Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pernikahan Dadakan
Wongso tampak bingung sejenak, namun amarahnya semakin membara. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan kendali atas situasi yang sudah ia anggap biasa. "Aku tak menyangka, Warti yang selama ini selalu diam dan tidak ikut campur urusanku, kali ini berdiri menentangku," batinnya.
Wongso pun mulai berpikir panjang, menyadari bahwa Warti bukanlah sosok yang bisa dipandang sebelah mata, mengingat suaminya seorang tentara. Meskipun suami Warti sering kali tidak berada di rumah karena tugas-tugas dinasnya, Wongso tahu betul bahwa Warti memiliki kekuatan dan pengaruh yang tak bisa dianggap enteng. "Sial! Kenapa perempuan itu harus ikut campur?" umpatnya dalam hati dengan tangan terkepal erat.
Di sisi lain, Airin berjongkok di depan Kaivan. Ia meraih tangan pria itu dan menggenggamnya dengan erat. "Kak, jika kau bersedia... malam ini juga kita menikah," ucap Airin dengan suara gemetar, namun tegas. "Dengan begitu, Wongso tak akan punya alasan lagi untuk mengganggu kita."
Kaivan terdiam sejenak, menarik napas dalam sebelum berbicara dengan suara tenang. "Airin, kita baru bertemu pagi ini. Kita bahkan hanya sebatas mengenal nama, dan aku... aku buta. Apa kau yakin ingin menikah dengan pria seperti aku?"
Airin mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun ia tahu pria di hadapannya tak bisa melihatnya. "Aku lebih baik menikah denganmu daripada dengan pria tua yang sudah beristri tiga. Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku berjanji akan merawatmu seumur hidupku, apa pun yang terjadi. Meskipun kau tak akan pernah bisa melihat lagi, aku akan tetap di sisimu. Kita akan hidup bersama, menghadapi semuanya sampai tua," ucapnya penuh kesungguhan dan ketulusan.
Kaivan tertegun oleh kesungguhan dan ketulusan dalam suara Airin. Hening sejenak melingkupi mereka, hanya diiringi suara binatang malam di luar. Perlahan, Kaivan mengangguk, hatinya masih bimbang dan terkejut, tapi ia memutuskan untuk mengikuti instingnya. "Jika itu yang kau inginkan, Airin... aku akan menerimanya. Aku akan menikahimu."
Keputusan itu seperti bom yang meledak di tengah kerumunan. Semua orang terkejut, sementara Airin dan Kaivan saling bertukar tatapan penuh tekad meskipun Kaivan tak bisa melihat. Wongso menatap mereka dengan wajah merah padam, namun untuk pertama kalinya, ia tak bisa berkata-kata.
Keputusan mendadak itu mengubah dinamika malam itu. Wongso terlihat seperti binatang buas yang terjebak, sementara Airin, meskipun tampak rapuh, berdiri sebagai simbol keberanian di hadapan semua orang.
Bidan Warti yang sudah jengah dengan tingkah Wongso, merasa seperti mendapatkan angin segar begitu mendengar persetujuan Kaivan untuk menikahi Airin. Tanpa membuang waktu, ia segera menghampiri seorang pria paruh baya di antara kerumunan warga. Pria itu adalah Pak Hasan, yang sering diminta menjadi penghulu dalam pernikahan warga desa.
"Pak Hasan, ayo ikut saya. Kita nikahkan mereka sekarang juga," ujar Bu Warti penuh semangat sambil menarik lengan Pak Hasan.
Pak Hasan yang terlihat terkejut sempat tergagap. "Sekarang, Bu? Tapi—"
"Tak ada tapi-tapian! Wongso sudah terlalu lama membuat masalah di desa ini. Kalau Airin dan Ivan menikah, tak akan ada lagi omongan macam-macam tentang mereka yang tinggal serumah. Ini demi kebaikan semua pihak," potong Bu Warti dengan tegas.
Kerumunan warga yang mendengar alasan itu langsung mengangguk setuju. "Benar itu! Lebih baik mereka dinikahkan sekarang juga!" ujar salah seorang warga, diikuti anggukan dan gumaman setuju lainnya.
"Kak...." panggil Airin menatap Kaivan penuh harap. "Kakak bersedia 'kan, menikah denganku malam ini juga?"
Kaivan mengangguk kecil, menyampaikan kesungguhannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menerima situasi yang berkembang begitu cepat dan sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.
Wongso, yang mendengar rencana itu, menggebrak kap mobilnya dengan keras. "Ini tidak bisa diterima!" bentaknya, tetapi teriakan itu hanya disambut tatapan tajam Bu Warti dan dukungan penuh warga.
