Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Password Wi-Fi
...Zielle...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Nyokap pindah ke Jakarta sejak gue ada di dalam kandungannya. Jadi, dia kenal hampir sama semua orang di deretan tetangga perumahan ini.
Hampir, ya!
Karena ada satu tetangga yang belum terjamah oleh Nyokap gue.
Namanya, keluarga Batari.
Kenapa?
Ya, bisa dibilang mereka itu keluarga konglomerat yang tertutup, dan sedikit menyebalkan juga. Kalau saja kita pernah tegur sapa lebih dari tiga kali, itu sudah lumayan.
Keluarga ini terdiri dari Ibu Astuti, suaminya yang bernama Batari, dan tiga anak mereka: Anan, Antari, dan Asta.
Terus, kenapa gue bisa tahu banyak hal soal mereka, padahal kita jarang banget ngobrol?
Alasannya cuma satu, Anan Batari.
Hati gue melayang setiap kali ingat dia. Walaupun Anan enggak satu sekolahan sama gue, karena dia disekolahin di sekolah elite. Tapi gue tetap tahu semuanya tentang dia, karena gue selalu stalking mulai dari sosial media sampai jadwal kegiatan dia sehari-hari.
Ya, bisa dibilang penguntit, dan gue punya obsesi yang sedikit enggak sehat sama dia.
Anan jadi cinta pertama gue sejak pertama kali melihat dia lagi bermain di taman belakang. Main bola di halaman belakangnya waktu gue baru berusia delapan tahun. Namanya juga cinta monyet, obsesi gue sama dia mulai memudar seiring berjalannya waktu.
Sampai hari ini, gue bahkan belum pernah ngomong sama dia, kita juga enggak pernah saling tatap mata. Mungkin dia bahkan enggak sadar kalau gue ada di sekitarnya. Meski gue sering mengintipnya dari balik jendela kamar ini.
Sedikit doang, kok, santai saja.
Di kamar gue yang kecil ini, lagu "Die With A Smile" lagi mengudara, gue bernyanyi-nyanyi sambil melepas sepatu. Gue baru pulang, dan sumpah gue capek banget.
Harusnya di umur gue yang 18 ini, gue masih lincah, tapi kenyataannya enggak. Nyokap gue bahkan lebih bertenaga daripada gue, dan terpaksa harus gue akui kalau dia lebih hebat dari gue.
Gue luruskan tangan sambil menguap. Anoi, anjing gue, yang jenisnya Siberian Husky, ikutan menguap di sebelah gue. Kata orang, anjing itu mirip majikannya. Anoi itu kayak gue tapi versi anjing, kadang-kadang dia tiru ekspresi muka gue juga.
Pas gue lagi berputar-putar di kamar, mata gue jatuh ke poster-poster dengan kutipan motivasi yang sengaja ditempelkan di dinding. Cita-cita gue, sih kepingin jadi Psikolog biar bisa bantu orang lain, makanya gue lagi berharap biar dapat beasiswa.
Gue jalan ke arah jendela untuk melihat matahari terbenam. Ini memang momen favorit gue setiap hari, rasanya tenang bisa melihat matahari perlahan menghilang di balik cakrawala dan membuka jalan buat bulan yang cantik. Seolah-olah mereka berjanji untuk enggak pernah saling bertemu, tapi tetap berbagi langit yang megah ini satu sama lain.
Kamar gue di lantai dua, jadi pemandangannya cukup bikin hati gue tenang. Tapi, pas gue buka gorden, yang terlihat bukannya matahari terbenam, melainkan seseorang yang lagi duduk di halaman belakang, tetangga gue.
Asta Batari.
Sudah lama gue enggak melihat anggota keluarga itu nongol di halaman. Bisa dimaklumi, sih. Karena rumah mereka agak jauh dari pagar yang memisahkan halaman kita.
Asta ini anak paling kecil dari tiga bersaudara, umurnya 15 tahun, dan dari yang pernah gue dengar, dia anak yang ramah, beda banget sama kedua kakaknya. Memang, Gen-G (Ganteng) itu ada di keluarga mereka, ketiga kakak-beradik ini ganteng-ganteng, bahkan bokap mereka juga cakep.
