Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Punya Bibi
"Maaf," lirih Larisa sembari memegangi sebelah tangan Denis, air matanya terus menetes membasahi kulit laki-laki itu.
Denis yang mulai tersadar, membuka kelopak mata. Telinganya terusik karena suara tangis Larisa yang lirih. Ia tersenyum, mengangkat tangannya yang lemah mengusap kepala Larisa.
Gadis itu mengangkat wajah, menangis tersedu sambil memeluk Denis. Menumpahkan rasa bersalah yang membuatnya takut kehilangan.
"Jangan menangis!" lirih suara Denis bergetar.
Larisa menggelengkan kepala, tetap terisak di pelukan laki-laki itu. Senyum merekah di bibir Denis, merasakan kehangatan yang tak pernah dia dapat. Melihat seseorang yang mengkhawatirkan keadaannya sampai menangis pilu seperti yang dilakukan Larisa.
Ia teringat pada istri Darwis saat kehilangan suaminya. Wanita itu pun menangis histeris, tak ingin kehilangan.
Apa Larisa sama seperti bibi? Menangis karena takut kehilanganku? Ah, apa aku terlalu percaya diri?
Denis tertawa di dalam hati, tapi berharap pemikirannya tentang Larisa adalah benar. Gadis itu menangis karena takut kehilangannya.
Brak!
Denis dan Larisa tersentak saat pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Haris masuk dengan langkah yang panjang dan lebar, mendekati ranjang di mana kedua manusia di sana menatapnya dengan bingung.
Dengan gerakan kasar Haris menarik tangan Larisa hingga ia bangkit dari ranjang. Cekalannya yang begitu kuat membuat gadis itu meringis merasakan sakit pada pergelangan tangan.
"Kau! Apa kau ingin membunuh Denis?" bentaknya berapi-api.
Mata yang selalu tenang kini terlihat memerah penuh murka. Larisa menggelengkan kepala, meronta karena rasa sakit yang teramat.
"Aku tahu gadis seperti apa dirimu? Katakan padaku apa tujuanmu menikahi Denis? Katakan padaku!" geram Haris semakin kuat mencengkeram lengan gadis itu.
"Ah, sakit! Tu-tuan, sakit. Anda menyakitiku," ucap Larisa meringis hebat. Ia menggenggam tangan Haris agar melepaskan cekalannya.
Air mata Larisa kian berjatuhan, tersedu-sedan merasakan sesak yang tiba-tiba datang. Ia menjerit lirih, memohon kepada Haris untuk melepaskan tangannya.
Denis mencoba memanggil, tapi tenaganya belum berkumpul untuk bersuara keras. Tak tega melihat Larisa yang kesakitan karena asistennya yang salah paham itu.
"Katakan padaku, apa tujuanmu menikah dengan Denis? Apa kau suruhan seseorang untuk membunuhnya?" desis Haris dari balik gigi-giginya yang merapat.
Larisa membungkuk karena tak kuasa menahan sakit di pergelangan tangannya.
"Tidak! Aku tidak memiliki tujuan apapun. Aku juga bukan suruhan orang, apalagi berniat membunuhnya. Aku tidak tahu, tolong lepas ... argh, sakit!" Larisa menjerit ketika Haris nyaris memutar tangannya dengan kuat.
"Ibu, sakit! Tanganku sakit! Tuan, tolong lepaskan tanganku, aku bersumpah tidak memiliki tujuan apapun. Tuan, tolong! Argh!"
"Cukup Haris! Lepaskan istriku!" bentak Denis dengan napas tersengal, ia duduk setelah berusaha mendapatkan tenaga. Menatap nyalang pada laki-laki yang tengah menyakiti istrinya itu.
Larisa dan Haris menoleh, membelalak keduanya melihat Denis yang semakin memucat. Lalu, terkulai pada sandaran ranjang. Haris melepas cekalannya hingga tubuh Larisa terjerembab di lantai. Gadis itu menangis, tapi tak berani mendekat karena Haris yang kini berada di sisi Denis.
"Tu ... Denis! Bagaimana perasaanmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya Haris dengan cepat.
Denis masih mencoba mengumpulkan udara untuk mengisi paru-parunya yang menyempit. Ia menggelengkan kepala, melirik Larisa yang menangis pilu di lantai sambil menatapnya.
"Bukan salah Larisa. Ini salahku, kau jangan menyalahkan dia apalagi sampai menyakitinya. Dia istriku, Haris," ucap Denis terengah-engah, suaranya yang lirih nyaris tak terdengar.
