Cerita Tiger and Crane mengikuti kisah seorang anak bernama Hu Zi yang merupakan seorang anak yatim piatu yang cerdas dan ceria. Namun, suatu hari ia tak sengaja menelan mutiara merah, sebuah harta dari energi Yang terdalam. Kejadian ini, lantas menuntun dirinya kepada seorang master iblis yang suram bernama Qi Xuao Xuan. Dalam dunia hantu dan setan, kepribadian antara Hu Zi (Jiang Long) dengan Qi Xuao Xuan (Zhang Linghe) adalah dua pemuda yang memiliki kepribadian yang berbeda. Mereka akhirnya terpaksa berpetualang bersama karena mutiara merah. Sedangkan Hu Zi dan Qi Xuao Xuan yang diawal hubungan saling membenci menjadi bersatu hingga bersinar satu sama lain. Terlebih setelah mereka melalui banyak ujian hidup dan mati, membuat keduanya tumbuh menjadi lebih kuat satu sama lainnya. Hingga suatu hari, Qi Xuao Xuan masuk penjara karena melindungi Hu Zi. Hu Zi beserta teman-temannya akhirnya mengikuti seleksi nasional untuk master iblis, yang pada akhirnya mereka justru mengungkap konspirasi besar yang merupakan sebuah kebenaran seputar perang iblis yang telah terjadi pada 500 tahun lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lorong yang Dilupakan Waktu
Langkah-langkah mereka terdengar lirih di tengah keheningan hutan, mengikuti rute yang ditunjukkan oleh peta kuno di tangan Qi Xuao Xuan. Setiap inci perjalanan membawa mereka lebih dalam ke daerah yang tidak dikenal, di mana pepohonan raksasa menjulang tinggi seperti penjaga bisu dari rahasia dunia.
Hu Zi berjalan di tengah barisan, menatap peta dengan tatapan penuh harap sekaligus keraguan. “Apakah benar kita bisa menemukan jawaban di makam leluhur dewa?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Jawaban itu tergantung pada seberapa keras kau berusaha mencarinya,” balas Qi Xuao Xuan, tanpa menoleh. Suaranya terdengar tegas, namun ada nada ketidakyakinan yang tersirat.
Shen Yue, yang berjalan di depan mereka dengan pedang terhunus, mendengus pelan. “Aku masih tidak yakin kita harus mempercayai kata-kata pria tua itu. Bagaimana jika ini semua jebakan?”
Yan Zhao yang berada di belakang mereka menyahut, “Jebakan atau tidak, kita tidak punya pilihan lain. Semua jalan lain sudah tertutup. Ini satu-satunya petunjuk yang kita miliki.”
Namun, suasana hutan berubah semakin aneh. Pohon-pohon di sekitar mereka kini dipenuhi sulur-sulur hitam yang berdenyut seperti hidup. Suara angin mendesir membawa bisikan-bisikan aneh yang seolah memanggil nama mereka.
Hu Zi menggigil, merasa bulu kuduknya meremang. “Kalian dengar itu?” tanyanya, suaranya bergetar.
Shen Yue mengangguk. “Ya, suara itu… seperti berasal dari dalam kepala kita.”
Qi Xuao Xuan berhenti berjalan, mengangkat tangannya sebagai isyarat agar semua orang berhenti. “Kalian harus tetap tenang,” katanya pelan. “Hutan ini bukan hutan biasa. Ini adalah bagian dari pertahanan makam leluhur. Ia menguji keberanian dan niat kita.”
“Tapi bisikan itu…” Hu Zi menggigit bibirnya. “Apa mereka mencoba mengusir kita?”
“Bukan mengusir,” jawab Qi Xuao Xuan. “Mereka mencoba memecah kita. Jika kita mulai saling meragukan, kita akan tersesat di sini selamanya.”
Semua orang mengangguk, meskipun kecemasan tetap terukir di wajah mereka. Mereka melanjutkan perjalanan, setiap langkah terasa semakin berat.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah tebing besar yang memotong jalan. Di bawahnya, jurang gelap terbentang, dengan kabut tebal yang menutupi dasar. Di tengah tebing itu, terdapat sebuah jembatan gantung yang terlihat rapuh dan hampir putus.
“Ini pasti bagian dari ujian,” ujar Yan Zhao, menatap jembatan dengan ngeri. “Kita benar-benar harus menyeberangi ini?”
