"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Viola masuk ke dalam rumah. Ia melihat Victor yang duduk di ruang tengah sedang fokus pada layar laptopnya. Suara keyboard terdengar samar, namun begitu Viola melangkah lebih dekat, Victor mendongak dan menatapnya dengan tatapan hangat.
Viola menghentikan langkahnya beberapa meter dari Victor, menimbang-nimbang apakah ia sebaiknya langsung duduk di sebelahnya atau tetap menjaga jarak. Akhirnya, ia memilih duduk di sofa seberang. Ia memainkan jemarinya sendiri mencoba menenangkan diri.
“Kenapa duduk di situ? Sini, duduk dekat Papa,” ujar Victor lembut. Ia melepaskan kacamatanya dan mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Viola. “Kamu mau bilang apa?” tanyanya dengan nada yang penuh perhatian, namun Viola tetap diam.
"Kamu dari panti? Sebenarnya Papa tidak ingin kamu ke sana," kata Victor karena Viola hanya diam saja menatapnya. Ia tahu apa yang akan dikatakan Viola.
"Iya. Kenapa Pak Victor tidak mengatakan yang sebenarnya?"
Victor tersenyum. Ia kini menyandarkan punggungnya. "Apa kamu akan percaya kalau Papa bilang yang sebenarnya?"
Viola tak menjawabnya karena sepertinya ia memang tidak akan percaya tapi setelah ia mengetahuinya sendiri, ia percaya semuanya.
"Kamu berhak menilai Papa seperti apa yang terpenting kamu tetap tinggal di sini bersama Papa karena kamu satu-satunya keluarga yang Papa miliki."
Kedua mata Viola berkaca-kaca menatap ayahnya. Ia ingin mengatakan banyak hal tapi bibirnya tertutup rapat.
Melihat putrinya mulai bersedih, Victor mencoba mengalihkan suasana. “Kamu mau mobil atau sepeda motor sendiri? Kalau mau mobil, besok Papa bisa jadwalkan kursus mengemudi untuk kamu,” ucapnya sambil tersenyum, mencoba meredakan suasana. Namun Viola tetap diam, hanya menatap ayahnya dengan air mata yang mulai mengalir.
Tiba-tiba, Viola tak mampu lagi menahan tangisnya. Perasaan haru dan penyesalan bercampur menjadi satu. Ia menundukkan kepala, bahunya bergetar seiring isakan yang semakin terdengar jelas.
Victor segera berdiri dan berpindah ke sisi Viola. “Kenapa, Vio? Kamu tidak suka tinggal di sini? Kamu lebih senang di rumah Arvin? Kalau kamu sedih berada di sini, Papa bisa antar kamu kembali ke sana,” ucapnya lembut sambil merangkul bahu putrinya.
Namun Viola justru memeluk Victor erat-erat mencurahkan segala rasa yang ia pendam selama ini. Tangisnya pecah di dada Victor, mengalir deras bersama kata-kata yang akhirnya keluar. “Apa aku boleh ... memanggil Ayah?”
Victor terdiam sejenak. Ia terkejut tapi ia segera tersenyum lebar. Ia balas memeluk Viola dengan erat. “Tentu saja, Vio. Mulai sekarang, panggil Ayah. Jangan menangis lagi, ya. Ayah juga ikut sedih kalau lihat kamu menangis.”
"Maafkan aku, Ayah," bisik Viola di sela isakannya. "Aku tidak percaya sama Ayah, aku pikir Ayah jahat."
Victor menggeleng dan mengusap lembut punggung Viola. “Tidak apa-apa, Vio. Ayah memang tidak sempurna. Ayah memang orang jahat dan berbahaya. Ya, begitulah Ayah."
Viola melepaskan pelukan itu. Ia kini menatap wajah ayahnya yang kini tersenyum. “Ayah orang baik. Tapi ... aku boleh kan, tetap ikut bantu di panti? Aku ingin ikut merawat anak-anak di sana.”
Victor tertawa kecil. Ia merasa lega karena topik pembicaraan sudah beralih ke hal lain. “Tentu saja boleh. Selama itu buat kamu bahagia dan tidak membahayakan kamu, Ayah tidak akan melarang.”
