"Ah...ini di kantor! Bagaimana jika ada yang tau! Kalau istrimu---" Suara laknat seorang karyawati bernama Soraya.
"Stt! Tidak akan ada yang tau. Istriku cuma sampah yang bahkan tidak perlu diingat." Bisik Heru yang telah tidak berpakaian.
Binara Mahendra, atau biasa dipanggil Bima, melihat segalanya. Mengintip dari celah pintu. Jemari tangannya mengepal.
Namun perlahan wajahnya tersenyum. Mengetahui perselingkuhan dari suami mantan kekasihnya.
"Sampah mu, adalah harta bagiku..." Gumam Bima menyeringai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumit
Hari sudah larut, cukup lama Bima baru dapat menyelesaikan pekerjaannya. Mobil memasuki gerbang, sedangkan Pino yang memang sempat tidur siang di resort kini masih bersemangat. Walaupun sesekali menguap.
"Kita sudah sampai! Mau paman gendong?" Tanya Bima.
"Kita pulang malam, ibu tidak akan marah?" Pino bertanya balik ketakutan.
"Jika dia berani mengganggumu, biar paman yang menghadapinya. Pria dilahirkan sebagai kesatria! Ingat itu Pino!" Tegas Bima penuh keyakinan. Bagaikan guru kungfu anak ini.
Anak polos yang pada akhirnya mengangguk. Bersedia naik ke atas punggung Bima. Membawa paperbag berisikan lapis legit, oleh-oleh untuk Dira yang paling cantik dan lembut.
Dua orang pria beda usia yang tertawa bercanda memasuki rumah. Kala itu lampu ruang tamu telah mati. Sang ART mungkin tidur, hingga tidak membukakan pintu.
"Paman gelap!" Ucap Pino.
"Pino tidak boleh takut gelap. Sama seperti tidak boleh takut ibu!" Nasehat nan indah dari Bima. Menekan saklar lampu.
Seketika itu juga wajah Bima dan Pino pucat pasi. Bima yang tengah menggendong Pino di punggungnya melangkah mundur selangkah.
Pupil mata mereka bergetar, menelan ludah menatap Dira yang tengah berdiri, lebih mengerikan daripada kuntilanak merah.
"Paman akan menghadapi ibu kan?" Tanya Pino gugup, takut akan kemarahan sang ibu.
"A...ada prinsip lagi yang harus kamu ingat. Pria memang dilahirkan sebagai seorang kesatria. Tapi ada dua pasal dalam hidup, pertama, wanita selalu benar. Kedua, jika wanita salah, maka kembali pada pasal pertama." Jawab Bima, berusaha tersenyum. Walaupun sudah menduga apa yang akan terjadi.
"Bagus ya? Jam 10 baru pulang! Hebat! Hebat!" Ucap Dira tersenyum, namun kemarahan luar biasa terpancar.
"Dira, dengar dulu penjelasan kami. Sebenarnya kami pergi terlalu larut untuk menyukseskan program pemerintah tentang usaha UMKM." Ucap Bima pelan.
"Me... menyukseskan A... apa?" Tanya Dira tidak mendengar dengan jelas.
"Jurus langkah seribu!" Teriak Bima melarikan diri dengan Bima yang berada dalam gendongannya.
"Paman! Cepat lari!" Teriak anak durhaka yang tidak ingin tertangkap oleh ibunya.
"Dasar! Kecil-kecil sudah pulang malam! Besar mau jadi apa? Besok kamu harus sekolah! Kamu juga Bima, kenapa membawa anakku pulang malam!" Teriakan seorang ibu murka, mengejar mereka, sembari mengomel.
Tapi anehnya Bima tersenyum, bahkan tertawa. Bagaikan lelahnya karena pekerjaan lenyap. Rumahnya yang sepi kini dipenuhi dengan suara Dira dan Pino.
Menyenangkan? Mungkin saja, tapi bagaimana caranya untuk menahan Dira untuk selamanya tinggal di tempat ini? Bagaimana jika Heru ingin rujuk?
***
"Ini yang namanya memajukan usaha UMKM." Ucap Bima meletakkan kue lapis legit di atas meja.
Sedangkan Pino telah tertidur di kamarnya yang terletak di gedung terpisah, usai menerima beberapa siraman rohani dari sang ibu.
"Harusnya kamu bilang bawa oleh-oleh kue lapis legit." Ucap Dira dengan mulut penuh.
"Kamu tidak tanya." Bima mengangkat salah satu alisnya.
"Ya, kamu tidak menawarkan jadi aku tidak tanya." Jawab Dira masa bodoh.
"Dira... sebenarnya...aku ingin tau, ini hanya sekedar ingin tau. Apa perutmu ada gelambirnya karena kebanyakan makan?" Tanya Bima, sebuah pertanyaan yang sejatinya angker untuk ditanyakan pada wanita. Pertanyaan tentang bentuk tubuh, memang lebih memacu adrenalin dari pertanyaan lain.
"Aku tidak mau lagi bicara padamu!" Teriak Dira murka, hendak bangkit.
"Tu...tu... tunggu! Aku cuma bercanda. Kamu terlalu sensitif." Bima gelagapan, menarik tangan Dira, hingga jatuh.
Jangan fikir ini adegan romantis. Sebab Bima yang hendak menolongnya, malah ikut terjatuh, dengan posisi dahi mereka terbentuk.
