Lisle yang baru pindah ke kota Black Mountain menemui banyak masalah. Kepolosannya telah dimanfaatkan oleh orang-orang berhati busuk, seorang teman baru yang hendak menjualnya dan bibi yang menjadikannya sebagai jaminan hutang-hutang. Tanpa sengaja bertemu dan berkali-kali diselamatkan oleh seorang laki-laki bernama Kennard Kent. Belakangan Lisle baru tahu bahwa lelaki itu adalah orang paling berpengaruh di kota Black Mountain. Namun latar belakang Kennard yang luar biasa dan wajah menawannya malah membuat gadis itu ketakutan. Penolakannya pada Kennard membuat lelaki itu makin tertarik dan tidak sabar. Dengan licik akhirnya Kennard berhasil membuat gadis itu berada dalam genggamannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LatifahEr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Hadiah Dari Tuan Kent
Lisle baru kembali ke Palm Garden menjelang sore hari. Dia membawa semua buku-buku kuliahnya dan beberapa barang pribadi termasuk pakaian. Lisle merasa risih dengan baju-baju mahal yang dipakainya, setiap pagi merasa sulit menentukan baju yang mesti dipakai agar tidak terlihat menyolok.
Thomas yang menyambut Lisle membantunya membawakan barang-barang ke kamar.
“Tuan belum pulang, ya?” tanya Lisle ingin tahu. Kennard jarang menelepon. Lisle sendiri tidak berani menghubunginya. Kalau diingat-ingat lagi, Lisle memang tidak pernah menelpon laki-laki itu.
“Belum, Nona.” Thomas menjawab dengan sopan. Dia berniat membantu gadis itu merapikan barang-barangnya dan sempat mengernyitkan alisnya begitu melihat baju-baju sederhana yang dibawa Lisle. Menurutnya baju-baju yang dia siapkan sesuai perintah tuan Kent cukup banyak. Gadis itu bahkan belum memakai setengahnya.
“Terima kasih, Thomas. Tidak usah. Aku bisa membereskannya sendiri.” Lisle menolak bantuan Thomas. Waktu dilihatnya pelayan itu memperhatikan baju-baju miliknya dia menjadi malu dan buru-buru menjelaskan. “Aku tidak ingin terlalu menarik perhatian orang-orang. Baju-baju ini lebih pantas untukku.”
Thomas tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya mengangguk hormat dan pergi meninggalkan Lisle di kamarnya.
Sejak awal tuannya membawa nona ini dia tahu gadis ini pasti sangat spesial. Setelah beberapa lama dia bisa melihat kepribadian gadis ini yang berbeda dengan gadis-gadis yang pernah berhubungan dengan tuannya. Walau pun tuannya tidak pernah membawa mereka ke Palm Garden, tapi Thomas banyak mendengar dari William, gadis-gadis yang menjadi sombong setelah beberapa saat bersama tuannya.
Menjelang makan malam, Kennard belum juga muncul. Lisle akhirnya harus menikmati makan malamnya sendirian di meja makan besar itu dan merasa betapa sia-sianya semua makanan yang telah disiapkan dengan susah payah oleh pelayan. Dia jadi tidak berselera. Baru beberapa suap dia sudah meletakkan sendok garpunya dan kembali ke kamar.
Cukup lama Lisle baru bisa memejamkan mata. Dia masih memikirkan kejadian tadi siang dan sikap Ralph yang mengejutkan. Lisle menjadi tidak bersemangat untuk ke kampus esok hari. Mengingat bahwa betapa mudahnya seseorang mengetahui hubungannya dengan tuan Kent membuatnya tidak ingin bertemu siapa pun. Sayangnya dia tidak bisa bolos dengan alasan itu. Kennard pasti tidak suka mendengarnya.
Rasanya waktu berlalu terlalu cepat, tiba-tiba saja sudah pagi lagi. Dia tak menemukan Kennard di sebelahnya dan sejenak kebingungan. Ketika didengarnya bunyi air di kamar mandi, dia segera bangkit dan merapikan tempat tidur.
Kennard keluar dari kamar mandi dan melihat Lisle yang tengah melamun di sisi tempat tidur dengan wajah lesu.
