Mencintainya adalah sebuah keputusan..
Sifat perhatian padaku menutupi pengalihannya...
Yang dia kira...dia yang paling disayang, menjadi prioritas utama, dan menjadi wanita paling beruntung didunia.
Ternyata semua hanya kebohongan. Bukan, bukan kebohongan tapi hanya sebuah tanggung jawab
.
.
.
Semua tak akan terjadi andai saja Arthur tetap pada pendiriannya, cukup hanya dengan satu wanita, istrinya.
langkah yang dia ambil membawanya dalam penyesalan seumur hidupnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lupy_Art, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
ternyata meeting dengan klien tidak memakan waktu banyak.. mereka sudah cocok dan langsung deal hari itu juga. Arthur melirik jam ditangannya..
"sepertinya pak Arthur sangat buru-buru" ucap klien itu. mereka seperti sudah akrab saja
Arthur tersenyum mendengar itu. "Aku ada janji dengan istriku"
"kau sudah menikah? aku pikir kau masih lajang.. mengingat dizaman sekarang mereka bisa berhubungan tanpa menikah" ujarnya
"ketika sudah menemukan pasangan yang tepat, kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada kan" kata Arthur
"hahaha... kau benar, sepertinya aku harus mencari pasangan. kau ada kenalan?"
"temanku laki-laki semua.." kata Arthur
"kalau begitu lain kali saja"
"aku harus segera pergi, terimakasih atas kerjasama nya" mereka saling berjabat tangan, Arthur pun pergi dari sana
.
.
Arthur melangkahkan kakinya masuk kedalam Villa.. ruangan yang dia tuju tentu saja adalah kamarnya
Ceklek.....
Arthur menghampiri istrinya yang sedang berhias. "Jangan pakai makeup banyak-banyak" ujar Arthur berdiri dibelakang istrinya.
"Tapi aku ingin, aku ingin terlihat cantik" kata Livia yang telah selesai memberi rona dipipinya
"meski tak memakai makeup kamu selalu cantik dimataku" gombalnya
"Aku ingin terlihat cantik dimata semua orang" Arthur menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tidak mau lelaki lain menatap penuh menggoda kearahmu. hanya aku, aku yang boleh melihat kecantikanmu." kata Arthur menyentuh kedua bahu Livia
Livia tersenyum mendengar kalimat posesif suaminya, tapi setelahnya Livia mengubah raut wajahnya.. mencoba tidak terbawa perasaan hanya karna kalimat tersebut
"aku tidak mau menghapusnya"
"kalau begitu tidak usah pergi" kata Arthur
"kamu saja yang tidak usah pergi.. aku akan tetap pergi tanpamu" ujar Livia memasukkan ponselnya kedalam tasnya
"kita akan pergi bersama" Arthur memilih mengalah, dia menggenggam tangan istrinya, namun Livia melepas paksa tangannya yang digenggam
"aku tidak mau pergi denganmu, kamu merusak mood ku" mata Livia berkaca-kaca..
Arthur memijat pangkal hidungnya, padahal dia sudah niat akan membawa istrinya cek kandungan.. tapi karna sifat posesifnya dia malah merusak suasana hati istrinya
"Sayang, aku minta maaf" Livia malah membuang muka
Arthur mencoba meraih istrinya, tapi Livia bergerak menjauh darinya
Livia membelakanginya, terlihat punggung istrinya bergetar. Arthur tahu istrinya pasti menangis, lagi dan lagi dia membuat istrinya sedih
"Hiks....Hiks" terdengar isakan kecil istrinya, tak tahan mendengar itu Arthur memeluk Livia dari samping
Livia memberontak dalam dekapannya.. Arthur tetap tenang sambil mengusap kepala istrinya..
"maafkan aku, sayang. kamu boleh menggunakan makeup up, dan kamu boleh melakukan apa saja yang kamu suka, tapi jangan menangis" bujuk Arthur
beberapa saat akhirnya Livia sudah lebih tenang, kepalanya masih senantiasa bersandar didada suaminya. Arthur meraih tisu lalu mengusap pelan air mata dipipi istrinya agar tidak merusak riasannya.
"kamu sangat cantik sekali, sampai membuat aku tak rela membawamu keluar" kata Arthur lembut
hanya Livia yang mampu membuat Arthur seakan bertekuk lutut padanya. perasaan Livia sangat sensitif, hanya pertengkaran kecil mampu membuatnya menangis.
Arthur merapikan tatanan rambut Livia, "ayo kita berangkat sekarang" meraih tangan istrinya dengan lembut, Livia hanya pasrah dengan apa yang dilakukan Arthur padanya
diperjalanan pun Livia terus diam, sementara sebelah tangannya terus digenggam suaminya. sesekali Arthur mengecup punggung tangan istrinya.
sesampainya dirumah sakit Arthur segera membukakan pintu untuk istrinya, Arthur sudah menyiapkan kursi roda untuk Livia.. ia tak ingin istrinya kelelahan berjalan dikoridor rumah sakit.
.
.
Livia sudah membuat janji dengan Dokter, jadi mereka berdua bisa langsung melakukan pemeriksaan.
Didalam ruang pemeriksaan...
