Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Perhatian
Di Kelas, Pagi Hari
Bell tanda masuk berbunyi dengan nyaring, membuat suasana kelas yang awalnya riuh langsung berubah menjadi sunyi. Semua siswa mengambil tempat duduk mereka, ada yang membuka buku catatan, ada pula yang sibuk memainkan ponsel mereka. Aletha duduk di bangkunya yang terletak di barisan kedua, membuka buku dan memeriksa catatan yang tertinggal dari pelajaran sebelumnya. Ia mencoba fokus, namun pikirannya terus melayang.
Di meja sebelah, Rara dan Rere tengah sibuk mendiskusikan tugas kelompok yang harus mereka kerjakan, sambil sesekali tertawa-tawa kecil. Aletha berusaha tidak mendengarkan obrolan mereka, tapi tetap saja, suaranya yang ceria terdengar jelas. Sesekali mereka saling melirik ke arah Aletha, lalu tersenyum kecil, seakan tahu bahwa Aletha sedang merasa tidak nyaman dengan percakapan yang berfokus padanya.
“Eh, Tha, tadi pagi lo berangkat bareng Dafit, ya? Ciee, kayaknya ada yang makin deket nih,” ujar Rere dengan nada menggoda sambil melirik ke arah Aletha yang sedang menulis di buku.
Aletha sedikit terkejut, matanya teralihkan dari bukunya menuju Rere. “Kenapa emangnya?” jawabnya dengan suara datar, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya tiba-tiba berdebar. Ia mencoba untuk tetap santai, meskipun dalam pikirannya ada perasaan yang mulai tumbuh.
Rere tersenyum lebar, matanya berkilat-kilat penuh keisengan. “Gak bohong, Tha. Lo sering banget tuh bareng sama dia. Gimana sih, ada apa, nih?” tanya Rere sambil mencondongkan tubuh ke depan, berusaha menyelidik.
Aletha menatap Rere dengan tatapan penuh arti. “Gue cuma numpang aja kok. Nggak ada yang aneh,” jawabnya santai, walaupun ada sedikit keraguan dalam suaranya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah buku, berusaha menutupi perasaan yang mulai naik ke permukaan.
Rara, yang duduk di sebelah Rere, ikut bergabung dalam percakapan dengan senyum simpul yang terlukis di wajahnya. “Ya, ya, kita tahu kok, Tha. Tapi lo senang kan? Kalau lo bareng sama Dafit. Kayaknya udah beda deh sikap lo,” ujarnya, matanya memandang Aletha dengan tatapan yang mengarah ke pembicaraan yang lebih pribadi.
Aletha merasa sedikit canggung, tetapi ia berusaha menutupi perasaan itu dengan tertawa pelan. “Masa sih? Nggak ada yang berubah, kok,” jawabnya, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. Ia merasa senyum di wajahnya mulai memudar sedikit karena pertanyaan yang terlalu mengarah pada hal-hal pribadi.
Rere kembali mendekat, ekspresinya semakin nakal. “Ciee, mulai baper nih. Tadi pagi sih keliatan banget, Thaa. Lo nggak bisa bohong!” godanya dengan nada penuh makna, membuat Aletha merasa panas di wajahnya.
Aletha menatap mereka dengan kesal, namun ada senyum kecil yang muncul meski ia berusaha menahan diri. “Udah, jangan aneh-aneh deh. Biasa aja,” katanya dengan suara agak tinggi, meskipun di dalam hatinya ada perasaan hangat yang tidak bisa ia jelaskan.
Rara tertawa pelan, sambil memandangi Aletha dengan tatapan yang sepertinya sudah tahu banyak hal. “Yaudah deh, Tha, kalau lo nggak mau cerita. Tapi kita bisa lihat kok, lo udah beda, lebih cerah gitu kalau bareng dia,” ujar Rara sambil mengedipkan mata penuh arti.
Aletha hanya mengangkat bahu dan tidak melanjutkan percakapan lebih jauh. Meskipun begitu, di dalam hatinya, ia merasa ada sedikit kebenaran dalam perkataan Rara. Setiap kali bersama Dafit, rasanya dunia menjadi sedikit lebih terang, dan ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan.
Namun, dia mencoba untuk mengalihkan pikirannya. Jangan terlalu dipikirkan, Tha, pikirnya. Lo bisa tenang. Jangan baper duluan.
---
Di Meja Dafit
Dafit duduk dengan santai di bangkunya, membuka buku dan memeriksa pelajaran yang akan datang. Di meja sebelahnya, Alvin dan Alvian sedang berbicara dengan serius tentang tugas yang belum selesai. Namun, keduanya sepertinya tidak bisa lepas dari topik yang sedang berkembang tentang Dafit dan Aletha.
“Eh, Fit, tadi pagi lo sama Aletha, ya? Bareng berangkatnya?” tanya Alvin, suaranya penuh rasa penasaran yang jelas tidak bisa ia sembunyikan.
Dafit, yang sebelumnya fokus pada buku pelajarannya, mendongak sebentar dan mengangkat bahu. “Iya, cuma kebetulan aja. Kita satu arah kok,” jawabnya santai, mencoba untuk tetap terlihat tidak terpengaruh. Namun, di dalam hatinya, perasaan itu sedikit berbeda.