“Apa kau sakit?” Kennard berhenti di dekat Lisle, menunduk dan menyentuh kening gadis itu.
Lisle tersadar dan buru-buru menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja.”
“Kau tampak lemas. Aku bisa memintakan ijin ke kampus kalau kau ingin istirahat.” Kennard mengusulkan. Dipandanginya sejenak gadis itu.
Tadi malam dia pulang agak larut dan menemukan gadis itu sudah terlelap. Dia menemukan setumpuk buku kuliah di lantai kamar dekat tempat tidur. William memberitahunya kalau gadis itu ke apartemennya yang dulu untuk mengambil barang-barang.
“Aku tidak sakit jadi tidak ada alasan untuk tidak kuliah. Lagipula aku sudah tidak bekerja, jadi aku bisa pulang sebelum makan siang.” Lisle segera bangkit. “Aku mau mandi dulu.”
Kennard memperhatikan gadis itu yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia tahu persis sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu.
Sebelum berangkat, Kennard memanggil Lisle ke ruang kerjanya. Lelaki itu mengulurkan sebuah tas belanja pada Lisle. Waktu Lisle membukanya dia melihat sebuah ponsel keluaran terbaru.
“Kau bilang ponselmu sering bermasalah.” Kennard mengawasi gadis itu yang tampak masih tertegun melihat benda pipih itu. “Jadi aku membelikan yang baru. Aku tidak ingin saat aku menghubungimu ponselmu malah mati.”
“Ini... ini sama sekali tidak perlu.” Lisle merasa tidak enak. Hari itu dia berbohong pada Celine tentang ponselnya yang bermasalah sehingga sulit dihubungi. “Ponselku masih bisa digunakan.”
“Jangan membantah. Pakai ponsel itu dan singkirkan ponsel lamamu.” Kennard mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas dari dalam dompetnya.” Dan simpan ini. Kau bisa menggunakannya semaumu. Aku sudah mengganti passwordnya dengan tanggal ulang tahunmu.”
Mata Lisle melebar. “ Ti... tidak. Aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak perlu membeli apa pun.” Dia membuat isyarat penolakan dengan tangannya, tapi Kennard menarik tangan itu dan meletakkan kartu di telapak tangannya.
“Pergilah bersenang-senang. Kau sudah tidak bekerja jadi darimana kau mendapatkan uang. Belilah sesuatu!” Kennard menjadi sedikit kesal.
“A... apa?” tanya Lisle bodoh.
“Mana kutahu. Bukankah gadis-gadis suka berbelanja? Mungkin kau bisa membeli beberapa baju yang kau suka. Baju yang kau pakai jelek sekali.” Kennard melangkah ke pintu. “ Jangan berdiri saja. Kita berangkat sama-sama. Aku akan mengantarmu ke kampus lebih dulu.”
Lisle menunduk mengamati terusan selutut yang dipakainya. Dia tak tahu dimana letak jeleknya, selain memang tampak sederhana. Ini lebih baik dari pada baju-baju bermerk di lemari yang hanya memancing kecurigaan dan kecemburuan yang melihatnya. Dengan buru-buru Lisle memasukkan ponsel pemberian Kennard ke dalam tasnya dan menyelipkan kartu emas ke dalam dompet. Dia merasa asing dengan keberadaan benda itu di antara benda miliknya. Entah apa dia akan menggunakannya nanti. Kartu itu terlihat menyolok di dalam dompet murahnya. Sementara ponsel itu, dia harus menemukan penjelasan yang masuk akal bila Celine menanyakannya. Benda itu terlihat sangat mahal.
Hari ini Kennard menyetir sendiri. “William sedang cuti,” ujarnya memberitahu ketika dilihatnya wajah penuh tanya Lisle.
Laki-laki itu mengantarnya hingga gerbang belakang kampus. Lisle tidak berani meminta diturunkan di halte. Dia hanya mengatakan pada Kennard untuk berhenti di bagian kampus yang terhindar dari keramaian. Laki-laki itu bisa memakluminya.
“Steve akan menjemputmu nanti. Kau beritahu saja dia kapan kau pulang. Aku juga sudah memasukkan nomornya di ponselmu.” Kennard memberitahu sebelum pergi dari tempat itu.
