Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Keinginan Raka
Naura berdiri di depan pintu ruangan yang baru saja ditunjukkan oleh supervisor.
Tangan kirinya gemetar ringan saat mengetuk pintu, dan suara lembut dari dalam segera menjawab, "Masuk."
Dengan napas yang berat, Naura mendorong pintu itu perlahan.
Ruangan itu luas, dengan meja kerja besar di tengah, rak buku berisi koleksi rapi, dan sebuah papan nama yang mencuri perhatian di atas meja.
"Raka Dirgantara – CEO."
Naura membeku. Ia memandang papan nama itu dengan tatapan penuh keterkejutan.
Tubuhnya seakan kehilangan keseimbangan, dan ia merasa sulit bernapas.
Raka yang duduk di kursinya berdiri dengan senyum tenang.
"Naura, duduklah. Aku ingin bicara."
Namun, Naura tetap berdiri, ekspresi wajahnya berubah.
"CEO? Jadi, selama ini... Mas Raka adalah bos di sini?"
Raka mengangguk pelan, menyadari perubahan nada bicara Naura.
"Iya, Naura. Aku seharusnya memberitahumu lebih awal. Tapi aku ingin kamu merasa nyaman dulu. Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan."
Naura tertawa kecil, penuh sarkasme.
"Nyaman? Mas pikir menyembunyikan sesuatu seperti ini membuat aku nyaman? Aku sudah cukup trauma dengan masa lalu, Mas. Aku ... aku benci dibohongi!"
Raka melangkah mendekat, tetapi menjaga jarak.
"Naura, aku tidak pernah berniat membohongimu. Aku hanya ingin kamu memulai hidup baru tanpa merasa terbebani oleh siapa aku." Ia menatap Naura dengan penuh kesungguhan.
"Tapi aku merasa dibohongi," ucap Naura dengan suara bergetar.
Matanya mulai memerah, dan ia menunduk untuk menyembunyikan emosinya.
"Aku sudah cukup dikhianati. Aku tidak bisa menghadapi ini lagi."
Raka menghela napas panjang, lalu berkata pelan, "Naura, aku tahu luka di hatimu masih dalam. Aku tidak akan pernah memaksa atau menyakiti perasaanmu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal, aku ada di sini untuk membantumu, bukan untuk menyakitimu."
Naura mengangkat wajahnya, menatap Raka dengan air mata yang mulai menggenang.
"Kenapa, Mas? Kenapa repot-repot? Aku ini bukan siapa-siapa."
"Karena aku ingin kamu tahu bahwa ada seseorang yang peduli padamu. Aku tidak seperti Bimo, Naura. Aku tidak akan mempermainkanmu." Raka mengulas senyuman.
Naura terdiam, hatinya mulai bimbang. Ia ingin marah, tapi tatapan tulus Raka membuatnya bingung.
Pria itu tidak mendekatinya lebih jauh, bahkan tidak menyentuhnya, hanya berdiri di tempatnya sambil menatapnya dengan penuh kesungguhan.
Setelah beberapa saat keheningan, Raka berbicara lagi.
"Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa niatku selalu baik. Kalau kamu ingin keluar dari perusahaan ini karena merasa tidak nyaman, aku tidak akan melarang. Tapi aku akan tetap memastikan kamu baik-baik saja."
Naura mengerutkan kening, hatinya semakin terombang-ambing.
"Kenapa Mas begitu peduli padaku? Apa Mas ingin aku menjadi pelarian? Karena kalau iya, aku tidak akan pernah—"
"Pelarian?" potong Raka dengan suara tegas tapi lembut.
"Naura, aku tidak membutuhkan pelarian. Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Itu saja."
Naura terkejut dengan jawaban itu. Pria di hadapannya berbeda dari yang ia kira. Tidak ada tekanan, tidak ada paksaan.
Hanya ketulusan yang ia lihat dalam tatapan Raka.
Mereka terdiam cukup lama, hingga akhirnya Raka melanjutkan.
"Aku tahu kamu tidak percaya pada pria mana pun sekarang. Tapi aku berharap, suatu saat nanti, kamu bisa melihat aku sebagai seseorang yang bisa kamu andalkan. Seseorang yang benar-benar peduli tanpa pamrih."
Kata-kata itu menyentuh hati Naura. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Raka, sesuatu yang membuatnya merasa aman meskipun ia masih dipenuhi rasa ragu.
"Aku butuh waktu," bisik Naura akhirnya.
"Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan," balas Raka lembut.
Sebelum Naura sempat menjawab, pintu ruangan diketuk dari luar, dan seorang staf masuk dengan membawa dokumen penting.
Raka mengisyaratkan Naura untuk pergi lebih dulu.
Saat keluar dari ruangan itu, Naura merasa pikirannya penuh. Ia tidak tahu harus merasa lega, marah, atau bingung.
***
Naura baru saja kembali ke meja kerjanya setelah kejadian di ruangan Raka.
