“Kau akan menjadi pacar eksklusifku selama batas waktu yang tak ditentukan. Rubah penampilan kuno-mu itu. Aku tak suka melihat penampilan burukmu itu. Jika kau menolak perjanjian ini, kau bisa mengundurkan diri dari perusahaanku,” ucap Dimitrei Uvarov—seorang CEO di mana Thalia Brown bekerja. Thalia yang sangat membutuhkan pekerjaan saat ini dan tak punya pilihan jawaban lain, akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah, Tuan. Aku menerima dan tak menolak perjanjian ini.” Siapa yang bisa menolak pesona Dimitrei Uvarov— putra angkat dari seorang mafia kawakan yang cukup terkenal di dunia bawah. Namun, alih-alih melanjutkan usaha sang ayah angkat, Dom Petrov, yang terbilang sangat sukses, Dimitrei justru membangun dinasti kejayaannya sendiri meskipun semua modal dibiayai oleh ayah angkatnya. Melihat kehidupan sang ayah angkat yang selalu ditinggalkan wanita dan tak pernah mendapatkan cinta sejati, membuat Dimitrei tak berniat untuk menikah karena baginya itu adalah hal yang sia-sia. Namun, berbeda dengan Dom yang menginginkan Dimitrei membangun rumah tangga dengan wanita yang tepat. Kondisi kesehatan Dom yang memburuk membuat Dimitrei akhirnya menyetujui perintah Dom untuk menjalin hubungan dengan wanita yang akan diseleksi langsung oleh Dom. Dan pilihan itu jatuh pada pegawai culunnya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata yaitu Thalia Brown.
Follow ig : zarin.violetta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit, Tapi Merasa Lega
Thalia merasa sesak di dadanya saat dia mendengar langkah-langkah menjauh dari lorong rumah itu. Suasana hening malam itu memberikan latar belakang yang sempurna untuk kepergian Evan dan Camilla.
Setelah pintu apartemen tertutup rapat, Thalia segera menguncinya. Dia duduk di balik pintu dan menyandarkan tubuhnya yang lelah akibat perkelahian tadi.
Namun, dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada rasa lega yang menyelinap ke dalam hatinya, meskipun tubuhnya masih terasa sakit akibat benturan dengan dinding dan perkelahian tadi.
Dengan tangan gemetar, Thalia menutup wajahnya yang terluka. Dia merasakan keheningan yang menyelimuti ruangan, hanya terdengar helaan napasnya yang terengah-engah.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir deras dari matanya yang memerah. Dia membiarkan emosinya meledak, membanjiri hatinya yang selama ini terpendam.
Tangisannya menggema di ruang kecil itu, menciptakan suasana yang penuh dengan kesedihan dan kelegaan yang bercampur aduk. Meskipun dia tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari selesai, Thalia merasa seperti beban yang begitu lama dia pikul akhirnya terangkat dari pundaknya.
Dia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berani melawan Camilla. Selama ini, Camilla telah menjadi sosok yang mengendalikan hidupnya dan juga ibunya dulu, memaksanya untuk tunduk pada kehendak mereka. Namun, malam ini, Thalia memutuskan untuk mengubah segalanya.
Dia melawan ketakutannya, menghadapi rasa sakit dan kebencian yang begitu lama terpendam di dalam dirinya. Dan meskipun fisiknya terluka, dia merasa seperti telah mencapai kemenangan yang lebih besar. Kemenangan atas dirinya sendiri.
Dengan hati yang masih terasa berat, Thalia berjalan terseok-seok menuju ke kamarnya. Kemudian wanita itu berjalan ke tempat tidur dan merebahkan dirinya di atasnya.
Dia merasakan setiap denyutan nyeri yang menjalar di seluruh tubuhnya, tetapi dia tidak peduli. Baginya, ini adalah harga yang pantas dia bayar untuk kebebasan hatinya yang selama ini tertawan oleh sebuah ketakutan besar.
Dia teringat akan kata-kata kasar dan perlakuan tidak adil yang selalu dia terima dari Camilla. Bagaimana sang ibu tiri selalu merendahkan dan mempermainkan dirinya dan ibunya dulu, seolah-olah mereka hanyalah selembar kertas yang bisa dirobek, diremas, dan dibuang begitu saja.
Tapi malam ini, Thalia telah membuktikan bahwa dia bukanlah sosok yang lemah dan tunduk seperti yang selalu Camilla kira.
Dalam kegelapan yang menyelimuti kamarnya, Thalia merenungkan masa lalunya yang penuh dengan penderitaan dan kekecewaan. Dia merenungkan tentang ayahnya yang begitu tak bisa menentang keinginan istri pertamanya itu meskipun sebenarnya sang ayah begitu mencintai Thalia.
TING
TONG
TING
TONG
Suara bel di pintu depan membuat dada Thalia kembali berdebar. Dia teringat dengan ucapan Evan tadi, yang akan membalasnya.
Thalia kemudian beranjak dan langsung berlari menuju dapur. Tangannya mengambil sebilah pisau besar dengan cepat untuk melindunginya dari amukan Evan.
Thalia kemudian pergi ke arah pintu, dan tanpa melihat lubang pintu, Thalia langsung membuka pintu itu dan mengacungkan pisaunya pada seseorang di depannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Dimitrei yang ternyata dialah yang ada di hadapan Thalia.
Tangan Thalia gemetar dan Dimitrei mengambil pisau itu dari tangan Thalia.
"Ada apa? Apa yang terjadi padamu?" Suara Dimitrei ketika melihat keadaan Thalia yang cukup babak belur karena darah di pelipisnya sudah mengalir ke pipi dan rahangnya.
Dimitrei meletakkan pisau itu di meja di dekat pintu. Lalu pria itu menangkup rahang Thalia dan memeriksa luka di pelipisnya. Dan juga luka di leher dan tangan serta kakinya.
"Apa yang terjadi, Thalia? Katakan padaku!" Dimitrei sedikit membentak dengan tatapan marahnya karena melihat keadaan Thalia yang begitu menyedihkan.