Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Festival
Malik menghela napas panjang, pandangannya bergantian tertuju pada kedua temannya. Ia tahu, Bimo dan Susi hanya bercanda, tapi Yudha tidak sepenuhnya salah. Tingkah salah tingkah Naima tadi menunjukkan bahwa gadis itu merasa tidak nyaman.
Sejak pertemuan pertama Malik dan Naima di rumahnya, Malik sudah membuat janji untuk tidak mengusik Naima sampai gadis itu sendiri mau membuka diri. Ia bahkan sudah berbicara dengan kedua belah pihak, termasuk orang tua Naima, dan mereka semua sepakat menghormati privasi gadis itu. Tapi kali ini, teman-temannya justru mengacaukan situasi.
"Siapa tuh?" suara Bimo memecah pikirannya.
Malik mengikuti arah pandangan Bimo, melihat Yudha yang tampak menyusul Naima. Raut wajah Bimo mengeras, jelas menunjukkan ketidaksukaannya terhadap pemuda itu.
Di sisi lain, Susi terlihat lebih peka. Wajahnya sedikit menunduk, mungkin menyadari kesalahan yang baru saja terjadi. Dia menyadari bahwa hubungan mereka dengan Naima belum cukup dekat untuk menyentuh area privasi gadis itu.
Malik mendesah lagi, kali ini lebih berat. "Bimo, Susi," panggilnya pelan, suaranya tenang tapi tegas. "Denger, gue ngerti kalian cuma bercanda, tapi tadi nggak lucu sama sekali."
Susi mengangguk kecil, sementara Bimo hanya mendengus tanpa berkata apa-apa. Malik tahu, ini bukan soal dia memihak siapa, tapi menjaga agar mereka tetap menghormati batasan masing-masing. "Kalian tahu sendiri, Naima itu nggak kayak kita. Jangan sampe kita malah bikin dia tambah nggak nyaman di sini."
Susi akhirnya membuka suara. "Iya, Mal. Sorry, gue salah tadi."
Bimo menghela napas, meski masih tampak enggan mengakui kesalahannya. "Fine, gue bakal berhenti. Tapi gue tetap nggak suka sama tuh bocah."
Malik menatap Bimo lama, sebelum menjawab dengan tenang, "Gue nggak peduli lo suka atau nggak, Bim. Yang penting, jangan bawa drama pribadi lo ke sini."
Bimo hanya mengangkat bahu tidak peduli. Niat awal Bimo hanya bercanda. Dia tidak tau ternyata ya, keluar dari ekspektasinya. “Jadi anak jangan baperan lah. Sesama teman wajar kali.”
Susi hanya mengangguk kecil, lalu menarik lengan Bimo dengan lembut. "Udah, Bim. Jangan diperpanjang lagi."
Bimo mengangkat bahu dengan sikap tidak peduli, langkahnya santai menjauh. "Ya udah lah, yuk lah, Si," ucapnya dengan nada yang terdengar lebih santai, meski masih menyisakan sedikit kesan kesal.
Susi menoleh ke Malik sejenak, memberikan tatapan minta maaf sebelum mengikuti langkah Bimo. Malik hanya diam, matanya mengikuti punggung kedua temannya yang perlahan menghilang di tengah keramaian festival.
Dia menarik napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang mulai menguasai pikirannya. Masalah seperti ini memang sering muncul, tapi Malik tidak ingin konflik kecil merusak suasana yang seharusnya menyenangkan bagi semuanya.
Dari kejauhan, dia melihat sosok Yudha yang berdiri di dekat Naima, tampak berbicara dengan pelan. Malik tahu Yudha sedang mencoba menenangkan gadis itu. Meski Yudha sering tampak cuek, Malik mengakui dia punya sisi perhatian yang sulit ditunjukkan dengan cara biasa.
Sambil melangkah ke arah lain, Malik berkata pelan pada dirinya sendiri, "Semoga ini nggak jadi lebih ribet dari yang sudah-sudah."
***
“Jadi lo ribet ya?”
Naima melirik matanya bertemu dengan Yudha yang menyamakan posisi mereka. Pemuda itu menyodorkan sebuah bungkus popcorn dengan wajah datar. “Nih, ambil. Gue bukan babu lo.”
Naima mendengus kecil, meski tangannya tetap meraih popcorn yang disodorkan. “Terima kasih, Tuan,” balasnya dengan nada sinis, tetapi Yudha hanya menanggapinya dengan pandangan acuh.
Dari sudut matanya, Naima melihat Yudha mengangkat bahu. Pandangannya tertuju ke depan, memperhatikan anak-anak yang antusias, “Lo nggak harus selalu nyenengin orang lain, Nai. Jadi diri lo sendiri aja. Bilang kalau lo nggak suka, jangan pura-pura manis atau bertingkah aneh gitu.”
