Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tindakan
...••••...
Masih dalam keheningan, Echa larut dalam pikirannya sendiri mengabaikan posisinya yang riskan.
Sedangkan Pram tidak sedikitpun melepaskan tatapannya dari Echa yang berada di pangkuannya. Wajah Echa yang begitu serius dengan pikirannya sampai mengerutkan keningnya membuat tangan Pram terulur mengelusnya hingga kerutan itu menghilang.
"Jangan berpikir terlalu keras, kamu akan pusing."
Echa tersadar dari keterpakuannya ketika Pram menyelipkan anak-anak rambutnya yang mencuat nakal.
"Kalau mas belum menikah, terus apa maksud ciuman tadi?" Echa memberanikan diri untuk menatap Pram.
"Serius kamu menanyakan hal itu?"
Echa menganggukkan kepalanya, "Aku masih tidak mengerti."
"Saya memiliki perasaan terhadap kamu Narecha, dan saya ingin kita menikah."
Tunggu-tunggu, apa katanya, menikah?
Echa menatap Pram dengan tidak percaya, "Mas lagi ngelantur kan?"
"Seratus persen saya menyadari apa yang keluar dari mulut saya." Wajah Pram yang menunjukkan keseriusannya membuat Echa meneguk ludahnya kasar.
"Mas ngga lupa kan kalau kita itu paman dan keponakan?" Echa menahan tangannya pada bahu Pram ketika pria itu semakin menempelkan tubuh keduanya.
"Persetan dengan status itu, kita bukan keluarga Narecha." Suara Pram terdengar lebih dalam dengan aura yang dikeluarkan kini terasa berbeda.
"Tapi mas-"
"Dengar baik-baik Narecha, jangan sekali-kali kamu memotong ucapan saya, mengerti?"
"Iya."
"Kita berdua tidak memiliki hubungan persaudaraan apapun Narecha, saya hanya adik angkat dari mamamu, selebihnya tidak ada. Saya begitu menginginkan kamu dalam hidup saya Narecha. Ungkapan saya memang terdengar buru-buru sekali. Tapi itulah kenyataannya, saya begitu menyukai kamu sampai rasanya saya tidak ingin membiarkan orang lain melihat kamu sedikitpun." Ujar Pram dengan panjangnya.
Seharusnya Echa senang mendengar pengakuan yang tidak dia duga-duga sama sekali dari mulut Pram. Tapi mengapa Echa mendengarnya malah terasa merinding.
Echa benar-benar tidak menyangka jika perasaannya tidak sepihak.
Pram juga menyukainya.
"Tapi aku tidak menyukai mas." Tentu saja perkataan Echa sepenuhnya bohong.
"Tidak apa, saya tidak perduli akan hal itu," tangan Pram yang berada di pinggangnya meremas membuat Echa meringis antara sakit juga geli.
Tatapan Pram yang menghunus tajam membuat Echa tidak bisa untuk tidak menunduk. Echa benar-benar tidak kuat jika harus bertatapan dengan Pram lama-lama.
"Rasa suka itu akan datang dengan sendirinya, kamu hanya cukup diam, menerima setiap perlakuan yang mulai saat ini akan kamu dapatkan." Echa kontan menahan nafas ketika Pram menyusupkan kepalanya pada ceruk lehernya.
Pram menghirup rakus rakus aroma khas yang dikeluarkan Echa, tidak pernah berubah sedikitpun dari dulu. Malah rasanya kini semakin memabukkan hingga membuat candu.
"Mas," Echa mengigit bibir bawahnya ketika Pram mengecup lehernya beberapa kali. Tidak tahukah pria itu jika leher merupakan titik paling sensitif dari tubuhnya.
Pram menghirup nafasnya dalam-dalam sebelum menjauhkan kepalanya dan menatap wajah Echa dalam-dalam.
"Tidak akan pernah saya lepaskan kamu Narecha, sedikitpun." Pram terlihat bersungguh-sungguh dalam perkataannya membuat perasaan Echa semakin campur aduk.
Echa senang, tentu saja. Hanya saja Echa merasa ada mengganjal dihatinya. Dan Echa tidak tahu apa penyebabnya.
"Mas, beneran suka sama aku?" kali ini Echa menatap Pram dengan seksama. Dia ingin melihat apakah ada titik kebohongan di wajah pria itu. Tapi yang Echa lihat hanya keseriusan yang terpancar.
Pram sungguh-sungguh dalam perkataannya.
"Tanpa saya berkata pun kamu sudah mengetahui jawabannya."
"Mas sungguh-sungguh?" Echa hanya tidak ingin jika kejadian yang saat ini tengah terjadi hanya dalam mimpinya saja.
Kali ini Pram menganggukkan kepalanya perlahan membuat Echa yakin jika pria itu tidak berbohong.
Seharusnya Echa senang bukan?
Setelah sekian lama memendam perasaannya sendiri kini dia tidak perlu lagi menyembunyikannya. Pram sendiri menyukainya.
"Berhenti mas," Echa menahan kepala Pram yang akan mendekati wajahnya.
Tatapan Pram yang tidak sedikitpun terlepas dari bibirnya membuat Echa panas dingin dibuatnya. Matanya yang memancarkan gairah yang begitu mendalam membuat Echa cepat-cepat bangkit dari pangkuan Pram meskipun tidak pria itu izinkan dengan mudah.
"Mas, lepas ya," Echa memohon pada Pram.
"Saya suka posisi kita yang seperti ini." Kali ini kedua tangan Pram mengelus pinggangnya.
"Tapi aku yang ngga nyaman." Echa jujur dengan perkataannya sebab ada sesuatu yang mengganjal dibawah bokongnya.
Dan pastinya hal itu bukanlah hal yang baik karena sebelumnya Echa tidak merasakannya.
Pram menggelengkan kepalanya membuat Echa harus berpikir keras.
"Aku lapar mas." Untungnya alasan itu langsung melintas di kepalanya membuat Echa tidak harus berpikir keras untuk kebohongannya.
Tapi mengenai lapar memang benar Echa rasakan, siang tadi dia tidak sempat makan banyak dikarenakan jadwalnya yang cukup padat.
Pram menggeram rendah dengan menutup matanya sebelum memindahkan Echa dari atas pahanya ke sampingnya.
Pram sendiri tidak ingin kehilangan kendali dirinya sendiri dan membuat Echa ketakutan. Pram masih harus menahan sisi lain dari dirinya yang terus memberontak. Setidaknya untuk saat ini.
"Ada yang kamu inginkan?" meskipun Pram telah memindahkan Echa jadi disampingnya, tapi tangan pria itu tidak terlepas sedikitpun dari pinggangnya.
"Apa aja boleh, kalau bisa aku mau yang ada kuah kuahnya, pedas apalagi kayanya enak." Untuk urusan makanan Echa tidak akan segan untuk mengatakan apapun yang dia inginkan.
"Oke."
Pram berdiri meninggalkan Echa yang tentunya kebingungan. Tapi hal itu bagus juga karena akhirnya Echa bisa menarik nafas dengan lega.
Aura yang sebelumnya terasa menyesakkan tapi tidak sampai membuatnya sakit hilang juga bersama kepergian Pram.
Setengah jam berlalu dengan Echa yang larut dalam pikirannya sendiri memikirkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Pram.
Kalimat yang begitu manis sampai-sampai membuat Echa ingin merekam setiap kata yang diucapkannya.
Sepuluh menit kemudian Pram kembali setelah selesai menyelesaikan masakannya sesuai dengan apa yang diinginkan wanitanya.
Iya, Pram habiskan waktu empat puluh menit untuk memasak.
Meskipun sudah ada chef khusus, kali ini Pram ingin dia sendiri yang memasak. Ya, meskipun memang ada campur tangan orang lain, setidaknya Pram yang benar-benar memberi bumbu untuk cita rasa makanannya.
"Baby girl, makanannya sudah siap." Pram datang dan langsung mengecup pipi Echa membuat wanita itu terkesiap dan menatapnya dengan tajam.
"Mas ngagetin!"
"Maaf jika tindakan saya membuat kamu terkejut." Pram mengelus kepala Echa perlahan membuat perasaan kesal wanita itu hilang seketika.
Bagaimana bisa Echa marah jika Pram berlaku begitu manis seperti itu.
Yang ada malah Echa yang luluh.
"Lain kali mas jangan seperti itu." Untung saja Echa tidak memiliki riwayat jantung, bagaimana kalau dia punya, apa tidak langsung jantungan dia.
"Iya, saya tidak akan melakukannya lagi."
Echa menerima uluran tangan Pram yang membawa keduanya pada area ruang makan. Dimeja sudah terdapat makanan yang sesuai dengan kemauannya ditemani dengan beberapa jenis makanan lain yang begitu menggugah selera.
"Semua mas yang masak?" Echa menatap Pram dengan takjub.
"Tidak semuanya karena beberapa ada yang dibantu chef." Pram menarik kursi untuknya Echa persilahkan duduk diatasnya.
Entah apa status keduanya kini, Echa hanya ingin menikmatinya saja. Biarlah waktu yang menjawab semuanya. Apakah Echa memilih untuk menerima Pram atau malah sebaliknya.
...••••...