"Agggh!"
"Sial!"
Ucap Dira dan Bima, mengusap dahi mereka. Namun Bima menelan ludahnya, kala godaan terbesar dalam hidupnya kembali datang. Wanita yang masih berstatus istri orang ini ada di atas tubuhnya.
Mencoba menekan segala perasaan hal yang dilakukan oleh Bima. Tapi, penulis tidak akan membiarkan perjaka tanggung ini lolos dengan mudah bukan?
"Di... Dira, cepat bangun..." Ucap Bima menatap Dira yang ada di atas tubuhnya memegangi kepala.
Tapi, hujan disertai petir, tiba-tiba turun dengan deras. Bahkan angin bertiup cukup kencang. Bukankah ini suasana yang baik untuk mencetak anak?
Bima menggeleng dengan segera, tidak boleh sama sekali. Tantangan dari istri orang harus ditepisnya.
"Wajahmu jerawatan!" Ucap Bima ingin suasana kembali konyol. Ingin segalanya aman kondusif.
Namun, sekali lagi kejahatan penulis untuk dua orang ini belum berhenti juga. Mungkin karena konsleting listrik, semua lampu di bangunan utama tiba-tiba mati.
'Author sial!' Mungkin Bima ingin berteriak demikian dari dalam hatinya yang terlalu dalam. Atau ingin berterimakasih? Entahlah...
Suasana hening sejenak, hanya ada siluet cahaya, Dira tidak bergerak sama sekali, bagaikan gelisah. Apa ini kode jika Dira ingin cinta lama bersemi kembali? Apa ini kode musim kawin? Hal yang membuat Bima menelan ludah, tidak! Ini istri orang. Jika palu susah diketuk, kemudian Dira sudah menerima hatinya, menjadi istrinya maka boleh-boleh saja. Bahkan sangat boleh.
"Di... Dira..."
Hingga Dira pada akhirnya berucap."Bima, walaupun tidak parah, aku menderita rabun senja. Aku tidak bisa melihat."
Pada akhirnya pemuda itu menghela napas, mengetahui alasan Dira tidak bangkit dan tidak bergerak sembarangan. Memegang jemari tangan Dira, membimbingnya untuk bangkit dari atas tubuh Bima.
"Kamu sama sekali tidak dapat melihat? Tapi tadi saat lampu ruang tamu mati---" Kalimat Bima disela.
"Lampu tidur masih menyala, aku masih dapat melihat. Tapi sekarang benar-benar gelap, berkunang, hampir tidak terlihat." Ucap Dira kala Bima membimbing tangannya.
"Sejak kapan kamu rabun senja? Seperti orang tua saja." Bima menahan tawanya.
"Kamu sendiri rabun dekat, walaupun tidak parah." Dira menghela napas enggan berdebat dengan mantan.
Kala telah sampai pintu samping, rasanya sedikit lebih terang. Walaupun segalanya hanya samar terlihat. Bima menyalakan lampu emergency, kemudian membuka payung.
Melangkah perlahan satu payung berdua, hujan masih deras mungkin hanya lampu ini penerangan mereka. Tempat tujuan mereka adalah bangunan terpisah dengan rumah utama. Tempat Pino tengah tertidur.
Mata Dira sedikit melirik ke arah pemuda di sampingnya, sinar dari lampu membuatnya dapat melihat dengan cukup jelas.
Wajahnya tersenyum, walaupun pernah berselingkuh, walaupun kata-katanya pedas, namun entah kenapa Bima selalu membantunya. Seperti lentera ini, jika...jika saja pekerjaan dari Bima tidak ada, entah apa yang akan terjadi. Mungkin dirinya akan berlutut di hadapan Heru agar tidak diceraikan, walaupun pada akhirnya dirinya akan diusir paksa dari rumah.
Bima begitu baik... dirinya menghela napas, mengingat Soraya begitu cantik nan menggoda. Apa benar Bima mencintai Soraya?
"Apa kamu tidak berfikir untuk menikah?" Tanya Dira memulai pembicaraan.
"I...itu sebenarnya terfikirkan." Jawab Bima gugup.
"Apa tidak apa-apa membesarkan anak dari pria lain? Kamu mencintai seseorang yang tidak seharusnya kan? Apa kamu rela membesarkan anak hasil dari wanita yang kamu cintai dengan pria lain?" Tanya Dira dengan nada serius. Begitu iba pada sang mantan yang masih memendam rasa pada Soraya. Padahal Soraya tengah mengandung anak Heru.
Astaga! Astaga! Ini mendebarkan bagi Bima. Bagaimana bisa Dira bertanya terang-terangan demikian, bertanya pada dirinya bersedia atau tidak menerima Pino sebagai anaknya. Padahal palu pengadilan belum diketuk. Dirinya perlu persiapan mental, agar tidak mati serangan jantung saking bahagianya.
"Tentu saja aku mau. Ibunya begitu baik, tulus, tidak pernah mengharapkan imbalan, begitu tegar. Siapa yang tidak akan mencintai wanita sepertinya?" Bima menghela napas kasar mengingat sosok Pino."Pino begitu manis, aku---"
Dira tiba-tiba menyela kata-katanya."Tenang saja! Aku akan membantumu mendekati Soraya. Istri Orang Lebih Menantang! Ingat prinsip itu. Jangan patah semangat!"
"Hah? So... Soraya!?"