Perasaannya masih campur aduk, antara kecewa, bingung, dan sedikit rasa lega karena mengetahui niat Raka tidak seperti yang ia duga sebelumnya.
Namun, tetap saja, bayangan Bimo kembali menghantui pikirannya. Ia tidak ingin kembali terjebak dalam lingkaran rasa percaya yang rapuh.
Tidak lama kemudian, ponsel kantor di mejanya berdering.
"Naura, kamu bisa ke ruangan saya sebentar?" suara Raka terdengar di ujung telepon.
Naura menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Baik, Mas ... eh, maksud saya, Pak Raka."
Perasaan canggung kembali menyelimuti saat ia berjalan menuju ruangan Raka.
Setelah mengetuk pintu, ia masuk dan melihat Raka tengah berdiri di dekat jendela besar dengan pemandangan kota yang gemerlap di bawah sinar matahari sore.
"Silakan duduk," ujar Raka, menoleh dengan senyum yang terasa menenangkan.
Naura duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Raka, menunggu pria itu memulai pembicaraan.
"Naura," Raka memulai dengan nada pelan, "sudah beberapa hari ini kamu bekerja di sini. Aku ingin tahu, apakah kamu sudah merasa nyaman dengan pekerjaanmu?"
Naura menatap Raka sejenak, lalu menjawab jujur, "Ya, sejauh ini tidak ada masalah, Pak. Tapi ...."
"Tapi apa?" potong Raka dengan alisnya yang terangkat.
Naura menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan.
"Tapi saya tidak tahu, apakah saya benar-benar bisa bekerja di tempat ini. Maksud saya, melihat posisi Anda ... Saya merasa sedikit canggung."
Raka tersenyum tipis. "Itu yang ingin saya bicarakan. Naura, sebenarnya saya punya satu permintaan."
Naura menatapnya bingung. "Permintaan, Pak?"
"Ya. Selama ini, saya sulit beradaptasi dengan asisten pribadi yang ditunjuk perusahaan. Mereka terlalu formal, kaku, dan terkadang terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Saya butuh seseorang yang bisa saya percaya, seseorang yang sudah saya kenal, dan seseorang yang tahu bagaimana bekerja dengan saya." Raka mengangguk.
Naura mulai merasa ada arah pembicaraan yang ia khawatirkan.
"Jadi, maksud Bapak adalah...?"
Raka mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Naura dengan serius.
"Saya ingin menawarkan posisi itu kepadamu, Naura. Menjadi asisten pribadi saya."
Naura tertegun. Matanya membesar, dan hatinya mulai berdebar tidak karuan.
"Pak Raka, saya rasa saya tidak pantas untuk posisi itu. Saya baru saja mulai bekerja di sini, dan saya masih belajar."
"Tidak ada yang harus kamu khawatirkan," balas Raka cepat. "Saya tahu kemampuanmu. Kamu cerdas, teliti, dan—"
"Dan apa?" potong Naura, mulai merasa waspada.
Raka tersenyum lagi, kali ini lebih lembut.
"Dan kamu adalah seseorang yang bisa saya percaya. Itu yang terpenting bagi saya."
Naura terdiam, pikirannya penuh dengan keraguan.
Ia tidak ingin posisi ini menjadi alasan untuk lebih dekat dengan Raka.
Ia masih takut terluka, takut kehilangan lagi kepercayaan yang mungkin ia bangun perlahan.
"Pak Raka, saya rasa—"
"Jangan jawab sekarang," potong Raka lembut. "Pikirkan dulu. Saya tidak ingin memaksamu. Tapi saya berharap kamu bisa mempertimbangkan tawaran ini. Tidak ada tekanan."
Naura mengangguk pelan, meski pikirannya masih berkecamuk.
"Baik, saya akan mempertimbangkannya, Pak."
"Itu saja yang saya minta. Dan satu hal lagi, Naura." Raka tersenyum puas.
"Apa itu, Pak?" tanya Naura, mulai merasa suasana hati pria itu sedikit berubah.
"Kalau kamu menerima tawaran ini, saya janji, tidak akan ada batasan antara kita. Kamu bisa bicara jujur kapan saja, tentang apa saja. Saya ingin kamu merasa nyaman."
Kata-kata itu membuat hati Naura terasa hangat, namun juga membingungkan.
Ia tidak tahu apakah Raka benar-benar tulus atau ada maksud lain.
Saat ia hendak keluar dari ruangan itu, Raka memanggilnya lagi. "Naura."
Naura berbalik, menatap pria itu.
"Ya, Pak?"
"Aku harap kamu tahu, aku tidak akan pernah memanfaatkan posisiku untuk membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Itu saja."
Naura terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan keluar dari ruangan.
Namun, saat pintu tertutup, hati Naura semakin bimbang.
Apakah ini hanya awal dari sesuatu yang lebih rumit? Atau, mungkinkah Raka benar-benar tulus?
(Bersambung...)
❤️ Hay semua, jangan lupa like dan komentarnya ya, agar aku semangat update.