Naima melirik Yudha, alisnya terangkat. “Maksud lo, gue aneh?”
Yudha tidak langsung menjawab, justru memasukkan satu atau dua popcorn ke mulutnya dengan santai. “Nggak, cuma ngingetin. Soalnya kalau begini terus, lo malah keliatan kayak cewek bangor yang bangga dikelilingin dua cowok.”
Naima memutar bola matanya, separuh kesal mendengar komentar itu. Tapi dari sudut matanya, dia bisa melihat seringai kecil menghiasi bibir Yudha, tanda bahwa pemuda itu sedang menikmati situasi ini.
“Lo tahu nggak?” Naima akhirnya membuka suara, mencoba menutup rasa sebalnya dengan nada santai. “Kalau lo diem aja, lo bakal lebih keren.”
Yudha terkekeh kecil, “Gw tau kok.”
Pemuda itu hanya mengangkat bahu, menikmati popcorn sambil terus memandang lurus ke depan, memantau anak-anak panti yang sedang bermain. Naima tidak berbohong ketika dia bilang Yudha keren, dia bahkan ingin menjadi seperti Yudha yang bebas dan pemberontak. Tapi mendengar jawaban Yudha yang arogan membuat Naima menyesal mengatakannya.
***
Rombongan Naima melanjutkan langkah mereka di tengah festival. Anak-anak panti berlarian kecil dengan mata berbinar, mengagumi warna-warni lampu, deretan permainan, dan aroma makanan yang menguar di udara. Senyum mereka begitu lepas, tawa ceria saling bersahutan, membuat festival itu terasa hangat.
Suara dering ponsel, membuat Naima mengalihkan perhatiannya. Terdapat sebuah panggilan masuk, yang dari Sekar. Namun dari suaranya itu jelas-jelas bukan kak sekar. Di seberang sana, suara terburu-buru menyampaikan kabar yang membuat Naima membatu. "Apa...?" suaranya tercekat. Perlahan, air mata mulai mengalir di pipinya.
Yudha yang duduk di sebelahnya segera menyadari ada yang salah. Dia menatap Naima yang tampak terpukul, bibirnya gemetar. "Yud..." suara Naima bergetar. "Kak Sekar... kecelakaan.”
Yudha menegang sesaat setelah mendengar kabar itu. Wajahnya berubah serius, tanpa ragu dia mengambil ponsel dari tangan Naima yang gemetar. Suaranya tenang, tapi tegas saat berbicara dengan si penelepon.
"Di rumah sakit kota, ya? Oke, kami segera ke sana," ujarnya, menutup panggilan dengan cepat.
Naima masih terdiam, matanya memburam oleh air mata yang kini mengalir deras. Tubuhnya tampak kehilangan tenaga, seperti tenggelam dalam kabar buruk yang baru saja menghantamnya.
Yudha memegang bahu Naima dengan lembut, menatapnya penuh empati. "Nai, aku yang urus Kak Sekar. Kamu bawa anak-anak pulang."
Naima menggeleng pelan, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. "Nggak, aku ikut," jawabnya tegas meski suaranya bergetar.
Yudha menarik napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. "Sekarang bukan waktunya berdebat, Nai. Paham kan? Harus ada yang sama anak-anak. Kalau kamu ikut, mereka gimana?"
Kata-kata itu membuat Naima terdiam. Tubuhnya sedikit limbung, seperti beban yang dia pikul terlalu berat. Akhirnya, dia hanya mengangguk kecil, meski sorot matanya kosong.
Melihat itu, Yudha segera menghampiri Malik yang sedang bercanda dengan anak-anak. Wajahnya serius saat dia membisikkan sesuatu ke telinga Malik.
Malik terperanjat. "Apa?" tanyanya setengah tak percaya, tapi Yudha hanya mengangguk pelan, membenarkan apa yang barusan dia katakan. Malik melirik Naima sekilas—gadis itu berdiri di kejauhan, wajahnya sudah tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
"Sorry, ya. Gw titip mereka," ujar Yudha, menepuk bahu Malik singkat sebelum beranjak.
Malik mengangguk, meski wajahnya masih menyimpan keterkejutan. "Hati-hati," ucapnya, nyaris berbisik.
Tanpa menunggu lama, Yudha melangkah meninggalkan festival dengan langkah cepat, bayangannya perlahan menghilang di tengah keramaian yang mulai memudar. Malik, di sisi lain, menarik napas panjang dan mulai menggiring anak-anak panti kembali ke rumah.
Di tengah perjalanan, Malik sesekali melirik Naima, yang terus membisu. Hanya suara anak-anak yang terdengar riang, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Malik tahu Naima sedang berusaha keras menahan emosinya, dan dia hanya berharap mereka sampai di panti sebelum gadis itu benar-benar meledak.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak