Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Kelana melepas ke dua tangan yang mengikat di lehernya. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya, namun mata Kelana seolah berbicara tak suka saat dipeluk-peluk istri ke duanya.
“Kamu masih jutek aja sih, Mas? Ibu bilang kamu sakit? Gimana keadaan kamu? Masih demam?” Kadara mengecek suhu kening Kelana dengan menyentuh dahi suaminya.
“Aku nggak papa.” Dengan cepat Kelana menarik tangan Kadara. “Obatku cuma Bening.”
“Bening?” Kadara baru sadar di meja makan itu ada Bening. “Kamu yang namanya Bening waktu itu, kan?”
“Ya,” jawab Bening.
“Kamu ngapain makan di sini? Itu ibu kamu juga ngapain makan di meja makan? Kalian itu cuma pembantu, makan di dapur.” Suara Kadara agak tinggi.
“Dara, jangan begitu. Mau bagaimana pun Bu Ajeng itu udah seperti sahabat dan keluarga ibu sendiri. Bu Ajeng selalu setia menemani kami dari mulai Kelana yang belum jadi apa-apa,” sahut Agustina.
“Tapi dia cuma pembantu, Bu. Nggak sopan aja masa pembantu makan sama majikan? Ini juga anaknya, sok kecantikan banget kamu.”
“Ya emang saya cantik.” Bening mengibaskan rambut panjangnya.
“Hah –“
“Cukup, maafkan saya, Mbak. Biar saya makan di dapur aja. Silahkan kalau Mbak Dara mau makan.” Ajeng berdiri sambil membawa piringnya.
“Bu Ajeng –“
“Nggak papa Mas Kelana, saya memang udah terbiasa makan di dapur, kok. Permisi.” Ajeng pun pergi.
“Ibuuuu ....” Bening mengikuti ibunya sambil membawa piring juga.
“Bening kamu jangan pergi juga,” ucap Agustina.
“Aku mau makan sama ibu aja, Bu,” sahut Bening, lantas mengikuti ibunya.
Ke dua tangan Kelana mengepal kuat, ia marah pada dirinya sendiri karena pernah mencintai sosok wanita yang tak punya sopan santun. Ia pun mengutuk dirinya sendiri karena pernah buta mencintai Kadara.
“Duduk,” titah Kelana.
“Apa aku boleh makan?” Kadara duduk di hadapan Agustina yang hanya diam memperhatikan menantu ke duanya.
“Kamu tau Bu Ajeng itu siapa?” tanya Kelana.
“Pembantu.”
“Lebih dari itu.”
“Oke, aku tau kalau Bu Ajeng udah bertahun-tahun kerja di sini. Tapi yang namanya pembantu ya tetap pembantu. Yang namanya majikan dan babu itu harus ada batasan, kalau kamu baikin mereka terus, lama-lama mereka ngelunjak,” sahut Kadara.
“Tapi Bu Ajeng bukan hanya sekedar pembantu. Kamu harus hormat dan sopan pada Bu Ajeng karena beliau mertuaku.”
Pernyataan Kelana membuat Kadara tertegun sampai lidahnya tak bisa digerakkan lagi. Namun bola matanya menilik Agustina dengan tatapan tanda tanya.
“Maksud kamu apa, Mas? Bu Ajeng mertua kamu?” tanya Kadara.
“Sebelum ijab qobul, aku udah kasih kesempatan kamu untuk pilih lanjut atau berhenti. Kamu bahkan nggak percaya kalau udah aku punya istri. Kamu tetap ngotot ingin jadi istriku, kan?”
“Bu?” Kadara meminta jawaban pada Agustina karena tak mengerti ucapan Kelana.
“Bening itu istrinya Kelana juga, Dara. Otomatis Bu Ajeng itu besan ibu juga,” sahut Agustina.
Kadara semakin tertegun dengan mata melirik Kelana dan Agustina secara bergantian. Ia pikir Kelana sudah membohonginya hanya untuk membatalkan pernikahan. Tapi jika sudah Agustina yang berbicara, ia tak bisa lagi untuk tak percaya.
“Maksud kalian sebenarnya apa, Bu, Mas? Kalian bohongi aku?” tanya Kadara yang berdebar jantungnya.
“Kamu dengar ini.” Kelana memutar rekaman vidio wajah Mamat, namun mengeraskan volumenya hingga terdengar suara yang sangat jelas.
[Saya terima nikahnya Sya Bening Embun, Binti Almarhum Bapak Aiman Panjangitan, dengan mas kawin cincin emas seberat 3 gram dibayar tunai!]
Kadara mendengar lantunan ijab qobul yang sempat tak mau ia dengar saat di rumahnya itu. Ia pun tak salah dengar dan sangat mengenal suara Kelana.
“Jadi kamu memang udah nikahin Bening, Mas?” tanya Kadara.
“Ya, aku lebih dulu menikahi Bening daripada kamu. Sekarang kamu boleh ngadu ke orang tua kamu. Kalau kamu mau minta cerai pun, dengan senang hati aku akan turuti permintaan kamu.”
“Bu?” Kadara memandang Agustina seolah minta pembelaan.
“Ibu serahkan semuanya pada kamu, Dara. Ibu udah bingung mau berbuat apa. Ibu juga nggak enak sama orang tua kamu. Ibu cuma mau minta maaf karena anak ibu memang udah punya istri dua, kamu dan Bening. Kalau kamu mau minta cerai pun ibu nggak papa.”
**
Sementara itu, Bening malah asyik makan di dapur. Ia tak memikirkan apa itu madu, apa itu istri ke dua suaminya, dan apa itu cemburu, karena gadis itu memang tak punya perasaan apa-apa pada Kelana. Perasaannya hanya pure untuk cita-cita yang akan diwujudkan oleh Kelana saja.
Yang Bening pikirkan hanya lah ibunya. Ia agak sakit hati karena Kadara telah menghina ibunya, meskipun yang dikatakan madunya memang benar, ibunya memang lah asisten rumah tangga.
“Ibu seneng ngeliat kamu makan banyak begini, Bening. Mau tambah lagi?” tanya Ajeng yang terus memperhatikan putrinya makan.
“Boleh, Bu. Tapi sambelnya masih ada, kan?”
“Masih, tapi lauknya cuma sisa pindang ikan. Nggak papa?”
“Nggak papa, Bu.”
Ajeng bangkit dari duduk untuk mengambilkan ikan pindang yang tersisa di wajan. Ia pun menuangkan ikan yang tinggal satu itu ke piring Bening, sekaligus kuah-kuahnya.
“Ini sambelnya Bening ambil sendiri.” Ajeng menyodorkan mangkuk sambal yang masih sisa banyak.
Dengan raut riang, Bening bertempur lagi dengan sendoknya. Ajeng yang kembali memperhatikan Bening makan pun merasa miris dan kasihan pada putrinya yang harus punya madu di usia belia.
“Bening nggak cemburu liat Mas Kelana makan di depan sama Mbak Dara?” tanya Ajeng.
“Cemburu kenapa, Bu? Mbak Dara kan memang istrinya om Kelana.”
“Tapi kamu juga istrinya Mas Kelana, Bening. Kamu berhak makan sama suami kamu juga.”
“Nggak papa, Bu. Aku mau makan sama ibu aja,” sahut Bening dengan raut polosnya.
“Oh, jadi ini bocah yang udah rebut suami saya?” Kadara datang ke dapur itu dengan membawa piring kotor di tangannya.
“Rebut? Saya nggak ngerebut om Kelana, kok. Om Kelana sendiri yang mau jadi suami saya,” sahut Bening.
Kadara meletakan piring yang ia bawa di wastafel, lantas menghampiri Bening dan Ajeng dalam raut kesal.
“Sebenarnya apa sih yang buat Mas Kelana mau nikahin kamu?” tanya Kadara.
“Apa Mbak Dara nggak rela jadi istri ke dua?” tanya Ajeng.
“Tentu nggak rela. Tapi dari pada saya cerai dari Mas Kelana, lebih baik anak ibu aja yang minta cerai dari suami saya.”
“Nggak, Mbak. Saya nggak mungkin dukung anak saya jadi janda. Bening juga punya hak atas Mas Kelana, lebih baik Mbak Dara dan Bening hidup akur aja sebagai istrinya Mas Kelana,” sahut Ajeng.
“Tapi saya nggak bisa berbagi Mas Kelana, Bu. Saya mencintai suami saya.”
“Jika boleh egois, saya juga nggak bisa ngeliat anak saya harus berbagai suami, Mbak. Tapi memang beginilah kondisinya. Mbak dan Bening harus sama-sama mengerti posisinya. Lagipula wanita yang mau ikhlas karena dipoligami itu akan mendapat banyak pahala yang jaminannya surga.”
“Surga? Bu Ajeng lagi ceramahin saya? Ibu ingat posisi ibu di sini apa? Meskipun ibu udah jadi ibu mertuanya Mas Kelana, tapi di mata saya ibu cuma asisten rumah tangga. Tolong jangan sok ceramahi saya.”
“Ibu saya apa?” tanya Bening.
“Ibu kamu itu b a - BA -- b u - Bu, BABU.” Kadara mengejanya.
PLOK!
Bening melemparkan mangkuk sambal ke wajah Kadara. “Sekali lagi saya denger Mbak hina ibu saya, bukan cuma sambel yang akan melayang ke muka, tapi tai ayam.”