Asta punya rambut coklat terang dan wajah yang kelihatan polos, matanya warna madu, sama kayak bokapnya.
Gue bersandar di jendela dengan kedua siku di sana, dan langsung melihat dia. Ada laptop di pangkuannya, dan dia lagi mengetik dengan terburu-buru.
“Tunjukkan pesona lo, Zielle!!” Suara kecil di otak gue mendadak muncul buat menegur.
Gue harus sapa dia, enggak, ya?
“Jelas harus, kan dia calon adik ipar lo,” gumam otak gue lagi.
Akhirnya gue berdehem, siap-siap pakai senyum terbaik gue.
“Hei, sore, tetangga!” teriak gue sambil melambaikan tangan.
Asta langsung mengangkat kepala, mukanya kaku. “Oh!”
Dia kaget sampai-sampai berdiri mendadak, laptopnya jatuh ke tanah. “Sial!” Dia menggerutu sambil buru-buru ambil laptop dan langsung mengeceknya.
“Baik-baik aja, enggak, tuh laptop?” tanya gue. Sepertinya itu laptop mahal.
Asta akhirnya menyengir lega. “Iya, aman.”
“Oh, ya, gue Zielle, gue tetangga lo di…”
Dia menyengir ramah. “Gue tahu kok, kita kan udah tetanggaan dari kecil.”
Oh iya, ya.
Aduh, Zielle, lo bego banget.
“Eh iya, benar juga.” jawab gue malu.
“Gue mesti balik ke dalam dulu, nih.” Dia melipat kursinya. “Eh, makasih, ya, udah kasih kita password Wi-Fi. Kita udah enggak bisa ngapa-ngapain beberapa hari ini karena lagi ganti provider baru. Lo baik banget mau kasih hotspot.”
Gue mendadak beku. “Hotspot? Maksud lo apaan?”
“Ya, lo ngasih kita password Wi-Fi, makanya gue nongkrong di sini. Soalnya sinyalnya enggak sampai ke dalam rumah.”
“Apa? Tapi gue enggak pernah kasih siapa pun password Wi-Fi gue.…” Gue benaran bingung.
Asta mengerutkan alisnya. “Anan bilang lo yang kasih dia passwordnya.”
Nama itu bikin jantung gue mau lepas dari dada. “Gue enggak pernah ngomong sama kakak lo seumur hidup gue.” jawab gue.
Percaya deh, gue pasti bakal ingat kalau pun itu benaran kejadian.
Asta kelihatan sadar kalau gue benar-benar enggak tahu soal ini, mukanya langsung merah. “Sori, Anan bilang lo yang kasih passwordnya, makanya gue di sini. Sori banget, ya.”
Gue cuma geleng-geleng kepala. “Tenang aja, bukan salah lo.”
“Tapi kalau lo enggak kasih dia password, terus gimana dia bisa tahu? Gue barusan internetan pakai sinyal Wi-Fi lo.” Asta garuk-garuk kepala, bingung.
Gue juga garuk kepala. “Gue juga enggak tahu.”
“Ya udah, gue janji enggak bakal nyolong Wi-Fi lo lagi. Maaf banget, ya.” Dia mengangguk, terus balik lewat deretan pohon di halaman belakangnya.
Gue bengong melihat tempat di mana Asta tadi duduk.
Apa-apaan, sih barusan?
Kok Anan bisa dapat password Wi-Fi gue?
Ini benaran bikin gue penasaran. Gue tutup jendela, terus bersandar di situ. Password Wi-Fi gue itu malu-maluin banget kalau sampai ada orang yang tahu, dan sekarang Asta tahu.
Sial!
Tapi, bagaimana caranya password itu bisa sampai ke tangan Anan?
Asta itu bukan cuma yang paling ganteng di antara mereka bertiga, tapi juga yang paling introvert dan susah didekati.
“Zielle! Makan malam udah siap!”
“Iya, Ma, sebentar!”
Ini belum selesai. Gue bakal cari tahu bagaimana Anan bisa dapat password Wi-Fi gue. Ini bakal jadi Proyek gue ke depan.
“Zielle!!”
“Iya, iya, Zielle datang!”
Proyek yang harus segera gue selesaikan.