NovelToon NovelToon
Lagu Dendam Dan Cinta

Lagu Dendam Dan Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Romansa / Menikah dengan Musuhku / Pengasuh
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Susri Yunita

Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.

Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.

Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.

Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32. Kejutan Dari Mia

Ternyata Alessia yang hendak masuk ke kamara Amara, ia muncul dengan membawa nampan berisi sarapan.

“Pagi, Amara. Pagi, Dante,” sapa Alessia dengan senyum lembut. "Aku pikir kau akan bangun lapar, jadi aku membawa bubur dan teh hangat untukmu."

Amara tersenyum kecil. "Terima kasih, Kak Ales."

Alessia menatap Dante dengan sorot mata penuh tanya, seolah ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam. Namun, Dante menghindari tatapan itu. Ia berdiri dari tempat tidur, mengambil jaketnya yang tergantung di kursi.

“Aku akan pergi ke kantor sebentar,” katanya sambil menghindari kontak mata dengan Amara.

Amara terkejut. "Kantor? Kau tidak terlihat baik-baik saja. Kau pasti belum tidur."

Dante tersenyum kecil, senyuman yang tidak sampai ke matanya. "Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu mengurus beberapa hal."

Amara ingin sekali menahan Dante, tapi ia tahu percuma, Takada alasan apapu lagi. Dan hari ini ada sesuatu yang jelas ia sembunyikan.

Dante menatap Amara sekali lagi, walau tak benar benar berani melihat matanya. “Istirahatlah yang cukup, Amara. Aku akan kembali nanti.” Dengan itu, ia keluar dari kamar, meninggalkan Alessia dan Amara dalam keheningan.

Sementara itu, beberapa jam kemudian, Dante berada di ruang kerjanya, duduk di balik meja dengan pandangan kosong. Tangannya memegang pena, tetapi tidak ada dokumen di depannya yang ia baca. Pikirannya terus melayang ke malam sebelumnya, ke pelukan Amara, ke kata-kata yang ia dengar dari bibir wanita itu saat ia mengigau.

“Hal paling indah dalam hidupku adalah Dante. Tapi juga yang paling menyakitkan.”

Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya, menghantam hatinya seperti pisau tajam. Bagaimana ia bisa melukai wanita yang ia cintai seperti ini? Bagaimana ia bisa berdiri di hadapannya setelah apa yang terjadi?

Dante mengepalkan tangan, menahan air mata yang ingin jatuh. Ia ingin membenci dirinya sendiri, tetapi yang lebih ia benci adalah dunia yang memaksa mereka berada di posisi ini.

Masih di kamarnya, Amara duduk bersandar di tempat tidur, menikmati sarapan yang disiapkan Alessia sebelumnya. Namun, pikirannya terus melayang pada Dante. Sesuatu jelas tidak beres. Ia bisa merasakan dinding tebal yang Dante bangun di antara mereka pagi ini.

“Nico, tolong ambilkan selimut Ibu di sofa,” kata Amara pada bocah kecil itu.

Nico, yang duduk di kursi sambil bermain dengan mainannya, langsung menurut. Saat ia keluar dari kamar, Alessia mendekat ke sisi Amara.

“Ada yang kau pikirkan?” tanya Alessia lembut.

Amara mengangguk, menatap Alessia dengan mata penuh tanya. “Dante. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan. Kakak, apakah Dante sakit? Atau.. apa?”

Alessia terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu tentang tekanan yang Dante alami, tentang pernikahan yang terpaksa dilakukan di rumah sakit. Namun, ia tidak tahu bagaimana mengatakannya pada Amara.

“Amara, Dante tidak kenapa-kenapa, dia sehat, dia hanya mencintaimu lebih dari apa pun. Apa pun yang ia lakukan, itu pasti karena ia ingin melindungimu,” kata Alessia akhirnya.

Amara menatap Alessia dengan mata yang tajam, mencoba mencari jawaban dari ekspresi wanita itu. Tapi Alessia hanya tersenyum samar, mengalihkan pandangan.

“Beristirahatlah, Amara. Kau masih butuh banyak energi untuk pulih.”

Namun, Amara tahu ada sesuatu yang tidak dikatakan Alessia. Dan ia bertekad untuk mencari tahu apa itu.

Malam harinya, Dante pulang lebih awal setelah berbicara sesuatu dengan Mia di suatu tempat. Ia masuk ke kamar Amara dengan langkah pelan, membawa sekeranjang bunga mawar putih yang ia beli di jalan. Amara yang sedang membaca buku, menoleh ketika mendengar suara pintu.