Lisle hanya memandangi kepergian Kennard dengan linglung. Saat itu ponselnya berbunyi. Ponsel yang lama.
“Lisle, kau dimana?” Terdengar suara Celine di ujung sana.
“Aku sudah di kampus.”
“Benarkah? Kalo begitu cepat ke sini. Aku di taman belakang.” Celine memberitahu.
Lisle merasa geli sendiri mendengarnya. Dia datang dari gerbang bagian belakang dan sudah melihat sahabatnya itu duduk di salah satu bangku taman. “Baiklah. Tunggu aku setengah menit.” Gadis itu langsung mematikan telepon tanpa menunggu jawaban Celine.
Sahabatnya itu hendak protes ketika didengarnya sebuah suara memanggil.
“Celine!” Lisle terlihat berlari kecil ke arahnya. Wajahnya tampak berseri di bawah matahari pagi. Gadis itu tertawa geli melihat tampang konyol Celine.
“Kau dari mana saja?” Celine melirik pada baju yang dipakai Lisle. Itu adalah baju yang dipakai Lisle di hari-hari biasanya. Beberapa hari ini dia perhatikan gadis itu memakai baju-baju bagus tapi Celine enggan menanyakan. Mungkin kerabat itu sungguh orang yang baik.
“Aku baru datang tapi lewat pintu belakang. Waktu kau menelpon, aku langsung melihatmu.” Lisle menjelaskan. “Kemaren aku ke apartemen mengambil beberapa barang.”
“Hm, pantas kau memakai baju jelek itu lagi. Saat kau baru kembali, kulihat kau sudah terlihat lumayan.” Celine cemberut teringat Lisle tak lagi tinggal bersamanya.
“Ini masih bagus, kok!” Lisle berputar seperti seorang model yang memamerkan gaun dari perancang terkenal. Terusan biru laut itu mengembang sedikit di bagian bawahnya saat dia melakukan gerakan itu.
“Hm, sudahlah. Aku cuma bercanda. Baju apa pun itu akan tampak lebih baik saat kau memakainya.”
Lisle hanya tersenyum mendengar pujian itu. “Celine, aku punya sesuatu untukmu.” Lisle meraih sesuatu di dalam tasnya.
Sebuah gelang dengan batu alami diberikannya pada Celine. “Aku membelinya di sebuah toko souvenir. Semalam aku lupa memberikannya padamu.” Lisle tidak mengatakan jika gelang itu dibelinya dari sebuah toko souvenir yang sangat jauh, di kota Sun Imperial.
“Aku juga memakainya.” Lisle menggoyangkan lengan kirinya di depan Celine. “Cantikkan?”
“Hm, aku tidak tahu apa aku cocok memakainya.” Celine mengamati gelang warna-warni di tangannya.
“Tentu saja cocok. Aku juga membelikannya untuk Daisy. Aku akan memberikannya hari ini.”
Lisle mengambil gelang dari tangan Celine dan memasangkannya di lengan kanan gadis itu. Saat mereka bergandengan, gelang itu terlihat bersisian. “Sahabat selamanya!” Seru Lisle tampak kekanak-kanakan hingga tak urung membuat Celine tertawa.
“Baiklah, aku akan memakainya,” putus Celine melihat sikap antusias Lisle.
“Jangan pernah lepaskan!” Lisle mengingatkan.
“Oke. Aku akan terus memakainya.” Celine berusaha meyakinkan.
Keduanya kemudian terlibat pembicaraan singkat sebelum pergi menuju kelas masing-masing.
***
Jam terakhir kuliah Lisle berlalu lebih cepat dari perkiraan. Sang dosen memberi sebuah tugas dan memberitahu kapan harus diserahkan. Tampaknya laki-laki paruh baya itu sedang bergegas karena suatu hal.
Lisle sempat kuatir akan bertemu Ralph. Namun hingga kuliah terakhir, laki-laki itu tidak terlihat di mana pun.
Lisle berjalan sendirian menyusuri koridor yang ramai. Saat melewati sebuah ruangan, dia mendengar suara penuh kemarahan seseorang. “Gadis kampungan itu berani sekali mencoba merayu Ralph. Dia kira akan bisa lolos begitu saja dariku....”
kopi sudah otewe ya