"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Berusaha, Tsania.
"Sudah jam segini. Niklas kenapa belum pulang juga, sih?" Tante Julia menggerutu sembari menatap jarum jam yang ada di dinding ruang tengah.
"Mungkin banyak pekerjaan di kantor, Tante."
"Ibu, Tsania. Sekarang kamu sudah menjadi istri Niklas," katanya dengan senang hati mengoreksi.
Pada saat seperti ini, Tante Julia terlihat sangat bahagia. Kontras dengan perasaanku dan Niklas. Aku tahu Tante Julia sangat menginginkan aku dan Niklas menikah, tetapi pernikahan kami ini bukanlah pernikahan yang bahagia. Seperti pernikahan antara sepasang yang saling mencintai.
Justru aku dan Niklas sebaliknya. Walaupun aku pernah sangat mencintainya, tetapi seiring berjalan waktu semua hal berubah. Termasuk sikap dan perasaan Niklas. Cinta Niklas hanya untuk Elma.
"San, Niklas seharusnya nggak begini. Kalian baru menikah dan dia sepantasnya cuti dulu. Biar kalian bisa di rumah berdua terus. Lebih cepat hamil lebih baik," kata Tante Julia.
Ya, Tuhan! Apa hanya itu yang penting untuk mereka? Tak peduli kalau mereka menyakiti aku dan Niklas berkali-kali?
Senyum tipis aku perlihatkan pada Tante Julia sebagai jawaban atas ucapannya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Sebab, aku sudah malas berdebat.
"Nanti biar Ibu yang bicara pada Niklas. Mustinya dia mau duduk tenang dan kalian merencanakan perjalanan berdua. Biar begitu, kalian adalah pengantin baru," imbuh Tante Julia.
"Tan—maksudku, Ibu, maaf ... tapi aku dan Niklas nggak seperti apa yang Ibu pikirkan. Kami sudah berakhir sejak lama dan Niklas hanya mencintai Elma," ucapku. Mau tidak mau, aku harus menyinggung masa lalu.
"Bagi Ibu, kalian nggak pernah berakhir." Tante Julia mendekat dan memelukku selama sekian detik. "Ibu dan Ayah Sandy menyayangi kamu, Tsania. Hanya kamu yang seharusnya pantas bersama Niklas."
"Aku menyakiti Niklas, Bu."
"Hanya terpaksa mengalah karena Elma, 'kan?" Tante Julia melepas pelukan kami. "Sekarang Niklas sudah kembali padamu, Tsania. Karena memang Niklas hanya untukmu."
Aku tak mengerti jalan pikiran Tante Julia—haruskah kupanggil dia mama. Baiklah aku akan memanggilnya Ibu Julia.
Padahal akulah yang membuat anaknya begitu kecewa dan membenciku sampai detik ini. Oh, atau Niklas akan membenciku selamanya. Namun, Ibu Julia tetap saja menganggap bahwa akulah yang pantas bersama Niklas.
Alasan Ibu Julia tidak menyukai Elma adalah karena mendiang ibu kami. Mendiang ibuku meninggal setelah didiagnosa tak bisa memiliki anak lagi dan bahkan kedua sel telurnya harus diangkat karena penyakitnya. Dia berpikir Elma memiliki masalah yang sama, sehingga menolak keras pernikahan antara Niklas dan Elma.
Namun, di sisi lain, Elma sangat mencintai Niklas. Aku tidak mau membuat Elma, ibu, dan ayah membenciku. Apalagi aku adalah saudara angkat Elma. Dianggap tak tahu terima kasih dan balas budi, aku membiarkan Elma bersama Niklas. Walaupun Niklas tak pernah setuju dengan keputusanku.
"Kalau itu wanita lain, aku nggak akan bisa, Tsania. Jika bukan kamu, berarti nggak akan ada wanita selain kamu." Begitulah yang diucapkan Niklas beberapa tahun lalu.
Akan tetapi, itu tak mengubah keputusanku. Aku membuat Niklas membenciku hanya agar dia mau menikahi Elma. Sampai-sampai aku harus membohongi perasaanku dan menjadi orang jahat. Berteriak di depan Niklas kalau aku tidak pernah mencintainya. Aku sengaja membawa lelaki lain dan mengatakan pada Niklas, aku memiliki pria idaman lain yang lebih membuatku bahagia.
Sekarang aku merasakan pembalasan atas kejahatanku terhadap Niklas. Karena akulah yang telah membuatnya terluka.
"Tsania?" tegur Ibu Julia, mengeluarkan aku dari lamunan. "Percaya sama Ibu, Niklas masih mencintaimu."
