"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"
~Varissa
_____________________
Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.
Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.
"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.
Pembalasan pun akhirnya dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Michelle
BRUKK!!!
Mauren tak sengaja menabrak seorang lelaki ketika dia yang sedang kalut terburu-buru hendak menuju mobilnya. Perempuan yang beberapa saat lalu memaksa pulang dari rumah sakit itu masih merasakan pening di kepala sehingga langkah kakinya tidak stabil dan cenderung oleng.
"Laki-laki sialan!" umpat Mauren berderai air mata dengan posisi duduk di parkiran akibat terjatuh karena bertabrakan tadi.
"Mbak baik-baik saja?" Sang lelaki yang ditabrak Mauren membungkukkan badan. Meraih lengan Mauren dan lekas membantu wanita itu untuk berdiri kembali.
Mauren tak menggubris. Dihempasnya lengannya dengan kasar kemudian menghampiri mobilnya dengan cepat lalu masuk ke dalamnya. Tak sampai dua menit, mobil sedan hitam yang di kemudikannya melenggang cepat meninggalkan tempat itu.
"Apa bagusnya perempuan itu dibanding Varissa?" gumam Dikta yang tak habis pikir dengan selera Erik.
Tak berselang lama, Dikta memutuskan untuk masuk ke dalam restoran mewah yang ada didepannya. Mengambil tempat duduk di salah satu table yang tepat bersebelahan dengan table Varissa dan Erik.
Mata Varissa langsung membeliak saat menyadari siapa yang tengah duduk di meja di sebelahnya. Perempuan itu mendadak salah tingkah. Membenahi rambutnya beberapa kali sambil berusaha mengatur ritme nafasnya yang tiba-tiba jauh berderu lebih cepat.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Erik yang menyadari perubahan sikap sang istri.
"Hmmm?" Varissa mendongak. Menatap wajah Erik dengan ekspresi tak mengerti.
"Muka kamu kok tiba-tiba merah?"
Varissa reflek memegang kedua pipinya. Ia melirik tipis-tipis ke meja sebelah dengan malu-malu. Kemudian, berpaling dengan cepat saat tatapan tajam Dikta bertabrakan dengan netranya.
"Mungkin karena kebanyakan minum wine," jawab Varissa beralasan.
Jika Varissa begitu tak bisa mengontrol diri, maka lain halnya dengan Dikta. Lelaki itu tetap sama seperti biasa. Tenang, datar, dingin dan penuh wibawa meski pakaiannya tidak seformal Varissa dan Erik. Dia juga sama sekali tidak melirik Varissa. Ia berperilaku seolah-olah tidak mengenal wanita itu sama sekali.
"Dikta ngapain ke sini, sih? Bukannya istirahat, malah keluyuran. Kalau sakitnya tambah parah, gimana?"
Selang beberapa saat kemudian, seorang pelayan menghampiri Dikta. Keduanya tampak berbincang sebentar sebelum Dikta akhirnya di tuntun oleh pelayan itu menuju ke lantai dua restoran tersebut yang Varissa ketahui sebagai private room.
"Dia mau ketemu siapa?" gumam Varissa dengan rasa penasaran tingkat dewa.
"Kamu kenal dia?" tanya Erik yang langsung membuyarkan lamunan Varissa.
"Si-siapa?"
"Laki-laki tadi," jawab Erik. "Kok daritadi kamu ngelihatin dia terus?"
Varissa menggeleng cepat. "Nggak. Tadi, aku pikir dia temen kuliah kita dulu. Tapi, ternyata bukan."
"Oh," angguk Erik mengerti. Lelaki itu kembali melanjutkan makannya dengan lahap. Sementara, Varissa masih bertanya-tanya dalam hati perihal siapa yang ditemui Dikta di private room lantai dua.
"Sayang! Aku boleh minta sesuatu ke kamu?" tanya Erik setelah makanannya tandas tak bersisa.
Sebuah amplop ia keluarkan dari dalam saku jasnya. Beberapa lembar kertas dia keluarkan dari dalam amplop tersebut dan menyodorkannya langsung ke hadapan Varissa.
"Ini berkas-berkas pengalihan aset kamu atas nama aku. Mending kamu tanda tangan sekarang aja, ya! Soalnya, kalau di lama-lamain, aku jadi nggak bisa mengatur beberapa hal yang bersifat urgent di perusahaan kita," rayu Erik.
"Memangnya, harus sekarang banget ya, Mas?" Varissa berpura-pura bertanya. Padahal, dia sudah tahu maksud Erik memintanya mempercepat pengalihan aset itu. Suami tercintanya itu ingin cepat-cepat menguasai harta miliknya kemudian mendepak Varissa lalu menggantikannya dengan perempuan tak bermoral selingkuhannya itu.
