Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
"Vi, kapan rencana itu akan dilakukan?" Vivian menatap kekasih hatinya yang sedang memainkan gunungnya dengan sangat lembut. Memijatnya dengan penuh gair*h dan cinta.
"Mm ... malam ini, Sayang. Aku sudah memerintahkan dia sesuai rencana yang kita susun." Vivian memejam mata menikmati sentuhan Raka.
"Baguslah! Lebih cepat lebih baik. Agar kita bisa segera hidup bersama dan menikah." Kegiatan panas itu berlanjut ke bawah. Menuju belahan vertikal yang sudah sangat basah.
"Iya, Sayang. Aku juga sudah muak dengan ibu mertuaku. Setiap bertemu, dia selalu menyuruhku segera punya anak. Aku capek! Aku ahh ..." Perkataan Vivian berganti dengan desa han. Karena Raka mulai memainkan belahan vertikalnya. Benda kenyal itu keluar masuk, menusuk-nusuk pintu kegelapan. Membuat Vivian menggelinjang tak karuan. "Oouhh ... Sa-yang." Vivian melenguh. Menjambak rambut hitam Raka. "Terus Sayang! Teruskan lebih cepat lagi!"
Obrolan mereka berubah menjadi suara syahdu. Saling bersahutan, menggema memenuhi kamar apartemen milik Raka.
*****
"Eric, saya pulang duluan. Saya merasa kurang enak badan," beri tahu Anjelo.
"Mari saya antar, Tuan!" tawar Eric sebagai baktinya pada sang atasan.
"Tidak usah. Saya masih bisa bawa mobil sendiri. Tolong kamu selesaikan saja pekerjaan saya. Besok pagi, laporan itu sudah harus selesai!"
"Baik Tuan. Hati-hati!" Eric membungkukkan badannya sebagai penghormatan kepada sang atasan.
Kepala agak sedikit berdenyut nyeri. Mata sedikit keleyengan. Anjelo tiba di rumah dan mendapati rumahnya begitu sepi. Kening Anjelo mengernyit, agak heran dia. Ingin berbalik keluar untuk menanyakan kepada satpam yang berjaga, tapi dia terlalu malas.
"Orang rumah pada ke mana sih?" dengusnya sambil melonggarkan dasi. Menjatuhkan tubuh di sofa ruang keluarga. Kepalanya disandarkan pada sandaran sofa. Memijat-mijat kening dengan tangan kanan. Guna mengenyahkan rasa nyeri yang seperti menusuk-nusuk kepala. Melirik jam tangan, Anjelo bergumam pelan. "Baru jam sembilan. Apakah semua pelayan sudah tidur?" monolognya sambil mengambil ponsel. Mendial nomor sang istri.
Bunyi sambungan telepon terdengar. Menunggu beberapa saat dengan alis saling bertautan.
Jelas saja tidak akan diangkat sebab Vivian sedang bertempur hebat dengan Raka. Saling bertukar saliva dan juga cairan cinta.
"Cih! Apa yang sedang dilakukan Vivian?" Anjelo mematikan sambungan teleponnya. Beranjak dari sofa untuk memanggil salah satu dari ketiga pembantu di rumahnya.
"Mbok Yayu!" Mengetuk pintu kamar pembantu yang paling tua dan paling lama. "Mbok Yayu!" Dua kali Anjelo berseru.
Yang terbuka malah pintu kamar di sebelah kamar Yayu, yaitu milik pembantu baru, Nela.
"Bapak sudah pulang," sapa Nela sembari melempar senyum kecil dan sedikit membungkukkan kepala. Gadis berdaster selutut itu mengikat rambut panjangnya sehingga tampaklah leher jenjangnya yang putih bersih.
"Ya. Nela ... Mbok Yayu dan Mbak Heni ke mana?" tanya Anjelo.
"Ke rumah sakit, Pak. Tadi sore, Mbok Yayu sakit perut. Mbak Heni menemaninya di sana. Katanya Mbok Yayu kena diare," jelas Nela.
"Ya Tuhan ..." Anjelo mendesah pelan. "Apa istri saya tahu tentang keadaan Mbok Yayu?"
"Tahu, Pak. Soalnya Bu Vivi sendiri yang membawa Mbok Yayu ke rumah sakit."
Anjelo mengangguk samar. "Nela, apakah kamu bisa membuatkan saya wedang jahe? Sepertinya saya masuk angin."
"Bisa Pak!" Nela menganggukkan kepala dengan cepat.
"Yasudah, nanti tolong bawa ke kamar saya."
"Baik Pak!"
Anjelo berlalu dari hadapan Nela. Mengayun langkah menaiki tangga.
*****
"Gimana Ze, betah nggak kerja di sini?" Vincent, salah satu karyawan senior di hotel Holland bertanya pada Zeona.
Mereka berdua sedang berada di dapur khusus karyawan. Sedang membuat kopi. Kerja di hotel ternyata tidak secapek di club malam.
"Betah Mas. Kerjanya nyantai. Rekan kerjanya pada baik dan ramah-ramah." Zeona menjawab apa adanya.
"Syukur deh!" Senyum manis membingkai wajah Vincent. Pemuda keturunan Palembang-Jakarta itu memang yang paling ramah.
Dari pertama Zeona masuk kerja, dialah yang memberitahukan ini dan itu pada Zeona. Paling peduli pada para karyawan baru.