"Ibu, itu nggak mungkin terjadi, tapi karena kalian berharap aku bisa memberikan anak untuknya, aku akan berusaha semampuku. Karena memang hanya itulah yang kalian inginkan dariku."
Ucapanku tidak dijawab oleh Ibu Julia. Makin menambah rasa nyeri dalam dada. Bukankah itu artinya ucapanku benar?
———oOo———
Aku terbangun sekitar pukul dua belas malam. Suasana rumah ini benar-benar sepi, meski setiap kali membuka mata, aku teringat akan Elma. Setiap jejak kenangannya ada di tempat ini dan sekarang aku tinggal di sini. Tersiksa oleh kenangan Elma dan Niklas.
"Sebaiknya aku turun," gumamku sesaat setelah merasakan tenggorokanku kering.
Selimut tebal kusingkap pelan. Kakiku berjalan hati-hati saat keluar dari kamar. Samar-samar aku mendengar suara mesin mobil berhenti di depan halaman depan rumah. Niklas? Dia baru pulang? pikirku.
Aku bergegas menuruni anak tangga dan dugaanku benar. Terlihat Niklas muncul dari pintu utama sambil melonggarkan dasinya. Keberadaanku sama sekali tidak dianggap karena dia berjalan melengos menenteng tas kerjanya.
Bisa saja aku mengabaikan Niklas, tetapi entah karena dorongan apa, aku malah menyusul pria itu ke ruang kerjanya. Niklas membuka jas dan duduk di kursi kerja, menyandarkan punggung seraya memejamkan mata. Aku bergegas mendekat.
"Kamu dari mana, Niklas? Ini sudah tengah malam dan kamu baru pulang? Ibumu tadi ke sini dan menanyakan keberadaan kamu. Setidaknya kamu bilang dulu kapan kamu akan berada di rumah agar aku nggak harus menghadapi ibumu sendirian," kataku memprotes.
"Aku mau pulang kapan pun, bukan urusanmu." Dia beranjak dan berjalan ke arah sofa sambil menggelung lengan kemejanya sampai sebatas siku.
"Ya, itu memang bukan urusanku, tapi bagaimana dengan ibumu? Dia datang dan memintaku untuk menghubungi kamu. Sementara aku nggak tahu harus melakukan apa. Aku nggak mau menghadapi ibumu kamu sendirian. Apa nggak bisa kamu pulang lebih awal?"
"Jangan cerewet, Tsania. Kamu nggak perlu berusaha menjadi seorang istri di depanmu dengan sikapmu ini. Di mataku, kamu bukan siapa-siapa," ucap Niklas setelah berbalik menatapku dengan wajahnya yang menyimpan kemarahan. "Kalau kamu nggak suka menghadapi ibuku, tinggal saja di tempat lain."
Aku baru tersadar jika Niklas tak lagi berbicara formal seperti biasanya. Entah karena apa, tetapi kata 'saya' yang sering terlontar dari bibirnya terkesan sangat dingin.
"Niklas?" Ucapan terakhirnya membuat perasaanku nyeri. Padahal aku sudah mau menuruti kemauan mereka, tetapi beginikah caranya menghadapiku? Dia mengusirku sekarang?
Diam-diam aku mengingat pertanyaan Ervin tadi pagi. Apa aku mencintai Niklas? Tentu saja ... tidak.
"Kenapa? Kamu nggak suka dengan ucapanku? Kalau kamu nggak suka, bilang pada orang tuaku agar mereka menyiapkan rumah lain dan kamu bisa tinggal di sana. Silakan, aku nggak keberatan." Niklas menatapku tanpa ragu memperlihatkan ketidaksukaannya. "Tapi, aku hanya akan datang jika kamu tidak kunjung hamil. Begitu kamu hamil, aku tidak akan pernah datang."
Tidakkah dia berpikir kata-katanya menyakitiku? Seakan-akan memang sangat ingin menunjukkan bahwa yang dia inginkan adalah rahim dan kehamilanku saja. Memang apa? Apa yang aku harapkan? Niklas sudah tidak mencintaiku.
"Aku tidak mau berdebat lagi, Tsania. Aku lelah dan ingin istirahat. Ingat kata-kataku tadi, jangan berusaha untuk menjadi seorang istri. Jangan berkomentar kapan aku harus pulang. Jangan mengurusku, aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Oke!" Aku berteriak tak tahan lagi dengan sikap dan kata-katanya. Memang siapa yang mau mengurus pria brengsek sepertinya? Sebelum keluar dari sana, aku memangkas jarak kami. "Memang begitulah harusnya. Kita urus saja urusan masing-masing. Asal kamu tau, Niklas, aku nggak pernah sedikit pun berharap menjadi istri kamu. Baik dulu maupun sekarang!"