Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK9
Bab 9: Jessie di Tengah Kebohongan
Jessie menjerit keras dan menutup matanya. Noda darah yang mengering di wajah dan kedua tangannya hampir membuat wanita itu nyaris pingsan.
“Ada apa?” Tanya Liam yang masih mengantuk.
“Apa ... apa yang kamu lakukan padaku, Liam?!” Teriak Jessie sembari menatap tajam Liam.
"Maksudmu apa?" Liam menatap Jessie, kedua manik hitamnya membulat. "Wajah mu kenapa?! Ta-tangan mu, itu ... darah kan?!” wajah Liam terlihat panik.
“Kamu yang melakukan ini pada ku kan?!” Air mata Jessie menetes. “Pasti tadi malam kamu yang mengoles darah menjijikkan ini ketika aku sudah terlelap!“ tuduh Jessie.
“Apa yang kamu bicarakan, Jess?!” kening Liam berkerut. “Aku baru pulang 2 jam yang lalu, bahkan aku belum lama tertidur di sampingmu! Tadi malam? Kegilaan apa lagi yang kamu katakan sekarang?!”
Jessie berdecih dan tertawa singkat. “Baru pulang 2 jam yang lalu? Kebohongan apa lagi ini? Jelas-jelas tadi malam kamu pulang dan berkata bahwa kamu nggak akan pernah ngelakuin sesuatu yang bakal bikin aku kecewa!” dada Jessie kembang kempis, “Liam, permainan apa yang sedang kamu mainkan?”
“Permain—astagaaa! Apa yang sedang kamu bicarakan sih?!” jerit Liam frustasi. “Dan, bukankah sekarang ada hal yang lebih penting ketimbang perdebatan ini? Darah itu— darah apa itu? —Lebih tepatnya, darah siapa? Kamu ... membunuh seseorang?!”
Kedua jemari Jessie semakin bergetar, pertanyaan Liam semakin membuatnya merasa terpojok. Pandangan Jessie mendadak berputar-putar.
“Lalu ... apa benar, kamu bertemu dengan Anna sebelum dia meninggal? Apa yang dia katakan?” Lanjut Liam sambil mencengkram kedua bahu Jessie, lalu mengguncangnya. “Lebih tepatnya, apa yang kau lakukan pada Anna?!” Manik hitam pekat Liam mendelik, Jessie semakin panik dan merasa semakin terintimidasi.
Pandangan Jessie semakin berputar-putar, semakin buram dan memudar. Lalu berubah gelap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Jangan lagi meminum obat penenang ini tanpa resep seorang ahli, sudah ku katakan berulang kali bukan? Bukannya tenang, kamu malah semakin sering berhalusinasi!” peringat Liam pada Jessie yang belum lama siuman.
Jessie menatap botol obat yang di maksud Liam. Ingatannya berputar kembali, tadi malam, dia memang mengkonsumsi sebutir pil penenang untuk meringankan insomnia nya sebelum ia tertidur.
‘Apa mungkin gara-gara obat itu? Tapi, itu darah siapa? Aku benar-benar nggak ingat apapun!’ batinnya berkecamuk.
“Darah hewan ....” Gumam Liam membuat Jessie tersentak. “Aku tau apa yang lagi kamu pikirin sekarang. Itu darah hewan, aku sudah memeriksanya.”
Jessie menghela napas lega. Belakangan ini, ada perasaan yang terus menghantuinya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, terlalu membingungkan. Kecurigaan tak mendasar pada Liam semakin menjadi-jadi. Benarkah Liam memiliki trauma di masa lalu seperti yang digosipkan? Jikapun benar, mungkinkah Liam yang selama ini ia cinta dan percayai justru dalang dari semua ini? Namun, kejadian pagi ini benar-benar mengguncang dirinya. Jessie meragukan dirinya sendiri. Terlebih lagi, dia memang sudah langganan berhalusinasi.
Jessie kembali menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanya ada di kepalanya. Mungkin ia terlalu lelah, atau mungkin ia terlalu banyak mendengar cerita-cerita seram di televisi. Tapi tetap saja, rasa itu tidak mau hilang. Ada sesuatu yang terasa ... salah.
‘Darah hewan ya? Apa aku membunuh anjing tetangga di seberang sana?’
