Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepas Awan Untuk Priska?
Patah hati memang menyakitkan. Ketika menyadari bahwa apa yang telah diperjuangkan berakhir sia-sia. Bagi sebagian orang, patah hati ibarat badai yang menghancurkan hal buruk dan kemudian mendatangkan yang baik. Namun, bagi Priska Frastika, patah hati hanyalah gumpalan luka dan kekecewaan yang semakin lam semakin membesar. Dan karenanya, kadang seseorang rela berbuat apapun, meski mempertaruhkan harga diri.
Di sebuah kafe ....
Priska belum dapat menghentikan tangisnya sejak lima menit lalu. Penolakan Awan semalam benar-benar telah menginjak harga dirinya. Tanpa perasaan, pria yang memacarinya lebih dari lima tahun itu meninggalkannya begitu saja.
Tak ada yang dapat ia lakukan, selain mencurahkan keluh kesahnya kepada Ibu Sofie, satu-satunya di keluarga Dewanto yang mendukung hubungannya dengan Awan.
“Aku kecewa sama Awan, Tante. Apa artinya semua janji yang pernah dia ucapkan kalau akhirnya menikahi wanita lain.”
“Sabar, Priska. Semua itu bukan keinginan Awan. Kamu tahu kan seperti apa ayahnya, Awan juga terpaksa menikahi wanita itu.”
"Tapi kenapa Awan menyerah begitu saja?"
Tangis Priska semakin menjadi, sementara Ibu Sofie terus berusaha menenangkannya. “Kamu tenang saja, nanti tante akan bicara sama Awan. Tante tahu persis, Awan juga tidak menyukai Pelangi.” Kalimat bujukan itu berhasil menghentikan air mata Priska, berganti menjadi senyum kemenangan.
Sebuah kotak berisi tas branded digesernya ke hadapan wanita itu. “Oh ya, ini buat Tante, aku beli di Paris. Maaf, baru sempat ajak Tante ketemuan.”
Bu Sofie hanya melirik tas seharga puluhan juta yang baru saja diberikan Priska, tetapi tak berniat menyentuhnya.
"Tante jangan salah paham sama aku, ya. Aku beli itu karena aku sayang Tante. Aku tidak ada maksud apa-apa."
Bu Sofie tersenyum tipis. “Makasih, Pris. Tapi kamu tidak usah repot-repot. Tante masih punya banyak tas seperti ini.”
“Tidak apa-apa, Tante. Aku kalau belanja ingat Tante terus.” Ibu Sofie kembali tersenyum dan mengusap bahu Priska.
“Tante, apa aku boleh minta tolong?”
“Minta tolong apa?”
“Awan mungkin tidak enak meninggalkan Pelangi. Tapi Tante bisa kan, minta Pelangi yang meninggalkan Awan.”
"Tapi kenapa kamu tidak bicarakan berdua dengan Awan saja untuk mencari jalan keluar?"
Priska menggenggam jemari Bu Sofie. "Aku sudah bicara dengan Awan. Dia bilang sendiri sama aku kalau rumah tangganya dengan wanita itu tidak berjalan baik. Lagi pula Awan masih mencintai aku, Tante."
..........
Pelangi memakai khimarnya dan segera keluar kamar setelah mendengar suara bel. Ia sedikit heran, karena tidak biasanya ada yang bertamu di rumah. Pelangi melihat melalui jendela. Dari sana ia dapat melihat ibu mertuanya berdiri di depan pagar.
Dengan cepat, Pelangi berjalan keluar dan membuka pagar. Meskipun tahu sang mertua tak begitu menyukainya, namun Pelangi tetap menyambut kedatangannya dengan sopan dan ramah.
“Ibu ke mari untuk membicarakan hal penting dengan kamu,” ucap Bu Sofie setelah Pelangi mempersilahkan sang mertua untuk duduk di ruang keluarga. Ia baru saja membuat teh hangat dan juga menghidangkan beberapa camilan di meja.
“Ada apa, Bu?”
Bu Sofie menghela napas panjang sebelum berkata, “Pelangi, ibu langsung saja pada tujuan ibu kemari. Sejak awal kamu dan Awan sama-sama terpaksa menikah. Kamu pasti sudah tahu Awan mencintai wanita lain, kan?”
