Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Tatapan mata Aisha masih tetap sama seperti semalam. Wajahnya datar bahkan dia tidak menyapaku, atau bertanya mau kemana kak bawa koper?
"Begitu dalam sembilu menikam hatimu, hingga hilang simpatimu pada kakak, Aisha?" batinku.
"Maafkan kakak Aisha!"
Mobil yang di kendarai Kang Andi berjalan mulus di jalanan. Sepanjang jalan hanya ada keheningan, tidak ada yang bicara. Mba Sinta terdiam, mungkin takut untuk mengajak aku bicara melihat wajah kacauku. Sama seperti akan ke Darul Arkom, Mba Sinta memilih untuk tidur.
Aku mencoba untuk memejamkan mata tapi tak bisa. Kejadian semalam masih teringat di pikiran. Allah kini semua sudah tahu, tentang hubungan aku dan Azam di masa lalu. Aku harap tidak ada lagi kesedihan setelah ini, tak ada lagi hati yang terluka.
Biarlah waktu yang menjadi penawar luka yang mujarab. Yang akan menjadi kebahagiaanku di hari esok. Dengan kisah yang lebih sempurna, biarlah aku membawa luka di hati.
Allah tuntun langkahku, agar aku tak jatuh di lubang yang sama dan pada kisah yang sama pula.
Mobil telah berjalan jauh meninggalkan Darul Arkom. Aku tak sanggup untuk pamitan pada Ayah dan Ibu. Mereka pasti tak ingin aku pergi lagi. Maafkan Alisha, Ayah, Ibu. Alisha belum bisa setangguh baja dan memilih kembali untuk menepi dari luka yang sama pada orang yang sama.
Mobil memasuki pelataran pesantren Al-Irsyad, hawa ketenangan sudah bisa aku rasakan. Kesejukan telah menyapaku, sejenak aku merasa damai.
"Mba, sudah sampai bangun!" aku membangunkan Mba Sinta. Entah karena mabuk darat, atau karena apa dia selalu memilih untuk tidur jika bepergian.
"Iya Neng, maaf ketiduran,"jawab Mba Sinta yang masih mengucek mata untuk mengembalikan kesadarannya.
"Kang bawakan koper saya ya!" titahku pada Kang Andi. Aku bergegas keluar dari mobil.
Semilir angin langsung menyapaku, membuat aku kembali merasa ketenangan yang aku damba beberapa hari belakangan ini.
Al-Irsyad kembali aku ke sini, untuk menyembuhkan luka yang sama. Insya Allah ini akan menjadi yang terakhir kali aku terluka dan lari dari rasa sakit.
Aku terus melangkah memasuki area Al-Irsyad.
"Cah Ayu, Alisha! Suara yang aku rindukan terdengar merdu menyambutku. Entah nenek tahu akan ke sini atau tidak tapi dari raut wajahnya tak ada keterkejutan. Apa Ayah yang memberitahu, atau Azam.
"Assalamualaikum, Nek!" aku memeluk wanita yang tak lagi muda itu dengan sejuta kerinduan yang mendera.
Belum genap satu minggu aku meninggalkan Al-Irsyad, tapi rasanya sudah satu abad saja. Mungkin, karena detik waktu di Darul Arkom berjalan lambat dan penuh rasa was-was. Kini tak ada lagi yang aku cemaskan jiwa ini bebas meski penuh kehampaan.
"Waalaikumsalam, gimana baik kabarnya, Cah Ayu?" tanya nenek sambil mengelus pipiku lembut. Di sini aku seperti cucunya yang masih kecil. Tak pernah aku mendapatkan omelan atau sekedar cubitan ditubuhku.
Kakek juga nenek sangat menyanyangiku, yang membuat aku betah berada di sini.
"Baik, nenek apa kabar?" tanyaku balik.
"Baik juga, Cah Ayu. Iya udah istirahat dulu! Sudah di bersihkan tadi kamar kamu!" tutur nenek.
Meski keheranan aku tetap menurut, kedatanganku hari ini seolah-olah sudah diketahui oleh nenek.
Kembali aku ke kamar ini, kamar penuh kenangan saat aku terpuruk saat itu. Saat malam-malam susah aku lewati. Kamar yang menjadi saksi betapa aku susah payah agar tetap bernapas.