Haris melirik Larisa, entah mengapa dia tiba-tiba marah pada wanita itu melihat kondisi Denis yang memburuk. Siapa lagi yang akan disalahkan? Di rumah itu hanya ada mereka berdua.
"Sudahlah, kau kembali saja. Ada Larisa yang akan merawat ku." Denis menepuk-nepuk lemah tangan Haris.
Memintanya untuk pergi dan tak perlu mencemaskan kondisinya.
"Tapi bagaimana jika dia menyakitimu lagi?" kejar Haris masih tersisa rasa marah di hatinya walaupun Larisa memang tidak bersalah.
"Tidak! Sebaiknya kau bawakan apa yang aku minta semalam. Hari ini aku tidak pergi ke kantor dulu," ucap Denis mencoba meyakinkan Haris.
Pemuda dengan mata setajam elang itu menatap nyalang pada Larisa. Seolah-olah dia adalah mangsa empuk yang mudah ditelan meski hidup-hidup. Haris menghela napas, menatap Denis yang tersenyum.
"Baiklah. Semua yang kau minta sudah aku letakkan di ruang tamu. Sebaiknya kau beristirahat dulu, aku akan mengambil obatmu. Kali ini kau harus meminumnya agar sembuh secara total." Seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.
Larisa menatap takjub kedua laki-laki itu, mereka begitu dekat bagai saudara. Saling mengkhawatirkan satu sama lain, saling menjaga dan melindungi. Bukankah mereka hanya teman dan sekedar rekan kerja? Kenapa yang Larisa lihat Denis lebih mendominasi dari pada Haris.
Haris berdiri, berbalik menghadap Larisa yang serta merta mendongak menatap pemuda itu. Ia mengusap-usap pergelangan tangannya yang terasa berdenyut nyeri. Ada bekas kemerahan di sana, rasanya kulit Larisa nyaris terkelupas saking kuatnya cekalan Haris.
"Aku tidak tahu apa tujuanmu menikah dengan Denis, tapi jika sekali lagi kau membuat Denis seperti ini maka jangan salahkan aku berbuat lebih," ancam Haris sebelum membawa langkahnya keluar dari kamar Denis.
Larisa menunduk tak berani mengangkat wajah apalagi bersitatap dengan manik suaminya. Denis yang melihat itu tersenyum, memanggil Larisa agar mendekat ke arahnya.
"Kemarilah!" Ia menepuk sisi kasur meminta Larisa untuk duduk di sana.
Larisa menoleh ke luar kamar sebelum bangkit. Khawatir Haris masih di sana dan akan kembali marah padanya.
"Tak perlu takut. Haris hanya terlalu khawatir dengan keadaanku saja." Denis tersenyum dan kembali menepuk sisi kasur di dekatnya.
Larisa beranjak, masih memegangi pergelangan tangannya yang terasa berdenyut. Duduk di tepi ranjang dengan wajah yang menunduk. Denis meraih tangan Larisa dan memeriksa pergelangannya.
"Kurang ajar, Haris! Beraninya dia menyakiti istriku." Denis mengumpat melihat kulit sang istri yang memerah dan nyaris membiru.
"Apakah sakit?" tanya Denis menatap iba pada Larisa, ia mengusap pipi gadis itu dengan lembut.
Mengangguk Larisa merasakan perih yang tiada tara di pergelangan tangannya itu. Rasa bersalah menghampiri hati Denis. Menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya, tapi ia tidak menyalahkan sikap Haris tadi karena tahu dialah orang yang selama ini selalu mencemaskan keadaannya.
"Aku meminta maaf atas nama Haris. Dia seperti itu karena terlalu mengkhawatirkan aku," ucap Denis lirih di telinga sang istri.
"Aku juga meminta maaf. Jika bukan karena kau yang memakan mie itu, kau tidak akan mengalami hal buruk seperti ini," sahut Larisa yang bergetar nyaris menangis.
Denis mengusap rambutnya lembut, mengecup kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. Kehidupan mereka sama, hanya berbeda cerita saja.
Larisa mendongak, matanya menyiratkan sesuatu untuk ditanyakan.
"Oya, Denis, jika kau tidak boleh memakan mie instan, kenapa ada mie instan di dapur?" tanya Larisa penasaran.
Denis tersenyum, mengusap rambutnya lembut.
"Itu milik bibi. Terkadang dia datang bersama anaknya ke sini, bukan punyaku. Tak kusangka ternyata bibi menyimpannya di lemari dapur," jawab Denis menjelaskan.
Larisa manggut-manggut dan kembali menatap suaminya.
"Aku akan membuatkan sarapan, kau harus minum obat," katanya seraya beranjak meninggalkan kamar Denis.
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......