---
Di dapur, Liam sibuk dengan ponselnya. Ia berdiri membelakangi Jessie, tapi, suara ketikan jari-jarinya di layar terdengar jelas. Sesekali ia melirik ke arah Jessie, memastikan bahwa ia tidak terlalu memperhatikan. Wajahnya serius, jauh berbeda dari ekspresi santai yang biasa ia tunjukkan.
“Sayang, aku mau beresin lemari di kamar, ya. Udah hampir seminggu aku nggak beresin lemari.” Kata Jessie tiba-tiba, mencoba memecah keheningan.
Liam menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Boleh. Tapi, jangan terlalu capek, ya. Kamu masih kurang sehat.”
Jessie mengangguk, meski jantungnya berdebar. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa gugup. Mungkinkah karena sore ini ia kembali meminum obat penenang tanpa sepengetahuan Liam?
Jessie berjalan menuju kamar, membuka pintu lemari besar yang terletak di sudut ruangan. Lemari itu penuh dengan pakaian mahal yang tertata rapi, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya—sebuah jaket kulit hitam milik Liam di bagian paling belakang. Jaket itu terlihat berbeda dari pakaian lainnya, tidak seperti gaya Liam yang biasanya rapi dan bersih. Ada noda merah gelap di bagian lengan.
Pemilik rambut blonde itu mengernyit. Ia meraih jaket itu, memeriksanya lebih dekat. Noda itu ... darah? Bau anyir samar mulai tercium, membuat perut Jessie terasa mual. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu bukan darah, tapi, noda itu terlalu mencolok untuk diabaikan.
“Jessie?” Suara Liam tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Jessie tersentak. Ia berbalik dengan cepat, masih memegang jaket itu.
Liam berdiri di ambang pintu, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Tapi matanya ... tajam seperti pisau. “Kamu ngapain?”
Jessie mencoba tersenyum, meski tangannya gemetar. “Aku cuma ... nemu ini. Ada noda darah di jaket kamu. Ini darah apa, Liam?”
Liam menghela napas panjang lalu melangkah mendekat, mengambil jaket itu dari tangan Jessie. Ia memandangnya sejenak sebelum tersenyum kecil, senyumnya hambar. “Oh, ini? Mungkin darah binatang, aku pakai jaket ini waktu berburu sama teman-teman. Kamu tahu kan, aku suka berburu?”
Jessie mengangguk pelan, meski hatinya tidak yakin. “Tapi ... kenapa kamu nggak pernah cerita soal itu?”
Liam tertawa kecil, tapi, tawa itu terdengar dipaksakan. “Aku nggak cerita karena aku tahu kamu nggak suka hal-hal kayak gitu. Kamu kan nggak tahan lihat darah, apalagi dengar cerita soal berburu. Bahkan saat kamu pulang kerja dari memeriksa jasad-jasad, kamu nyaris muntah. Kadang aku lucu lihat kamu tuh. Detektif, tapi nggak tahan lihat darah. Gimana ceritanya?”
Jessie terdiam. Penjelasan Liam terdengar masuk akal, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Jessie merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. “Oh, oke. Kalau gitu, aku taruh lagi jaketnya.”
Liam mengangguk, tapi, matanya tetap mengawasi Jessie. “Bagus. Jangan terlalu banyak mikir, Sayang. Aku nggak mau kamu stres, lalu berhalusinasi lagi.”
Sementara Jessie, sibuk dengan batinnya yang berkecamuk. ‘Darah di wajah dan tangan ku tadi pagi juga darah hewan, 'kan? Apa jangan-jangan memang benar Liam ... yang mengoles darah itu pada wajahku?’
---
Di tempat lain, Max sedang duduk di ruang kerjanya bersama Leo. Di meja mereka terdapat sebuah buku harian yang baru saja ditemukan di rumah salah satu korban pembunuhan. Buku itu terlihat usang, dengan halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tangan. Teksnya rapi, tapi ada sesuatu yang mengganggu di dalamnya.
Leo membuka buku itu perlahan, membaca beberapa halaman dengan seksama. “Nama yang tertulis di sini ... tidak menunjukkan Liam pelakunya.” Katanya sambil mengerutkan kening.
Max menatap Leo dengan serius. “Maksud Pak Leo apa? Saya yakin sekali, Liam lah pelakunya.”