Dokter tersenyum ramah ketika melihat mereka masuk. "Selamat pagi, Tuan dan Nyonya," sapa Dokter sambil mempersilahkan Livia berbaring dibrangkar.
Livia membalas dengan sopan, sementara Arthur hanya mengangguk singkat, tatapannya tak lepas dari layar monitor USG.
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Dokter mulai menjelaskan. "Semua dalam keadaan baik. Janinnya tumbuh dengan sehat, posisi kepalanya sudah mulai turun sedikit. Itu artinya bayi anda sedang bersiap untuk lahir, tapi belum waktunya, jadi tetap hati-hati dengan aktifitas berat."
Livia mengangguk lega, sementara Arthur tampak semakin serius. "Ada hal lain yang perlu kami perhatikan, Dok?" tanya nya tegas.
"Saat ini, tekanan darah Nyonya Livia sedikit meningkat, jadi saya sarankan untuk lebih banyak istirahat. Hindari stres, dan pastikan pola makan terjaga. Dan, Tuan Arthur mendampingi istri selama masa-masa ini sangat penting."
Arthur mengangguk mantap. "Tentu, saya akan pastikan dia mendapatkan semua yang dibutuhkan."
Dokter tersenyum kecil. "Bagus. Oh, dan jika Anda Ingin tahu, jenis kelamin bayi sudah terlihat jelas disini. Mau saya beritahu sekarang?"
Livia menatap Arthur, meminta pendapatnya. "Bagaimana? Mau tahu sekarang atau nanti?" tanya nya dengan nada lembut.
Arthur menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Aku rasa, nanti saja. Biar jadi kejutan."
Livia tersenyum kecil mendengar jawaban suaminya. "Baiklah, Dokter. Kami akan menunggu momen itu."
Selesai pemeriksaan...
Livia dan Arthur berjalan keluar dari ruang pemeriksaan setelah Dokter memberikan beberapa resep vitamin dan catatan perawatan tambahan. Arthur menggenggam tangan Livia erat, memastikan istrinya merasa aman dan nyaman.
"Ar..." Arthur menoleh sekilas
"duduklah" Livia duduk dikorsi roda
"Ada apa sayang? kamu menginginkan sesuatu?" tanya Arthur sambil mendorong kursi roda istrinya
Livia menggeleng, "Ar, Aku lega semuanya baik-baik saja" kata Livia sambil tersenyum tipis.
"Tentu saja. Aku akan selalu pastikan kamu dan bayi kita dalam keadaan terbaik."
Namun, suasana tenang itu terganggu saat ponsel Arthur bergetar. memberhentikan istrinya disamping mobil, Ia melirik layar ponselnya dan raut wajahnya berubah saat melihat nama yang tertera : Kendall.
"Sebentar, aku harus angkat ini," ucap Arthur singkat, nada suaranya berubah serius.
Livia mengerutkan kening, merasa ada yang janggal. "Siapa? Penting sekali sampai kamu harus angkat sekarang?"
Arthur hanya menatapnya sejenak tanpa menjawab, lalu berjalan menjauh untuk menjawab panggilan itu.
Arthur menjauh untuk menerima telepon, berusaha agar pembicaraannya tidak didengar Livia.
"Ada apa, Kendall?"
"Arthur, Aku tidak bermaksud mengganggu mu, tapi Erland sakit" suara Kendall terdengar tenang, namun sedikit cemas. " Dia demam tinggi semalam, dan terus memanggil namamu."
Arthur menghela nafas panjang. " Apa kau sudah membawanya ke dokter?"
"Sudah. Dokternya bilang ini hanya demam biasa, tapi... dia sangat gelisah. Aku hanya memberitahumu, bukan memintamu datang. Aku tahu posisimu sekarang." kata Kendall, suaranya terdengar tulus tanpa nada menuntut.
Arthur terdiam sejenak, "Kendall, Kau tahu aku akan selalu memastikan kalian baik-baik saja."
"Aku tahu, Arthur. Dan aku menghargainya. Tapi aku tidak butuh apapun darimu, hanya ingin kau tahu situasi Erland. Itu saja," jawab Kendall sebelum menutup telepon dengan sopan.
..
Saat Arthur kembali ke mobil, Livia menatapnya dengan mata penuh pertanyaan.
"Siapa yang menelepon?" tanyanya, mencoba terlihat santai, meskipun nada suaranya menunjukkan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Urusan kerja," jawab Arthur singkat, namun tatapan matanya menghindari milik Livia.
"Urusan kerja? Kalau begitu, kenapa kamu menjauh untuk bicara? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Arthur," balas Livia dengan nada tegas.
Arthur mendesah pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Livia, aku hanya tidak ingin kamu merasa terganggu. Ini tidak penting. Kita pulang saja."
Namun, Livia merasakan ada jarak diantara mereka yang semakin besar. Ia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh saat ini, tetapi didalam hatinya, ia tahu ia harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi.
.......
.......
.......
.......
.......
.......
...----------------...
.......
.......
.......
.......
Hai... jumpa lagi
gimana ceritanya.. sampe sini masih aman ga?
coba dong kalian kasih komentar
kita bakal jumpa lagi dichapter berikutnya
seperti biasa jangan lupa tinggalkan jejak komentar, like, subs, beri vote dan gift
terimakasih...🥰🥰🥰❤❤❤