Senyuman manis menghiasi wajah Viola, menggantikan air mata yang tadi membasahi pipinya. “Terima kasih, Ayah.” Ia berdiri perlahan, lalu berjalan menuju kamarnya.
Vio, akhirnya kamu mau menerima Ayah.
...***...
Viola berdiri di walk-in closet kamarnya, memandangi deretan baju-baju dan aksesoris mahal yang tertata rapi di rak. Rasanya ia sudah tidak sabar untuk memakainya. Namun, di tengah kekagumannya, layar ponselnya terus bergetar di meja sampingnya. Nama Zavin berkedip-kedip beberapa kali, namun Viola mengabaikannya sesaat.
Akhirnya setelah panggilan ketiga, Viola menghela napas panjang. Ia meraih ponselnya dan menerima panggilan video itu dengan senyum ceria.
"Kak Zavin…"
Di seberang layar, Zavin tersenyum menatapnya. "Aku kangen kamu. Baru sehari nggak lihat kamu di rumah, rasanya sepi banget."
Viola tertawa kecil, lalu berjalan menuju meja belajarnya, meletakkan ponsel di holder sambil menyalakan laptop.
Viola mengangguk, senyum tak hilang dari wajahnya. "Aku juga kangen. Kak Zavin, ternyata panti asuhan yang kita cari-cari dulu sekarang ada di dekat rumah ini. Semua anak-anak di panti itu adalah anak asuh Ayah."
Zavin mengerutkan kening saat mendengar Viola menyebut Ayah. "Ayah?"
"Iya," Viola tersenyum kecil. "Mulai sekarang aku panggil Pak Victor dengan sebutan Ayah. Biar gak sama dengan Papa."
Kemudian Viola memalingkan wajahnya ke layar laptop yang baru saja memunculkan notifikasi masuk. Sebuah e-mail dari grup pecinta alam kampusnya tiba-tiba muncul di layar.
Viola mengerutkan alis, membaca cepat isi pesan itu. "Aduh, Kak Zavin! Aku lupa. Aku kan sudah daftar ikut camping sama anak-anak pecinta alam di pantai. Tiga hari lagi, dan aku belum siapin apa-apa."
Ekspresi Zavin berubah. Ia jelas tidak setuju. "Kamu kan udah putus sama Dika, dan kamu juga lagi gak akur sama Raisa. Memangnya kamu mau ke sana sama siapa? Batalin aja."
Viola tersenyum tipis, berusaha menenangkan Zavin. "Aku gak pergi sama mereka, Kak. Ada Ryan, kok. Dia anak pecinta alam juga, pasti dia ikut."
"Ryan?" Nada suara Zavin terdengar lebih tajam. "Kenapa harus Ryan?"
"Karena ... dia anak asuh Ayah juga. Dia tinggal di panti." Viola menjelaskan dengan santai, seolah tak menyadari perubahan di wajah Zavin.
Ekspresi Zavin langsung berubah dingin. Tatapannya mengunci Viola, seolah mencari sesuatu dalam matanya. Viola bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka meski hanya lewat video call.
"Kak Zavin, kenapa diam?" tanya Viola, mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba.
"Kalau aku melarang kamu pergi, kamu bakal nurut sama aku?"
Viola terdiam sejenak. Tapi ia tak bisa menahan keinginannya untuk ikut camping. "Tapi Kak, aku cuma mau camping sekali ini aja."
"Jadi sekarang kamu lebih percaya sama Ryan daripada aku?"
"Bukan begitu, Kak…"
Sebelum Viola melanjutkan perkataannya, panggilan video itu tiba-tiba terputus.
"Yah, Kak Zavin marah..." gumamnya pelan.
Kemudian ia melihat kalender untuk memastikan tanggal dan hari camping itu. Viola melebarkan kedua matanya karena ada sesuatu yang terlupa. "Itu kan tanggal lahir Kak Zavin!"
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆
Siapa ya yang berniat jahat ke Viola?