🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Berubah 180 Derajat
"Permisi Pak," Daliya mengetuk pintu ruangan Direktur sambil membawa segelas kopi. "Ini Daliya, Pak,"
"Masuk," terdengar suara datar Ren dari dalam ruangan.
Daliya menghembuskan napas panjang sebelum membuka pintu. Semalaman, dirinya sudah sibuk menyiapkan mau berkata apa pada Ren. Niatnya Daliya ingin bertanya tentang keadaan Ren, sekaligus mengajaknya makan siang bersama untuk berterimakasih pada lelaki itu.
"Duh, kenapa aku jadi deg-degan sih?" gumam Daliya. Ia kemudian melangkah masuk dengan jantung berdebar kencang.
"Selamat pagi Pak," sapa Daliya sambil tersenyum lebar. Tak lupa ia letakkan gelas kopi yang ia buatkan secara khusus ke atas meja.
Ren hanya memandang sekilas, tapi kemudian ia kembali sibuk dengan dokumen-dokumen di atas meja. Wajah lelaki itu tampak serius, dan anehnya, hal itu malah menambah kesan seksi di mata Daliya.
"Eng, Ren?" Daliya mencoba memecahkan keheningan di antara mereka. "Itu, soal kemarin—"
"Kamu sudah atur jadwal meeting dengan tim marketing?" potong Ren sambil mendongakkan kepala.
"Y-ya?" Daliya tergagap. "I-iya Pak, sudah," jawabnya kemudian. Dia jadi canggung sendiri karena Ren tiba-tiba menggunakan bahasa formal padanya.
"Kenapa tidak kamu kirimkan ke email saya?" Tanya Ren lagi tanpa melihat ke arah Daliya.
"Oh, iya Pak, setelah ini akan saya kirimkan," Daliya menggigit bibir. Rasanya aneh melihat Ren bersikap begitu serius. Daliya kemudian berbalik badan, bersiap untuk meninggalkan ruangan dan mengerjakan pekerjaannya. Tapi, panggilan Ren membuat langkah Daliya terhenti.
"Daliya," Ren memanggil sambil mengangkat gelas kopi dari atas meja. "Bawa ini. Saya tidak suka kopi,"
"Oh?" Daliya buru-buru menerima gelas itu. "Maafkan saya Pak, kalau begitu Pak Ren mau dibuatkan apa?"
"Nggak usah, nggak perlu," jawab Ren singkat yang membuat Daliya sontak menelan ludah. Karena setelah itu Ren tidak berkata apa-apa lagi, Daliya bergegas keluar sambil membawa pergi gelas kopinya.
Daliya pikir, perubahan sikap Ren itu hanya sementara. Mungkin saja Ren sedang mengalami mood yang buruk atau semacamnya. Tapi, ternyata ia salah. Karena setelah itu Ren marah-marah sambil membanting dokumen ke atas meja.
BRAKK!!
Daliya, dan beberapa perwakilan tim marketing menahan napas melihat hasil kerja mereka terhempas begitu saja.
"Kalian bilang ini laporan?!" Ren memandangi wajah karyawannya satu persatu. "Kenapa formatnya seburuk ini?!"
"Mohon maaf Pak, ini kesalahan kami. Yang mengerjakan laporan ini adalah anak magang, dan saya tidak mengeceknya sebelum dilaporkan kepada Pak Direktur," Hani berkata sambil menundukkan kepala. Tak berbeda dengan Hani, Daliya dan semua orang yang berada di sana pun ikut menundukkan kepala.
"Apa kalian mengejek saya mentang-mentang saya masih baru di sini? Sekali lihat saja saya tahu laporan ini dikerjakan anak SD!" Kening Ren sudah berkerut, menandakan kekesalannya sudah memuncak. "Ulangi!"
"Baik Pak, mohon maafkan kami Pak," Berulangkali Hani memohon maaf.
Daliya hanya bisa terdiam sambil sesekali melirik Ren yang duduk di sampingnya. Wajah lelaki itu terlihat merah, sepertinya Ren benar-benar marah. Tanpa berkata apapun, Ren beranjak dari duduknya dan keluar dari ruang meeting. Daliya mengikuti di belakangnya sambil berbisik memberikan semangat kepada Hani.
"Setelah ini jadwal saya apa?" Tanya Ren masih sambil terus berjalan.
"Oh, setelah ini ada jadwal meeting dengan perusahaan periklanan Pak," Daliya membaca agenda pada tabletnya sembari tergopoh-gopoh mengikuti langkah Ren.