Aku memejamkan mata, menghirup aroma yang sama saat aku tinggalkan beberapa hari lalu.
Robb, kembali aku menata hatiku. Aku lebih berpasrah padamu. Jodoh, maut, rizki berada di tanganmu. Jika aku ada kesempatan untuk menjalin rumah tangga. Aku ingin terjadi sesuai dengan waktu yang kau pilih dengan orang yang telah kau tuliskan namanya di lauh mahfudz-ku.
"Jangan banyak melamun nggak baik, Cah Ayu!"
Aku menoleh ke samping, kakek telah duduk di sampingku. Di Al-Irsyad ada kolam ikan yang sama dengan Darul Arkom. Sepertinya aku tidak bisa lepas dari kolam ikan.
"Alisha nggak melamun, kek! Ini lagi kasih makan ikan!" jawabku sambil menunjukan pelet ikan yang ada di tangan.
"Hampir 1 kg, Cah Ayu pelet yang kamu kasih. Ikannya bisa mati karena kebanyakan makan,"tegur kakek.
Aku tersentak kaget mendapati banyak pelet ikan di air kolan. Aku hanya nyengir kuda.
"Maaf kek, Alisha nggak fokus!"jawabku kikuk.
"Yang sabar Cah Ayu! Allah sangat sayang padamu. Jangan berpikir Allah tak adil padamu, jangan merasa paling terluka diluar sana masih banyak yang mempunyai masalah yang lebih pelik lagi."
Ucapan kakek menyentil hatiku. Aku harusnya bersyukur karena masih punya Ayah, Ibu, Kakek dan juga Nenek. Tak seharusnya aku larut dalam kesedihan yang mendalam.
"Alisha hanya merasa sangat berdosa dan menyakiti Aisha, kek. Alisha tidak bermaksud membohongi Aisha!" ucapku lirih.
Kakek tidak kaget dengan apa yang aku katakan. Berarti kejadian semalam telah sampai ke telinga Kakek.
"Sabar Cah Ayu, Aisha hanya butuh waktu untuk paham dan menerima kenyataan. Kamu yang kuat, Kakek selalu mendoakan kamu, Cah Ayu!" ucap Kakek.
Aku menatap lekat lelaki yang aku sayang ini, binar kebahagiaan selalu terpancar dari wajah senjanya. Aku ingin tahu, apa kakek sudah mendengar beritanya?
"Azam yang memberitahu, Nak! Kamu tidak perlu membenci atau marah pada Azam. Hanya waktu yang tak tepat, dan karena sudah menjadi suratan takdir kalian."
Aku terdiam tak bisa berkata apa-apa, tidak ada yang bersalah di sini. Hanya waktu yang tak pas juga takdir yang berkuasa. Butuh kelapangan hati untuk bisa menerima, dan waktu untuk penawar luka.
Senja menyapaku, waktu beranjak begitu cepat di sini. Aku masih terduduk di dekat kolam ikan. Sedang libur salat juga,jadi aku menghabiskan waktu sebentar lagi untuk memulihkan amunisi tubuhku. Menikmati senja yang selalu menarik perhatianku.
Aku suka senja juga karena Azam, bisa di katakan senja adalah kenangan yang paling tidak bisa aku lupakan. Kenangan yang selalu menjeratku pada Azam.
Biarlah kenangan itu masih ada, tapi tidak untuk di ulang kembali.
"Senja selalu identik dengan kenangan. Aku ingin melukis kenangan bersamamu, akan aku hadirkan senja terindah di hidupmu. Akan aku tawarkan lukamu dengan cintaku, Alisha Alfatunnisa."
Aku membalikan badan, mata ini memandang tak percaya sosok yang berdiri di hadapanku. Senyum itu terlukis indah di bibirnya. Mata sipitnya memancarkan sinar terang. Kak Adam, dari mana dia tahu aku di sini? Apa Azam juga yang memberitahunya?
"Kak Adam kok bisa di sini?"tanyaku penasaran.
"Kamu pergi nggak bilang-bilang, Alisha." kak Adam balik bertanya padaku.