“Dante,” katanya hampir tak terdengar.

Dante tersenyum tipis, meletakkan bunga itu di atas meja kecil di samping tempat tidur. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya.

Amara mengangguk. "Sedikit lebih baik. Tapi aku ingin bicara denganmu."

Dante duduk di kursi dekat tempat tidur, menatap Amara dengan mata yang lelah. "Tentang apa?"

“Dante, apa yang sebenarnya terjadi? Kau terlihat begitu tidak sehat pagi ini, dan seperti ada sesuatu yang ingin kau katakan tapi tidak bisa.”

Dante terdiam, hatinya berdebar kencang. Ia tahu momen ini akan datang, momen di mana ia harus menjelaskan semuanya pada Amara. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

“Amara…” Dante menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Ada hal yang harus aku ceritakan padamu."

Namun, sebelum satu kata pun keluar dari bibirnya, ponsel Amara yang tergeletak di meja samping berbunyi, menandakan ada pesan masuk.

"Aku sudah sah menjadi istri Dante sekarang!”. Sebuah pesan dari Mia. Lalu disusul beberapa foto pernikahan. Dan beberapa baris pesan ancaman.

“Semoga kau bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri, Amara. Aku tidak akan berhenti menghalangimu sampai kau benar-benar enyah dari hidup suamiku, Dante. Satu Langkah saja kau maju, beribu cara bisa kulakukan untuk melenyapkanmu. Kau bukan lawan sepadan".

Dada Amara serasa berhenti berfungsi saat ia melihat gambar itu, Mia dan Dante duduk di depan penghulu, tangan mereka bersatu, dengan senyum tipis di wajah Mia.

Saat ia mendongak, tatapannya bertemu dengan Dante yang masih menunggunya untuk berbicara.

Amara tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan rasa sakitnya. Tidak di depan Dante. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai dirinya. Senyuman kecil yang dipaksakan muncul di wajahnya saat ia meletakkan kembali ponselnya dengan tenang.

"Maaf," katanya sambil menatap Dante. "Kau tadi ingin mengatakan apa?"

Dante mengerutkan kening, sedikit bingung dengan perubahan ekspresi Amara. “Tidak apa-apa,” katanya pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin memastikan kau merasa lebih baik hari ini."

Amara mengangguk perlahan. “Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.”

Sejak pagi itu, Amara mulai menjaga jarak dari Dante. Setiap kali Dante mencoba berbicara dengannya, ia menjawab dengan singkat. Ia tidak lagi menatap Dante lama-lama, bahkan cenderung menghindari tatapannya.

"Amara, kau kenapa?" tanya Dante suatu sore, saat mereka sedang duduk di ruang tamu bersama Alessia dan Nico.

Amara hanya menggeleng, tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Dante. Jangan terlalu banyak berpikir.”

Namun, Dante tahu itu tidak benar.

Seminggu telah berlalu, Amara berusaha keras mengendalikan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya. Ia terus memandangi foto pernikahan Dante dan Mia di ponselnya, mencoba memahami mengapa hal itu terjadi secepat ini.

"Kenapa, Dante?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Kenapa kau tidak memberitahuku?"

Namun, ia tahu jawabannya tidak akan pernah datang. Bagaimanapun, Dante sekarang adalah suami orang lain. Ia tidak punya hak untuk marah, apalagi menuntut penjelasan.

Amara mengingat peringatannya pada dirinya sendiri saat pertama kali datang ke rumah keluarga Laurent, “Jangan pernah melibatkan perasaan”. Tapi kini ia telah melanggar semua batasan yang ia buat sendiri.

Bersambung…

1
Umi Barokah
bab 23..?
Umi Barokah
wah .. wah ... hai Dante....🤗 sini tak bujuk...
Umi Barokah
recommended sih. . bikin penasaran sama tokoh Amara akan ambil keputusan akhirnya gimana...
Shuyu: terima kasih supportnya..
total 1 replies
Umi Barokah
huuuuwwww.... ditunggu
Umi Barokah
nanti kalau ketahuan gawat si Amara ini
Umi Barokah
semangat kaka..
Shuyu: siip...
total 1 replies
Apaqelasyy
Perasaan campur aduk. 🤯
Shuyu: owke, nanti ku chek lagi ya buat perbaikan. btw makasih komen nya.
total 1 replies
edu2820
Makin penasaran dengan kelanjutannya!
Shuyu: siap siap episode selanjutnya kaka...insyallah up hari ini. makasih sdh baca.../Applaud/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!