Pernikahan yang tak terduga itu berlangsung dengan penuh haru. Di tengah kerumunan warga yang menyaksikan, nenek Asih berdiri di samping Airin, matanya berkaca-kaca. Di usianya yang sudah senja, ia tak bisa menyembunyikan rasa bangga dan haru melihat cucunya, yang selama ini selalu berjuang seorang diri, akhirnya menemukan jalan keluar dari kegelapan hidupnya. Nenek Asih menggenggam tangan Airin erat, seolah memberikan kekuatan di saat-saat penuh emosi ini.
Airin dan Kaivan berdiri berdampingan. Meski situasi ini penuh dengan ketegangan dan perubahan mendadak, hati mereka berdegup kencang. Kaivan, yang sejak lama tak terbiasa disentuh orang sembarangan, terutama oleh seorang wanita, kini merasakan sentuhan Airin yang menghangatkan hatinya. Tangannya sedikit gemetar saat ia menggenggam tangan Airin, tetapi di dalam hatinya, ia merasa terhubung dengan wanita di sampingnya lebih dari yang pernah ia bayangkan.
"Ivan," suara penghulu terdengar pelan, memecah keheningan. "Apakah kamu bersedia untuk mengambil Airin sebagai istrimu, untuk hidup bersama, dalam suka dan duka, hingga akhir hayat?"
Dengan napas yang sedikit terengah, Kaivan mengangguk, wajahnya penuh ketulusan. "Saya bersedia."
Kemudian, giliran Airin. Penghulu menoleh padanya. "Airin, apakah kamu bersedia untuk mengambil Kaivan sebagai suamimu, untuk berbagi hidup bersamanya, dalam suka dan duka, hingga akhir hayat?"
Airin mengangguk mantap, meski bibirnya tampak gemetar. "Saya bersedia."
Saat mereka mengucapkan janji suci itu, suasana menjadi begitu hening, hanya terdengar deru angin yang seolah menenangkan. Detak jantung mereka berdua berdetak lebih cepat, seakan dunia sekitar mereka menghilang, meninggalkan hanya keduanya yang terikat dalam janji tersebut.
Nenek Asih menitikkan air mata bahagia, mengusap pipi keriputnya dengan pelan. Ia tahu, meski tidak mudah, pernikahan ini memberi Airin harapan baru, serta kekuatan untuk menghadapi hidup yang penuh tantangan.
Dengan itu, pernikahan mereka sah, dan meski sederhana, momen itu begitu berarti. Mereka berdua, di tengah segala ketidakpastian, kini berjalan bersama, membangun kehidupan baru yang penuh harapan.
Bidan Warti merasa lega dan bangga melihat Airin dan Kaivan akhirnya resmi menikah. Di antara kerumunan warga yang memberikan tepuk tangan, Warti merasakan kepuasan tersendiri. Ia tahu, dengan pernikahan ini, Wongso tidak bisa lagi semena-mena terhadap Airin. Tanpa ragu, ia berjalan ke arah Airin dan Kaivan, memberikan senyuman hangat sebagai bentuk dukungan.
"Selamat Airin, Ivan atas pernikahan kalian. Semoga langgeng sampai kakek nenek. Ibu berharap mata Nak Ivan segera sembuh dan bisa melihat lagi," ucap Bu Warti penuh ketulusan.
Airin tersenyum hangat. "Terima kasih, Bu. Ibu sudah banyak membantu kami."
Kaivan mengangguk. "Terima kasih."
Bu Warti tersenyum tipis. "Ini hanya bantuan kecil. Ibu tidak suka melihat orang lain ditindas di depan mata Ibu. Jika kamu tidak bertekad kuat untuk lepas dari Wongso, ibu juga tidak bisa berbuat apa-apa."
Nenek Asih angkat bicara. "Meskipun begitu, kami tetap harus berterima kasih pada Bu Warti."
Bu Warti tersenyum seraya mengusap lengan nenek Asih. "Sebagai sesama manusia, sudah sepantasnya kita saling menolong."
Namun, di sisi lain, Wongso yang sebelumnya menyaksikan pernikahan itu, kini terlihat jelas kemarahannya. Ia duduk di dalam mobilnya, tubuhnya kaku dengan tangan terkepal erat. Wajahnya memerah, marah, dan kecewa. Anak buahnya yang semula menunggunya di luar juga tampak cemas, mereka tahu bahwa Wongso tidak akan mudah menerima kekalahan ini.
"Ini belum berakhir," gumam Wongso dengan suara geram, menatap tajam ke depan. "Airin dan Ivan akan menyesal. Aku akan membuat mereka merasakan akibatnya."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso