Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Langkah ditengah Ancaman
Malam yang dingin membawa ketegangan dalam hati Raka. Pertemuan dengan Reza, jurnalis investigasi, memberinya harapan baru, tetapi ancaman yang terus membayang membuat pikirannya tidak pernah tenang. Ia tahu bahwa musuh yang dihadapinya bukanlah orang-orang biasa; mereka adalah individu dengan kekuasaan dan jaringan luas, yang siap menggunakan segala cara untuk mempertahankan kepentingan mereka.
Keesokan paginya, Raka menerima pesan dari Nadia. Pesan itu singkat, tetapi cukup untuk mengguncang dirinya.
_"Raka, aku lihat dua orang mencurigakan di sekitar kosanku. Kita harus hati-hati."_
Raka segera menelepon Nadia. “Nad, mereka mulai bergerak. Kamu harus pergi dari tempatmu. Cari tempat yang lebih aman.”
“Aku akan coba. Tapi Raka, kamu juga harus hati-hati. Kalau mereka sampai mengincar aku, berarti mereka benar-benar serius,” jawab Nadia dengan nada cemas.
Raka terdiam sejenak, lalu berkata, “Kita nggak boleh mundur, Nad. Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan terus menang.”
Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku tahu, tapi kita harus main aman.”
**Serangan Tak Terduga**
Hari itu, Raka memutuskan untuk bekerja seperti biasa di lokasi proyek. Ia tidak ingin menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang menyelidiki sesuatu. Namun, di tengah kesibukannya, ia merasa ada sesuatu yang salah. Beberapa pekerja memandangnya dengan sorot mata aneh, seolah-olah mereka tahu sesuatu tentang dirinya.
Saat istirahat siang, Raka pergi ke kantin proyek untuk makan. Ketika ia kembali, ia menemukan tas kerjanya telah diacak-acak. Beberapa dokumen penting yang ia simpan di dalamnya hilang.
Dengan panik, ia segera menghubungi Pak Hasan. “Pak, dokumen saya hilang. Sepertinya ada yang membobol tas saya.”
Pak Hasan terkejut. “Kita harus waspada, Raka. Ini bukan kebetulan. Mereka mungkin sudah tahu tentang investigasi kita.”
“Kalau begitu, kita harus segera mengamankan dokumen lainnya. Saya masih punya salinan, Pak. Tapi kita harus bergerak cepat,” kata Raka tegas.
Pak Hasan menyarankan agar Raka memindahkan salinan dokumen tersebut ke tempat yang lebih aman. Mereka sepakat untuk menyimpannya di sebuah kantor kecil milik teman Pak Hasan, yang terletak di pinggiran kota.
**Langkah Berikutnya**
Di tengah tekanan yang terus meningkat, Raka dan Nadia bertemu lagi untuk mendiskusikan strategi mereka.
“Kita harus memastikan bahwa semua ini sampai ke tangan Reza tanpa gangguan. Kalau perlu, kita harus melibatkan lebih banyak orang yang bisa dipercaya,” kata Nadia sambil menatap Raka serius.
“Masalahnya, siapa yang bisa kita percaya?” balas Raka.
Nadia terdiam sejenak, lalu berkata, “Ada satu orang yang mungkin bisa membantu kita. Namanya Bayu. Dia seorang pengacara yang pernah menangani kasus besar seperti ini. Aku bisa coba menghubunginya.”
Raka mengangguk. “Baik. Kalau dia bisa membantu, itu akan sangat berarti.”
Namun, Raka tidak bisa menghilangkan perasaan was-was dari pikirannya. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Salah satu langkah saja, dan semuanya bisa runtuh.
**Pertemuan Rahasia**
Beberapa hari kemudian, Raka, Nadia, dan Bayu bertemu di sebuah restoran kecil di kawasan Tebet. Bayu adalah pria muda berpenampilan rapi, dengan sorot mata tajam yang menunjukkan ketegasan.
Setelah mendengar cerita Raka dan Nadia, Bayu terlihat termenung. “Kasus ini sangat serius. Kalau benar bukti yang kalian miliki cukup kuat, mereka tidak akan tinggal diam. Kalian harus bersiap menghadapi tekanan yang lebih besar.”
“Kita sudah siap, Mas,” kata Raka. “Yang penting, bagaimana caranya bukti ini bisa diproses tanpa dimanipulasi?”
Bayu tersenyum tipis. “Saya punya kenalan di KPK. Kalau kita bisa membawa bukti ini langsung ke sana, peluang mereka untuk menyabotase akan jauh lebih kecil. Tapi kalian harus ingat, ini bukan proses yang singkat. Akan ada banyak perlawanan.”
Raka dan Nadia saling berpandangan. Mereka tahu bahwa langkah ini akan membawa mereka ke dalam bahaya yang lebih besar, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.
**Penutupan Bab 14**
Malam itu, setelah pertemuan dengan Bayu, Raka kembali ke kosannya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa keputusan untuk melanjutkan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, ia juga merasa bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh.
Sambil duduk di depan jendela, ia menatap lampu-lampu kota Jakarta yang terus berkilauan. Di balik kemegahan itu, ia tahu ada kegelapan yang harus dilawan.
“Jakarta memang keras,” gumamnya pelan. “Tapi gue nggak akan mundur. Kebenaran harus terungkap.”
Setelah pertemuan dengan Bayu, Raka menyadari bahwa rencana mereka masih jauh dari kata aman. Musuh yang mereka hadapi bukan sekadar segelintir orang korup, tetapi jaringan dengan kekuatan besar yang mampu menyabotase segala usaha mereka. Pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk, namun ia mencoba mengalihkan perhatian dengan memikirkan langkah konkret selanjutnya.
Kembali ke kos, Raka memutuskan untuk meninjau kembali dokumen-dokumen yang ia miliki. Ia menyusun sebuah rencana cadangan: jika sesuatu terjadi padanya, dokumen tersebut akan dikirim ke media, termasuk ke Reza, dan disebarkan ke pihak-pihak terpercaya. Ia bahkan menulis sebuah surat yang menjelaskan situasi dan bahaya yang ia hadapi, lengkap dengan bukti yang menyertainya, kemudian menyimpannya dalam amplop besar di bawah tempat tidurnya.
**Percakapan Tengah Malam**
Namun, malam itu, pikiran Raka terganggu ketika ia menerima telepon dari Pak Hasan. Suara pria paruh baya itu terdengar tegang di ujung telepon.
“Raka, ada sesuatu yang harus kamu tahu,” kata Pak Hasan tanpa basa-basi.
“Ada apa, Pak? Suara Bapak terdengar panik,” tanya Raka, mencoba memahami situasi.
“Saya baru saja mendapat informasi dari salah satu staf lama. Mereka tahu kalau kita sudah mendekati inti masalah. Bahkan nama kamu sekarang sudah disebut-sebut oleh beberapa petinggi. Kamu harus lebih berhati-hati,” ujar Pak Hasan dengan nada serius.
Raka terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap. “Jadi, mereka tahu tentang saya?”
“Ya. Dan yang lebih parah, mereka mulai menggerakkan orang-orang mereka. Salah langkah sedikit, nyawa kamu bisa dalam bahaya,” jawab Pak Hasan.
Raka menghela napas panjang. “Terima kasih sudah kasih tahu, Pak. Saya akan lebih waspada. Tapi ini nggak mengubah keputusan saya. Kita harus terus maju.”
Pak Hasan terdiam, lalu berkata, “Baiklah, Raka. Tapi ingat, kalau situasinya memburuk, jangan ragu untuk meminta bantuan. Kita tidak bisa melawan mereka sendirian.”
Setelah menutup telepon, Raka merenung. Ancaman itu nyata, lebih nyata dari yang ia bayangkan sebelumnya. Tapi tekadnya tidak goyah. Ia tahu, kebenaran harus ditegakkan meski nyawanya menjadi taruhannya.
**Insiden di Kosan**
Keesokan harinya, saat Raka sedang bersiap untuk pergi ke lokasi proyek, ia mendengar suara langkah kaki di luar pintu kosnya. Langkah itu terdengar berat dan tidak biasa, membuat Raka langsung waspada.
Dengan hati-hati, ia mengintip dari lubang kecil di pintu. Dua pria dengan tubuh kekar berdiri di depan pintunya, saling berbicara pelan, sambil sesekali mengetuk pintu dengan keras.
“Raka, gue tahu lo ada di dalam. Buka pintunya!” salah satu dari mereka berseru dengan nada mengancam.
Raka tidak merespons. Ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi Nadia.
“Nad, ada dua orang di depan pintu kosan gue. Mereka kayaknya anak buahnya orang-orang itu,” bisiknya dengan panik.
“Raka, kamu harus keluar dari sana sekarang juga! Cari jalan lain,” balas Nadia dengan nada panik.
Raka segera mematikan telepon dan melihat ke jendela. Kosannya berada di lantai dua, dan tidak ada jalan keluar kecuali melalui tangga atau jendela itu. Dengan cepat, ia mengikatkan tali dari sprei tempat tidurnya ke kaki meja, lalu menurunkannya ke halaman di bawah.
Saat ia mulai memanjat keluar, pintu kosan mendadak didobrak. Kedua pria itu masuk dengan wajah marah, tetapi mereka terlambat. Raka sudah berhasil turun ke bawah dan melarikan diri ke gang kecil di belakang kosannya.
**Pelarian yang Menegangkan**
Raka terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Napasnya terasa berat, tetapi ia tidak berani berhenti. Ia menyadari bahwa tempat tinggalnya tidak lagi aman, dan ia harus menemukan lokasi persembunyian baru.
Ia akhirnya sampai di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan. Dengan napas terengah-engah, ia menghubungi Bayu dan menceritakan kejadian tersebut.
“Bayu, kosan gue nggak aman lagi. Mereka udah sampai ke sana,” ujar Raka sambil berusaha menenangkan dirinya.
“Tenang, Raka. Datang ke kantor saya sekarang. Kita akan cari cara untuk mengamankan kamu,” jawab Bayu dengan nada serius.
Setelah memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya, Raka memesan ojek online dan pergi ke kantor Bayu. Di sana, ia disambut dengan wajah tegang dari Bayu dan Nadia.
“Kamu nggak bisa tinggal di tempat yang sama lagi, Raka. Mereka akan terus mencari kamu,” kata Nadia.
“Kita harus bergerak cepat. Saya akan mengatur tempat aman untuk kamu malam ini. Besok, kita harus mulai melibatkan pihak yang lebih tinggi untuk menangani masalah ini,” tambah Bayu.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Raka merasa dirinya benar-benar seperti buronan. Ia tidak hanya dikejar oleh ketidakadilan, tetapi juga oleh orang-orang yang siap menghabisinya kapan saja.
Namun, di balik ketakutan itu, Raka merasa bahwa semua ini adalah bagian dari perjuangan. Jika ia menyerah sekarang, seluruh pengorbanan yang sudah dilakukan akan sia-sia.
“Gue nggak akan lari lagi,” gumamnya sambil memandang langit Jakarta dari jendela kamar kecil yang menjadi tempat persembunyiannya sementara.
Di luar sana, kota tetap sibuk seperti biasa, penuh hiruk-pikuk yang menutupi banyak rahasia. Tapi bagi Raka, semuanya kini sangat jelas: ia harus terus maju, apa pun risikonya.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)