"Kamu juga nunda-nunda buat apa, sih? Bukannya kalau di tangan aku, semuanya bakal lebih baik lagi? Atau, kamu nggak percaya sama suamimu sendiri?"
"Memang tidak," gumam Varissa dalam hati.
"Bukannya gitu, Mas!"
"Ya sudah, kamu tanda tangan sekarang, ya!" bujuk Erik tak sabaran.
DRRTT!!
Ponsel di saku jas lelaki itu tiba-tiba bergetar. Sudah berusaha ia abaikan namun semakin lama getarannya terus saja berlanjut.
"Kok nggak diangkat, Mas?" tanya Varissa.
"Udahlah, nggak penting. Yang lebih penting sekarang adalah kamu tanda tangan," ucap Erik yang berusaha untuk tidak terganggu dengan panggilan yang terus masuk di ponselnya.
"Ih, di cek dulu, Mas! Siapa tahu dari orang kantor," paksa Varissa.
Erik berdecak. Sedikit malas, dia membuka pesan yang masuk di aplikasi WA.
[Kalau kamu nggak muncul dalam 30 menit, aku akan kirim video mesum kita ke istri sialan kamu itu, Mas!]
"**!*!" Erik mengumpat tanpa sadar. Ingin rasanya dia menggebrak meja keras-keras andai tak ada Varissa di hadapannya. Kenapa pula Mauren harus berulah di saat yang tidak tepat?
"Mas, kamu kenapa?" tanya Varissa pura-pura. Padahal, dalam hati wanita itu bersorak penuh kemenangan.
"Sayang, aku tiba-tiba ada keperluan mendesak. Kamu pulang sendirian, nggak apa-apa kan?" Erik beranjak dari tempat duduknya. Mengecup puncak kepala Varissa sesaat sebelum berjalan terburu-buru meninggalkan istrinya sendirian di tempat itu.
"Terimakasih banyak, Mauren! Berkat kamu, aku bisa menghindar dari jebakan licik Erik," kata Varissa penuh kelegaan. Surat-surat yang tadi Erik paksa untuk ditandatangani, dia robek satu persatu hingga berbentuk serpihan kecil.
*******
Suasana masih terasa hening. Tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulut lelaki berkacamata itu. Dia masih duduk dengan takzim. Tak berbuat apa-apa selain menatap lukisan bunga tulip yang terpatri di dinding dalam ruangan itu.
"Tidak ingin bertanya tentang kabarku?" lirih perempuan cantik dengan netra kehijauan di hadapan Dikta.
Hening. Masih tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki di hadapannya. Michelle tertunduk. Menelan saliva susah payah sambil menahan getir didalam hati.
"Kenapa kamu kemari?"
Michelle tersenyum miring. Bibirnya bergetar menahan sakit yang berpusat didalam rongga dadanya.
"Haruskah kamu selalu sedingin ini?" tanya Michelle kembali.
Dikta bergeming. Tak sekalipun dia berusaha menghindar dari tatapan penuh luka yang Michelle berikan.
"Aku memang sudah seperti ini sejak awal," jawabnya.
"Dikta...," panggil Michelle setengah putus asa.
"Langsung saja!" potong Dikta cepat. "Kenapa ingin menemuiku?"
"Kamu sudah tahu jawabannya. Kenapa masih bertanya?"
"Sudah ku bilang, buang perasaanmu!"
Michelle tak tahan untuk tidak meneteskan airmata untuk kali ini. Kedua tangannya saling meremas kuat. Sesakit inikah untuk sekadar mencintai seseorang?
"Apa kau dan dia akhirnya bisa bersama?"
Dikta mengerjap. Selanjutnya, lelaki itu memilih berdiri dan bersiap meninggalkan tempat itu. Ia enggan menjawab pertanyaan yang dia sendiri belum tahu akan seperti apa akhirnya nanti.
"Itu bukan urusanmu! Lebih baik kamu pulang! Tempatmu bukan disini!"
"Apa aku salah jika masih berharap?"
Langkah Dikta terhenti. Tanpa berniat berbalik, ia berkata, "Ya. Kamu salah."
Michelle menyeka air matanya. Tak ada yang bisa gadis itu lakukan selain berusaha mengumpulkan kepingan hati yang kembali hancur. Bertahun-tahun berharap dan jatuh cinta pada orang yang sama nyatanya tak menjanjikan bahagia. Kini, Michelle akhirnya sadar. Masa untuk menyerah, mungkin adalah sekarang.
"Padahal, aku kemari untuk bilang kalau Daddy ingin aku bertunangan dengan putra teman baiknya. Hanya itu, Dikta!" gumamnya dengan senyuman miris.
Kasihan Cinta dengan luka bakarnya itu. sudah begitu di katai pembawa sial lagi. tambah mengangah lah luka tubuh dan lukai hatinya