Layaknya luka yang sengaja disiram dengan air garam, Pelangi merasakan perih di hatinya. Ucapan sang mertua memang benar adanya. Awan mencintai wanita dari masa lalunya. “Saya tahu, Bu.”
“Syukurlah kalau kamu tahu. Priska sudah kembali, dan sudah waktunya kamu melepas Awan.”
Sesak terasa memenuhi dada Pelangi. “Istighfar, Bu. Apa Ibu sadar dengan apa yang Ibu ucapkan?”
“Ibu sangat sadar, Pelangi! Semua ibu itu menginginkan kebahagiaan untuk anaknya, dan kebahagiaan Awan adalah bersama Priska, bukan kamu!” Meskipun ucapan Bu Sofie masih terbilang pelan, namun sangat menusuk bagi Pelangi.
Pelangi seakan tak percaya, mengapa betapa mudah mertuanya meminta untuk meninggalkan sang suami.
“Bu, walaupun surga seorang suami ada pada ibunya, tapi tidak dibenarkan bagi seorang ibu untuk merusak rumah tangga atau meminta anaknya menceraikan istrinya tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Merusak hubungan pernikahan orang meskipun itu dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya sendiri masih tergolong takhbib, dan hukumnya adalah haram.”
Bu Sofie tersentak.
“Tapi untuk apa kalian pertahankan rumah tangga seperti ini? Kalian tidak bahagia, bukannya lebih baik bercerai? Pokoknya kalau kamu tidak mau melepas Awan, maka ibu sendiri yang akan bicara sama dia. Lagi pula bercerai dalam agama itu tidak dilarang.”
“Astaghfirullahaladzim. Bu ... Perceraian memang sesuatu yang halal tapi sangat dibenci Allah dan sebaliknya sangat disukai iblis. Barang siapa yang meminta seorang suami menceraikan istrinya tanpa sebuah alasan, maka dia telah membantu tujuan iblis untuk menyesatkan manusia.”
Rasa panas terasa menjalar ke tubuh Ibu Sofie. Mendadak wajahnya terlihat merah. Ucapan Pelangi seperti sebuah pukulan telak baginya.
........ ...
Sepanjang hari ini tidak ada yang bisa dilakukan Pelangi. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Hati mana yang akan kuat, mendapati bekas lipstik serta aroma parfum wanita pada pakaian suaminya. Dan bukan hanya itu, kedatangan sang mertua yang mengejutkan dengan membawa permintaan mustahil.
"Setidaksuka itukah ibu kepadaku sampai mau meminta Mas Awan menceraikanku?"
Ingatan Pelangi sekarang hanya tertuju pada rumah orangtuanya. Tempat di mana ia dihujani kasih sayang yang tulus. Di mana tak seorang pun pernah memberinya rasa sakit.
Awan masih bekerja saat ponsel berdering. Kerutan tipis terlihat di kening saat melihat nama yang tertera pada layar, yang anehnya berhasil membuat jantungnya berdebar. Ini adalah pertama kali Pelangi menghubunginya.
"Assalamu'alaikum, Mas." Lembut suara Pelangi terdengar setelah panggilan itu terhubung.
"Wa'alaikumsalam. Kenapa, Pelangi?"
“Mas, aku mau minta izin.”
“Minta izin apa?”
“Kalau Mas mengizinkan, apa boleh malam ini aku menginap di rumah ayah? Aku sangat merindukan ayah dan ibu,” lirih Pelangi.
Sejak menikah, ia memang belum pernah berkunjung ke rumah kedua orangtuanya dan menghabiskan seluruh waktunya di rumah sang suami.
“Boleh. Kamu mau pergi sekarang?”
“Iya.” Pelangi menjawab singkat.
“Kalau begitu aku akan minta sopir kantor mengantar kamu.”
“Tidak usah, Mas. Aku akan minta Zidan menjemputku.”
Awan terdiam beberapa saat. Seperti ada yang aneh dari suara Pelangi.
“Tunggu! Kamu nangis?”
...........