkan apa pun. Hanya keheningan yang terasa memalukan. Itu sebabnya ia disebut "Murid Terlemah".
Tetapi, di dalam diri Arkan ada sesuatu yang tak diketahui oleh siapapun, bahkan dirinya sendiri.
Setiap kali sesi pelatihan kekuatan diadakan, Arkan selalu menjadi bahan ejekan. Di sisi lain, teman sekelasnya, Raka, adalah yang paling menonjol. Dengan kekuatan api yang membara di tangannya, Raka selalu berlatih dengan penuh percaya diri. Setiap orang kagum padanya, dan tidak jarang Raka menggunakan kekuatannya untuk menekan murid-murid yang lebih lemah.
Hari itu, latihan rutin diadakan di lapangan terbuka. Semua murid harus menunjukkan kemajuan mereka dalam menguasai kekuatan masing-masing.
"Ayo, Arkan!" seru salah satu instruktur, seorang pria besar dengan bekas luka di wajahnya. "Coba lagi. Mungkin kali ini kamu akan berhasil."
Arkan menghela napas dalam, menatap telapak tangannya. Ia sudah mencoba berkali-kali, tapi tak ada yang terjadi. Tak ada percikan api, tak ada cahaya yang keluar, hanya rasa malu yang semakin membesar.
"Kau harusnya menyerah saja," Raka mengejek dari kejauhan, disambut tawa dari sekelompok teman-temannya. "Bagaimana bisa seseorang sepertimu bisa masuk sekolah ini?"
Arkan mengepalkan tangannya, namun tetap diam. Sudah lama ia tak melawan, karena tak ada gunanya. Di dunia ini, kekuatan adalah segalanya, dan ia tak punya itu.
Malamnya, Arkan terbaring di kamarnya yang sempit. Hanya cahaya bulan yang menerobos jendela, menyoroti ruangan. Ia teringat hari-hari di mana ibunya selalu mendorongnya untuk tetap percaya, bahwa semua orang memiliki kekuatan masing-masing. Tapi ibunya sudah lama tiada, dan kepercayaan Arkan ikut menghilang bersamanya.
Arkan meringkuk di tempat tidur, mencoba mengabaikan suara-suara di kepalanya—suara ejekan, tawa, dan hinaan. Saat itulah ia mendengar sesuatu yang berbeda. Bukan suara dari pikirannya, tapi bisikan halus, asing.
“Kekuatanmu tersembunyi… dalam kegelapan…”
Arkan terbangun. Suara itu terdengar begitu nyata. Ia duduk, matanya menyapu ruangan, tapi tak ada siapa pun.
“Siapa di sana?” tanyanya, suaranya bergetar.
Tak ada jawaban. Namun, perasaan aneh merayapi dirinya, seolah-olah sesuatu yang besar sedang menunggu untuk bangkit dari dalam dirinya. Tiba-tiba, ruangan terasa lebih dingin, dan ia melihat bayangannya sendiri di dinding mulai bergerak. Itu bukan pantulan dirinya, melainkan sesuatu yang lain.
“Kau akan tahu… saat waktunya tiba,” bisik suara itu lagi, sebelum menghilang seiring bayangan yang lenyap.
Arkan tak bisa tidur malam itu. Pikirannya dipenuhi oleh ketakutan dan rasa penasaran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Keesokan harinya, Arkan masih diselimuti oleh kebingungan. Namun, hari itu ia tidak dihina atau dipermalukan. Pelatihannya berlangsung biasa saja, seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi saat malam tiba, hal aneh kembali terjadi.
Ketika ia berlatih sendirian di lapangan, mencoba menyalakan kekuatannya yang tak pernah muncul, tiba-tiba bayangannya mulai bergerak lagi. Kali ini lebih jelas. Dari dalam bayangan itu muncul sosok hitam besar, berbentuk seperti makhluk dengan sayap lebar dan mata merah membara.
“Kamu lemah, karena kamu takut,” suara itu bergema di kepalanya.
Arkan terdiam, jantungnya berdegup kencang.
“Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Arkan.
“Saya adalah bagian dari dirimu. Kekuatanmu. Lepaskan rasa takutmu, dan kita akan bersatu.”
Arkan tertegun. Apakah ini kekuatannya? Apakah kegelapan ini adalah miliknya?
Hari itu tiba. Di sekolah diadakan pertarungan antar murid untuk mengukur kekuatan mereka. Semua orang tahu Raka akan menang, seperti biasa. Ketika Arkan berdiri di arena, lawannya adalah Raka. Tawa dan ejekan mengiringi langkahnya menuju tengah lapangan.
“Kau seharusnya tak ada di sini, Arkan,” kata Raka, dengan api menyala di kedua tangannya.
Arkan menelan ludah, merasakan getaran di tubuhnya. Namun, sesuatu di dalam dirinya mulai berdesir. Suara bisikan itu kembali muncul, mengalirkan rasa percaya diri yang baru.
“Lepaskan rasa takutmu…”
Saat Raka melancarkan serangan api yang besar, Arkan memejamkan mata. Dalam detik itu, dunia di sekitarnya terasa melambat, dan tiba-tiba dari bawah kakinya, bayangannya sendiri menyebar dengan cepat, menelan api yang diluncurkan Raka. Seluruh arena terdiam dalam ketakutan.
Bayangan itu mulai membentuk sosok besar di belakang Arkan, sayap hitam raksasa dan mata merah yang sama seperti yang ia lihat malam sebelumnya. Raka tertegun, matanya terbelalak tak percaya.
“Apa... apa itu?” teriak Raka, mundur beberapa langkah.
Arkan membuka matanya, kini penuh dengan keyakinan. “Ini... kekuatanku.”
Sosok bayangan itu melompat maju dengan cepat, menghentikan Raka sebelum ia sempat mengeluarkan serangan lain. Arena dipenuhi kegelapan, namun tak ada yang menyentuh penonton atau murid lain—hanya Raka yang ditelan oleh kekuatan Arkan.
Setelah pertarungan itu, tak ada lagi yang berani meremehkan Arkan. Sosok bayangan yang menyertainya selalu ada di belakangnya, namun kini Arkan bisa mengendalikannya. Ia telah memahami bahwa kekuatan terbesarnya muncul dari tempat yang tak pernah ia duga: kegelapan yang ia takutkan selama ini.
Murid-murid di sekolah kini melihatnya dengan hormat. Tak ada lagi ejekan atau hinaan. Bahkan Raka, yang selama ini merasa paling kuat, kini mengakui bahwa Arkan adalah lawan yang tak bisa dianggap remeh.
“Kekuatan bukan hanya soal kekuatan fisik,” kata Arkan suatu hari kepada teman-temannya. “Terkadang, kekuatan terbesar muncul dari tempat yang paling gelap. Kita hanya perlu berani menghadapinya.”
Dan sejak saat itu, Arkan tidak lagi dikenal sebagai murid terlemah. Ia adalah murid yang membangkitkan kekuatan dari dalam kegelapan—dan kekuatan itu adalah yang paling menakutkan dari semuanya.