“Tidak ada jalan lain,” kata Qi Xuao Xuan tegas. “Tapi kita harus melakukannya satu per satu. Jika tidak, jembatan ini tidak akan mampu menahan berat kita.”
Mereka memutuskan urutan dengan cepat. Shen Yue menyeberang pertama, diikuti oleh Yan Zhao, lalu Hu Zi, dan terakhir Qi Xuao Xuan. Saat Hu Zi melangkah di atas papan-papan kayu yang reyot, ia merasakan jembatan itu bergetar di bawah kakinya.
Di tengah perjalanan, bisikan-bisikan aneh itu kembali, kali ini lebih keras. Mereka memanggil nama Hu Zi, mengancam untuk membuatnya kehilangan keseimbangan.
“Hu Zi, fokus!” teriak Qi Xuao Xuan dari belakang.
Hu Zi memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir suara-suara itu. Ia mengatur napasnya, kemudian melangkah perlahan-lahan sampai akhirnya tiba di sisi seberang. Ia hampir roboh ke tanah begitu sampai, tubuhnya gemetar karena ketegangan.
Namun, saat Qi Xuao Xuan melangkah ke jembatan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sulur-sulur hitam yang tadi hanya diam kini bergerak, melingkari tali-tali jembatan. Mereka merayap cepat, mencoba merobek tali penahan.
“Cepat, Qi Xuao Xuan!” teriak Shen Yue.
Qi Xuao Xuan berlari sekuat tenaga, papan-papan kayu di bawah kakinya jatuh satu per satu ke jurang. Sesaat sebelum sulur-sulur itu berhasil memutus tali terakhir, ia melompat, nyaris tidak sampai ke sisi seberang.
Mereka semua terengah-engah, tapi tidak ada waktu untuk merayakan keselamatan mereka. Di depan mereka kini terbentang sebuah pintu batu besar, dengan ukiran rumit yang memancarkan cahaya lembut.
“Ini dia,” bisik Hu Zi. “Pintu masuk ke makam leluhur.”
Yan Zhao melangkah maju, menyentuh ukiran pada pintu. “Apa kita hanya… membukanya?”
“Tidak semudah itu,” jawab Qi Xuao Xuan. “Pintu ini memerlukan sesuatu untuk membukanya. Sesuatu yang hanya kita miliki.”
Shen Yue memperhatikan ukiran di pintu itu. “Lihat, ada lima celah di tengah ukiran. Apa ini berarti kita harus memberikan sesuatu bersama-sama?”
Qi Xuao Xuan mengangguk. “Kemungkinan besar. Tapi apa yang harus kita berikan?”
Hu Zi merasakan sesuatu berdenyut di dalam tubuhnya, seolah-olah mutiara merah mencoba memberinya jawaban. Ia mendekati pintu dan meletakkan tangannya di salah satu celah.
Seketika, cahaya merah keluar dari tubuhnya, mengalir masuk ke dalam ukiran. Teman-temannya memandang dengan kaget, tetapi mereka segera mengikuti. Shen Yue, Yan Zhao, dan Qi Xuao Xuan masing-masing meletakkan tangan mereka di celah lainnya, memberikan energi mereka.
Ketika semua celah terisi, pintu itu mulai bergetar. Cahaya yang memancar dari ukiran menjadi semakin terang, sebelum akhirnya pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong gelap yang tampak tidak berujung.
“Ini hanya permulaan,” kata Qi Xuao Xuan, melangkah masuk pertama.
Mereka mengikuti dengan hati-hati, setiap langkah mereka menggema di dalam lorong. Di dinding-dinding lorong itu terdapat ukiran-ukiran yang menceritakan kisah-kisah kuno tentang perang besar dan jatuhnya para dewa.
Hu Zi memperhatikan ukiran itu dengan saksama. Salah satu gambar menarik perhatiannya: seorang pria membawa mutiara merah, dengan seluruh dunia di sekitarnya terbakar.
“Apa itu… aku?” gumamnya, merasa bulu kuduknya meremang.
“Bukan,” jawab Qi Xuao Xuan tanpa menoleh. “Itu adalah orang yang memegang mutiara sebelummu. Dan seperti yang kau lihat, ia tidak berhasil menyelamatkan dunia.”
Kata-kata itu terasa seperti beban di dada Hu Zi. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Dengan hati penuh keberanian, ia melangkah lebih dalam ke lorong yang tampaknya tidak memiliki akhir, menuju kebenaran yang telah lama terkubur.