Alvin melirik ke Alvian, lalu kembali menatap Dafit dengan tatapan tidak percaya. “Serius, Fit? Lo nggak usah bohong deh, kita tahu kok, lo makin sering bareng Aletha. Lo beda banget, tuh,” kata Alvin sambil tersenyum nakal.
Alvian ikut menimpali, suaranya penuh godaan. “Iya, Fit, lo makin perhatian sama Aletha, kan? Dari dulu, lo nggak kayak gitu sama cewek lain. Kenapa jadi beda banget?” ujarnya sambil melirik Dafit dengan senyum yang makin mengembang.
Dafit merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan mereka. Sebagai seseorang yang cenderung menjaga jarak dari hubungan pribadi, pertanyaan seperti ini membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Namun, ia tidak menunjukkan reaksi itu di wajahnya.
“Apa sih? Gue kan cuma baik sama orang. Nggak ada yang aneh,” jawabnya sambil mencoba menunjukkan kesan santai, meskipun di dalam hatinya, ia mulai merasa sedikit cemas.
Alvin dan Alvian saling bertukar pandang, tahu benar bahwa Dafit sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. “Yaudah, Fit, kalau lo nggak mau cerita. Tapi lo kelihatan makin perhatian gitu deh sama Aletha,” ujar Alvian sambil menyeringai, merasa yakin bahwa Dafit memang punya perasaan yang lebih dari sekadar teman terhadap Aletha.
Dafit mencoba untuk tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ada perasaan yang mulai berkembang. Kenapa gue merasa cemas gini? pikirnya. Kenapa gue nggak bisa cuma bersikap biasa aja? Tapi ia hanya mengangguk dan kembali fokus pada buku di depannya, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan perasaan itu.
---
Saat Istirahat
Bell istirahat berbunyi, dan suasana kelas langsung ramai dengan suara langkah kaki yang bergegas menuju kantin. Aletha berjalan keluar kelas bersama Rara dan Rere, sementara Dafit, yang sebelumnya duduk di kelas, tiba-tiba muncul dari belakang.
“Tha!” panggil Dafit dengan suara yang cukup keras, membuat Aletha menoleh cepat, kaget, namun merasa sedikit lega melihat wajahnya.
Aletha tersenyum kecil, merasa agak canggung meskipun ia berusaha terlihat santai. “Ada apa, Fit?” tanyanya, sambil sedikit menundukkan kepala.
Dafit berhenti di hadapan mereka, membawa botol minuman di tangan. “Lo udah makan belum?” tanya Dafit, suaranya terdengar ringan namun penuh perhatian. Dia seolah tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memastikan Aletha baik-baik saja.
Aletha menatapnya sejenak, sedikit bingung dengan pertanyaan yang sepertinya sederhana namun penuh makna itu. “Belum sih. Kenapa emangnya?” jawabnya, sedikit tersenyum.
Dafit mengangkat bahu, tampak tidak terlalu memikirkan apa yang dia katakan. “Yaudah, kalau belum makan, makan aja. Jangan lupa, ya. Lo harus jaga kesehatan,” katanya dengan nada yang lembut dan perhatian, meskipun ekspresi wajahnya tetap tenang.
Aletha merasa sedikit hangat mendengar perhatian Dafit. “Iya, tenang aja. Makasih, Fit,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Perasaan yang campur aduk itu tiba-tiba muncul lagi—bahagia, canggung, dan sedikit gugup.
Dafit hanya mengangguk pelan, dan sebelum Aletha bisa berkata lebih banyak, dia mulai melangkah menjauh, menuju arah yang berbeda. Aletha berdiri sesaat, menatapnya, merasa aneh namun juga senang. Perasaan itu datang begitu saja setiap kali mereka berinteraksi, dan meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, hati Aletha tetap berdebar. Kenapa rasanya beda, ya?
---
Kembali ke Kelas
Ketika mereka kembali ke kelas, Rara dan Rere langsung mengejek lagi, tanpa bisa menahan senyum nakal mereka.
“Tha, lo makin cemas deh, kelihatan banget senang banget lo bareng sama Dafit,” goda Rere dengan nada nakal, sambil menatap Aletha yang berjalan menuju bangkunya.
Aletha mencoba untuk tersenyum santai, meskipun hatinya penuh dengan keraguan. “Gak ada apa-apa kok. Kita cuma ngobrol aja,” jawabnya, berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya cukup intens di dalam hatinya.
Rara tertawa kecil, sepertinya sudah tahu banyak hal. “Ya udah deh, kita lihat aja nanti. Gak mungkin lo bisa terus-terusan nutupin perasaan lo. Semuanya bakal keliatan, kok, Tha,” ujarnya dengan senyum yang semakin misterius.
Aletha hanya mengangkat bahu, tetapi di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang makin jelas. Setiap kali bersama Dafit, rasanya dunia jadi lebih terang, dan ada sesuatu yang membuat perasaannya makin kuat.