"Oh ya, Ze ... nanti kamu pulang naik apa?" Obrolan itu masih berlanjut.
"Naik ojol, mungkin." Zeona belum kepikiran. Lagi pula ini baru jam sembilan malam. Masih dua jam lagi menuju waktu pulang.
Angguk-angguk kepala Vincent mendengarnya. "Gimana kalau pulang bareng aku aja? Tempat tinggal kita 'kan searah?"
Hampir saja Zeona tersedak kopi yang baru saja diminumnya. Akibat terkejut dengan ajakan yang diucapkan Vincent barusan. Agak kaget karena Vincent begitu to the point.
"Ah, nggak usah Mas. Aku nggak mau ngerepotin," tolak Zeona. Dia tidak mau mencari masalah. Kalau ketahuan Anjelo, bisa tamat riwayatnya.
Kejadian malam itu berkelebatan. Di mana Anjelo menghukumnya dengan sangat kasar. Akibat dirinya yang ikut pulang bersama Alden. Padahal kejadian itu tidak di sengaja. Tidak direncanakan dan terjadi secara spontan.
Tapi Anjelo tak mau mendengarkan penjelasannya. Jika menurutnya salah, maka tak ada kata maaf. Hukuman harus tetap diberikan.
Zeona bergidik. Gara-gara hukuman kasar itu, dia sampai kesusahan berjalan normal selama dua hari.
"Mas, aku duluan ya! Mau lanjut kerja lagi. Permisi!" Tanpa menunggu tanggapan dari Vincent, gadis berseragam merah marun itu segera pergi dari dapur. Mengayun langkah dengan sangat cepat. Menghampiri rekan kerjanya yang lain. Bersamaan dengan itu, tugas untuk membersihkan kamar pun ada.
Zeona dan Fahmi segera menuju kamar yang baru saja ditinggalkan oleh tamu.
Masuk ke dalam kamar. Dua pasang mata housekeeper itu langsung terbelalak melihat keadaan kamar yang seperti kapal pecah.
Selimut, bantal dan guling berserakan di lantai. Belum lagi seprai yang basah dan ada noda darah. Serta tisu yang berhamburan entah bekas apa.
Zeona dan Fahmi saling melirik sebelum melakukan tugas mereka.
"Anjay ... tamu yang baru check out ini habis ngapain? Gulat apa main smack down atau main air ya?" gerutu Fahmi sambil bergidik.
"Nggak tahu!" Zeona pura-pura tidak tahu. Padahal dalam hatinya, dia membatin lirih. "Mereka habis beradu alat kenc*ng, Mi!"
"Habis eue-eue kali ya!" Satu geplakan mendarat di lengan atas Fahmi. "Sakit Ze!" ringis pemuda berbadan kurus itu sambil melirik ke arah Zeona.
"Siapa suruh berkata vul gar! Yuk kita beresin. Biar kerjaannya cepet kelar!" ajak Zeona sambil mulai memunguti bantal, selimut dan guling yang berjatuhan di lantai.
"Ok!"
Mereka berdua tak mengobrol lagi. Sibuk mengerjakan tugas masing-masing.
Nela mengetuk pintu kamar Anjelo seraya berseru memanggil majikannya. "Pak! Bapak!"
"Masuk La!" Suara Anjelo berkumandang dari dalam kamar.
Nela menurunkan knop pintu. Mendorong pintu bercat putih di hadapan ke dalam. Mengayun langkah secara perlahan dan masuk ke dalam. "Ini wedang jahenya, Pak! Segera diminum, mumpung masih hangat!" Nela menaruh gelas berisi wedang jahe itu di atas nakas. Melirik sekilas ke arah majikannya yang sedang menyandarkan tubuh di kepala ranjang sambil memijit-mijit kepala.
"Hm, iya." Anjelo menjawab pendek. Dia agak meringis dan meraih gelas berisi wedang jahe itu lalu meminumnya. Tersisa setengah gelas. Anjelo kembali menaruh gelas itu ke atas nakas. "Nela, kamu bisa mijat tidak?"
Nela mengangguk cepat. "Bisa Pak. Bapak mau saya pijat di bagian mana?"
"Kepala saja," jawab Anjelo. "Tolong ya?"
"Iya, Pak." Nela mendekati Anjelo. "Maaf ya, Pak!" Dia mulai memegang kepala Anjelo dan memijatnya dengan pelan.
"Kenapa tubuhku jadi panas dan berkeringat?" Anjelo membatin penuh keanehan. Darahnya berdesir-desir. Jantungnya juga berdebar-debar. Deru napas memberat. Apalagi melihat dada Nela yang tepat di depan wajahnya. Darah panas tiba-tiba membuncah. Hasrat kelelakiannya menerobos hadir. Memercik api ingin mengerjai. "Ada apa dengan tubuhku?" batinnya dengan napas yang semakin berembus pekat. Di bawah sana, tombak penembus kegelapan mulai terbangun. Menggedor-gedor pintu ingin keluar.
Sekuat tenaga Anjelo menahannya. Namun sialnya, Nela malah mengeluarkan suara. "Bapak kenapa, kok seperti terkena asma?" Entah di sengaja atau tidak, pembantu muda itu menurunkan tangannya menyentuh dada Anjelo. Membuat lelaki berpiyama hitam itu blingsatan dan kehilangan kontrol diri. Dia membanting tv bvh Nela ke atas ranjang. "B-Ba-pak m-mau apa?"
lanjut Thor
seru
aku zuka