"Dimana?"
"Di restoran A Pak," jawab Daliya cepat.
"Oke," Lagi-lagi, Ren hanya menjawab singkat sambil berjalan menuju parkiran kantor. Daliya mengikuti lelaki itu masuk ke dalam mobil tanpa berani bicara apa-apa.
Selama perjalanan, lagi-lagi tidak ada percakapan di antara mereka. Daliya jadi berpikir, apa jangan-jangan Ren yang ia kenal selama ini dengan Ren yang sekarang duduk di sebelahnya itu beda orang? Masalahnya, kenapa dalam sehari sifatnya berubah 180 derajat? Bukankah baru kemarin lelaki itu mengungkapkan cinta padanya?
Apa gara-gara aku menolak pengakuan cintanya? Pikir Daliya di dalam hati.
"Kenapa lirik-lirik saya?" ujar Ren ketus, yang membuat Daliya langsung memalingkan wajahnya. Gawat, ketahuan!
Untungnya, Ren tidak membahas hal itu lagi sampai mereka masuk ke restoran. Rapat dengan perusahaan periklanan pun berakhir dengan damai, tanpa adanya Ren yang marah-marah. Daliya bersyukur karena sepertinya Ren masih bisa mengendalikan dirinya dengan baik.
"Setelah ini saya langsung mau pulang, terserah kamu mau pulang naik apa," kata Ren saat mereka berjalan keluar dari restoran. Daliya hanya bisa mendengus kesal, siapa pula yang minta diantarkan pulang? Dia masih bisa pulang sendiri.
"Permisi, Mbak Daliya?" suara seorang pria menghentikan langkah mereka berdua. Ternyata itu adalah Leo, sekretaris dari perusahaan periklanan yang tadi.
"Eh, iya, ada apa Mas?" Daliya tersenyum ramah.
"Oh, nggak Mbak, saya cuma mau minta kontak nya Mbak Daliya aja. Supaya nanti saya mudah menghubungi perusahaan Lumiere,"
"Oh, tentu," Daliya mengeluarkan ponsel, bersiap untuk membagikan nomornya. Tapi, tiba-tiba Ren sudah mengulurkan tangan sambil memberikan sebuah kartu nama.
"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya saja," ujarnya pada Leo.
"Oh? Tapi kan ini urusan sekretaris dengan sekretaris Pak, jadi—"
"Urusan sekretaris saya urusan saya juga," Ren sudah berkata tegas, menandakan dirinya sedang tak mau dibantah. Melihat gelagat tidak mengenakkan itu, tentunya Leo hanya bisa tersenyum dan menerima kartu yang diberikan Ren. Setelah itu ia beranjak pergi meninggalkan mereka.
"Modus banget," kata Ren kemudian. "Lagipula urusan kita sama perusahaan mereka kan sudah selesai, kenapa masih minta nomor telepon?"
Daliya menanggapi ucapan Ren dengan lirikan sinis, kemudian menghela napas panjang. Ia sudah tidak ada tenaga lagi untuk meladeni bosnya itu. Daliya cuma berharap hari ini akan segera berakhir dan dirinya bisa langsung merebahkan diri ke atas kasur. Sayangnya, apa yang direncanakan manusia memang jarang berakhir dengan mulus.
"Loh, Daliya? Ada Ren juga? Wah, kalian masih pacaran sampai sekarang? Nggak nyangka ya, ternyata langgeng juga,"
Wanita bersuara cempreng yang selalu membawa mimpi buruk bagi Daliya, siapa lagi kalau bukan Silvi. Wanita itu tampak berjalan sok anggun dan menghampiri mereka berdua.
Aduh, kenapa harus ketemu nenek lampir itu sih? Daliya panik. Ia melirik Ren yang ekspresinya masih terlihat datar. Tidak mungkin dengan kondisi Ren yang sedang marah padanya itu mau pura-pura jadi pacarnya lagi. Tapi kalau tidak begitu, bisa-bisa ketahuan kalau selama ini dia berbohong!
Apa aku kabur saja? Itu adalah jalan satu-satunya yang dipikirkan Daliya. Ia pun segera berbalik badan dan berniat untuk berlari sekencang-kencangnya menjauhi Silvi. Tapi...
"Sayang?" Daliya tersentak ketika tangan besar Ren merangkul pinggangnya. "Kamu mau kemana?"
tulisannya juga rapi dan enak dibaca..
semangat terus dlm berkarya, ya! 😘
ujian menjelang pernikahan itu..
jadi, gausah geer ya anda, Pak Direktur..