Leo menggeleng pelan. “Kita meringkus tersangka bukan berdasarkan keyakinan, Max. Tapi, bukti. Kita detektif yang hidup di zaman modern, di mana di sekeliling kita sudah banyak alat-alat canggih. Kalau perlu, kamu belajar dari kasus-kasus pembunuhan di negeri ini, atau di luar negara. Keberhasilan mereka dalam meringkus pelaku bisa dijadikan sebagai acuan. Jangan bertindak seperti cenayang, Max. Dan ... jangan juga terlarut dengan perasaan pribadi. ”
Max menghela napas. “Saya tau, Pak. Hanya saja, ada sesuatu tentang dia yang selalu terasa ... salah.”
Leo menatap Max dengan tajam. “Kamu harus hati-hati, Max. Jangan biarkan perasaan pribadi mengaburkan penilaianmu. Apalagi, kamu masih menyalahkan Liam atas kematian Anna. Kita butuh bukti yang jelas sebelum mengambil kesimpulan.”
Max mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. Ia tahu Leo benar, tapi ia tidak bisa mengabaikan firasatnya.
Suasana yang hampir hening kembali pecah oleh derit pintu ruangan yang di dorong Clara. Wanita cantik itu masuk dengan menenteng sebuah kantong bening berukuran kecil berisi potongan cotton bud.
“Apa yang ada di tanganmu itu?” tanya Max penasaran. “Bukti baru?”
Clara menarik kursi di ruangan itu, kemudian duduk di depan Leo.
“Cotton bud berbalut darah kering.” Clara menatap Max dan Leo yang mengernyit, secara bergantian. “Jessie yang mengirimnya. Dia meminta agar aku memeriksa nya.”
Leo dan Max serentak berdiri dan saling bertukar pandang. Kemudian, Max menatap Clara.
“Kamu sudah memeriksa nya?!”
---
Malam itu, Jessie duduk sendirian di ruang tamu. Liam sedang keluar, katanya ada urusan penting yang harus diselesaikan. Jessie memanfaatkan kesempatan itu untuk memeriksa rumah lebih lanjut. Ia merasa bersalah karena melanggar privasi Liam, tapi, ia tidak bisa mengabaikan perasaan curiganya.
Ia membuka laci-laci di ruang kerja Liam, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, semua laci itu hanya berisi dokumen-dokumen biasa. Tidak ada yang mencurigakan.
Jessie hampir menyerah ketika ia menemukan sebuah kotak kecil di bawah meja. Kotak itu terkunci, tapi, Jessie berhasil membukanya dengan penjepit rambut.
Di dalamnya, ia menemukan beberapa foto. Foto-foto itu menunjukkan Liam bersama beberapa orang yang tidak dikenalnya. Namun, yang membuat Jessie terkejut adalah salah satu foto itu menunjukkan Liam bersama seorang wanita yang wajahnya mirip dengan salah satu korban pembunuhan yang diberitakan di televisi.
Jessie merasa tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah ia harus melaporkan ini ke tim nya? Tapi, bagaimana jika ia salah dan berujung menjadi pelaku atas kematian Anna? Dan ... bagaimana jika Liam benar-benar tidak bersalah?
Tiba-tiba, suara pintu ruangan utama terbuka. Jessie buru-buru menutup kotak itu dan meletakkannya kembali di tempatnya. Ia berusaha terlihat tenang ketika Liam sudah masuk ke ruangan.
“Sayang, kamu belum tidur?” tanya Liam sambil tersenyum.
Jessie menggeleng. “Aku nunggu kamu pulang.”
Liam mendekat dan mencium kening Jessie. “Kamu manis banget. Tapi, kamu harus istirahat. Besok kita ada acara, kan?”
Jessie mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Ia tahu ia harus berhati-hati. Dan dia tahu, Liam bukanlah pria biasa, ia tidak ingin mengambil risiko.
Drrt! Drrt!
Ponsel Jessie yang ada di atas meja kerja Liam bergetar. Nama Clara tertera di layar, beserta isi pesan yang terpampang di notifikasi layar.
Liam menatap benda pipih itu dengan kening mengernyit, tiba-tiba kedua tangannya mengepal. Manik hitam pekatnya beralih menatap tajam Jessie.
"Kau memberi sampel darah di jaket ku pada Clara?!" Kedua tangan Liam mengepal erat.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