keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Semakin terjebak
Kemudian Gus Zidan beralih menatap Aza yang perlahan keluar dari persembunyiannya, "Apa sebenarnya yang kau lakukan di sini?" ia berbisik dengan nada penuh amarah, sementara kilatan kamera masih terdengar dari balik pintu yang tertutup rapat.
"Aku kan sudah bilang dari tadi." ucap Aza tanpa rasa bersalah.
Setelah semua wartawan berhasil diusir oleh Wahyu, Aza menghela napas lega, perasaannya sedikit lebih tenang. Masih dengan hati-hati, ia melangkah ke depan, mencoba menghindari tatapan tajam Gus Zidan. Aza merasa sudah cukup masalah untuk satu malam.
"Terima kasih atas bantuanmu," ucap Aza pelan, masih dengan nada penuh rasa syukur meski situasinya terasa begitu canggung. Ia menundukkan kepala sejenak dan berbalik untuk pergi. Namun, baru saja ia melangkah menuju pintu, Wahyu dengan cepat memblokir jalannya, wajahnya tampak serius.
"Maaf, Nona, tapi Anda tidak bisa pergi sekarang," kata Wahyu tegas, tangannya terangkat seolah untuk menghentikannya.
Aza menatap Wahyu, bingung dan frustrasi. "Kenapa? Saya sudah berterima kasih kan? saya tidak ingin menimbulkan lebih banyak masalah. Saya hanya ingin keluar dari sini."
Wahyu menggeleng. "Tidak sesederhana itu. Wartawan di luar mungkin sudah pergi, tapi masalah yang lebih besar pasti akan muncul. Mereka sudah melihat Anda di sini bersama Gus Zidan. Jika Anda pergi begitu saja, spekulasi akan semakin liar. Mereka akan menganggap ada sesuatu yang disembunyikan dan akan sangat merugikan Gus Zidan begitu juga dengan anda."
Aza terdiam, memikirkan kata-kata Wahyu. Perasaannya yang sebelumnya lega mulai kembali tegang. Ia bisa membayangkan judul-judul berita esok hari jika ia keluar dari hotel ini sendirian setelah kehebohan tadi. Apalagi dengan klarifikasi yang dibuat pria yang bernama Wahyu tentang dirinya sebagai "istri" Gus Zidan. Segalanya akan jadi lebih buruk.
Gus Zidan akhirnya berbicara, nadanya lebih tenang namun penuh ketegasan. "Wahyu benar. Jika kamu pergi sekarang, gosip itu akan meledak, dan kami tidak akan bisa mengendalikannya. Kamu harus tinggal sementara sampai situasi tenang."
Aza membelalak. "Tinggal di sini? Tapi… ini tidak masuk akal. Saya hanya gadis biasa yang baru lulus SMA, memang siapa yang akan membuat gosip bodoh itu!?"
Wahyu tersenyum miring, "Mungkin anda gadis biasa, lalu bagaiman dengan Gus Zidan, ia seorang...," belum sampai menyelesaikan ucapanya Gus Zidan segera memberi isyarat pada wahyu agar tidak melanjutkan ucapannya.
"Kalian benar-benar misterius, tapi apapun itu aku tidak bisa terjebak dalam masalah ini lebih lama lagi." ucap Aza yang kembali panik.
Wahyu menatapnya serius. "Percayalah, ini bukan hanya masalah Anda. Jika Anda pergi, situasi ini bisa menghancurkan reputasi Gus Zidan dan juga Anda. Anda harus menunggu sampai kami bisa mengurus semuanya dengan aman."
Aza merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Ia ingin kabur dari masalah awalnya, tetapi kini malah terjebak dalam masalah yang lebih besar. Mata Gus Zidan masih mengamati, dan Aza tahu dia tidak akan mengizinkannya pergi begitu saja.
Dengan berat hati, Aza menghela napas panjang. "Jadi… apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyanya, setengah putus asa.
Gus Zidan dan Wahyu saling bertukar pandang. Mereka tahu ini bukan pilihan yang mudah, tapi situasi ini menuntut tindakan hati-hati.
Gus Zidan menghela napas panjang, merasa situasi ini semakin tidak masuk akal. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan menuju lemari di sudut kamar, mengabaikan perdebatan antara Aza dan Wahyu yang semakin memanas. Dia tahu, mengenakan handuk mandi sambil berdiskusi dengan wanita asing yang jelas bukan mahramnya adalah hal yang tak mungkin ia lakukan lebih lama.
"Biarkan aku ganti baju dulu," katanya dengan suara rendah namun tegas, meski lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Aza menatapnya sekilas, merasa semakin canggung dengan keadaan ini. Ia menyadari betapa aneh dan tidak nyaman posisi mereka saat ini, terutama bagi Gus Zidan yang harus berurusan dengan seseorang yang baru saja masuk ke kamarnya tanpa izin. Sementara itu, Wahyu masih berdiri di ambang pintu, menjaga agar Aza tidak keluar.
Gus Zidan dengan cepat membuka lemari, mengambil pakaian, dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti bajunya. Suara air keran yang menyala terdengar samar-samar di balik pintu. Di dalam kamar mandi, Gus Zidan merasa perlu menenangkan pikirannya. Ini semua terjadi begitu cepat—dari wartawan yang menyerbu hingga klaim Wahyu bahwa Aza adalah istrinya. Sesuatu yang jelas-jelas tidak pernah ia bayangkan.
Di luar, Aza berdiri canggung, memeluk dirinya sendiri. Perasaannya berkecamuk, ia merasa ingin pergi, tapi tahu bahwa Wahyu mungkin benar—masalah ini bisa jadi lebih besar jika ia bertindak sembarangan. Namun, tinggal di sini lebih lama bersama Gus Zidan juga bukanlah sesuatu yang nyaman baginya.
"Kenapa aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini?" pikirnya, sambil menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat.
Wahyu, yang diam-diam memperhatikan Aza, tahu bahwa masalah ini harus diatasi dengan hati-hati. “Nona, kita harus menyelesaikan ini dengan baik. Saya yakin Gus Zidan tidak ingin masalah ini berkembang lebih jauh, dan begitu juga dengan Anda. Kita tunggu saja sampai dia selesai ganti baju, baru kita bicarakan solusinya."
Aza hanya bisa mengangguk pelan, berharap ada jalan keluar dari kekacauan ini.
Baru saja Gus Zidan selesai mengganti bajunya dan melangkah keluar dari kamar mandi, ponsel Wahyu tiba-tiba berdering. Wahyu memandang layar ponselnya sejenak, wajahnya berubah tegang saat melihat nama yang tertera.
"Ini dari Abah Yai," katanya dengan suara rendah, sambil melirik Gus Zidan.
Gus Zidan mengangguk perlahan. "Angkat. Aku ingin tahu apa yang akan Abah Yai katakan."
Wahyu segera mengangkat telepon, suaranya hormat ketika berbicara, "Assalamualaikum, Abah Yai."
Suara di ujung telepon terdengar dalam dan serius, meski Aza tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan. Namun dari ekspresi wajah Wahyu yang semakin cemas, ia tahu bahwa masalah ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Setelah beberapa saat, Wahyu memandang Gus Zidan dengan sorot mata serius.
"Berita tentang kejadian tadi sudah menyebar, Gus. Abah Yai sudah mengetahuinya. Beliau meminta pertanggungjawaban dan menuntut kita untuk tidak bergerak dari sini. Beliau akan datang segera untuk menyelesaikan masalah ini."
Gus Zidan terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Hatinya mulai dipenuhi perasaan berat. Abah Yai, kakeknya, adalah sosok yang dihormati, baik dalam keluarga besar maupun di kalangan pesantren. Jika Abah Yai sudah turun tangan, itu berarti masalah ini sudah dianggap serius.
Aza yang mendengar itu, langsung merasa tubuhnya melemas. Ia semakin terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Siapa yang mau datang? Apa aku juga harus ikut menunggu?" tanya Aza yang sudah tidak nyaman berada di dekat Gus Zidan dan Wahyu, rasanya ingin segera kabur saja.
"Abah Yai... kakek saya." ucap Gus Zidan singkat bahkan tanpa menatap Aza.
"Memang apa hubungannya denganku kalau dia akan datang ke sini?" tanyanya berlagak cuek sembari membetulkan penutup jaketnya agar menutupi kepalanya yang memang tidak memakai jilbab. Meskipun ustad Zaki begitu religius tapi ia tidak pernah memaksakan putrinya untuk memakai jilbab, ia yakin suatu saat putrinya itu akan terbuka sendiri hatinya untuk memakai jilbab.
Gus Zidan mengangguk perlahan, tatapannya masih serius. "Karena kamu sudah berurusan dengan saya. Jadi jangan harap bisa kabur sampai Abah yai datang."
Aza hampir tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi. Rencana kaburnya telah berubah menjadi bencana yang lebih besar. Dan kini, ia harus menunggu kedatangan seorang ulama besar yang akan menuntut penjelasan atas semua ini.
Di luar kamar, suasana kembali sunyi, tapi ketegangan di dalam semakin memuncak. Gus Zidan merasakan tekanan yang luar biasa, tapi ia tahu tak ada jalan lain selain menghadapi masalah ini dengan tegar. Abah Yai tidak akan menerima alasan apapun selain kebenaran, dan Gus Zidan harus bersiap untuk memberikan jawaban yang jelas—entah untuk dirinya sendiri atau untuk gadis yang kini terjebak dalam kehidupannya.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....