BANGSAL 13

BANGSAL 13

Dua Dekade Silam

Dua dekade yang lalu, ketika malam datang menyelimuti Desa Sindarasa. Surya Katulistiwa, seorang mandor Perhutani, tengah dilanda kegelisahan. Istrinya, Selviawati, sudah menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan, dan di tempat sunyi ini, hanya ada bayang-bayang pepohonan serta suara alam yang menemani mereka.

"Arya, kamu di mana, kenapa lama sekali tibanya?" Surya menggerutu, berusaha mengusir rasa cemas yang kian mencengkeram dadanya.

Di dalam rumah yang sederhana, Selviawati merintih kesakitan, "Mas! Sakit, Mas!"

Surya mencoba menenangkan, "Sebentar, Bu. Yang sabar ya!" Namun, keadaan semakin mendesak, dan membawa istrinya ke puskesmas tampak seperti angan semata. Jarak menuju fasilitas kesehatan terdekat tak hanya jauh, tetapi juga harus melewati jalanan berbatu, tikungan tajam, dan hutan belantara.

Menyadari keadaan yang tak memungkinkan, Surya akhirnya memutuskan untuk memanggil Mbah Rejo, dukun bayi yang dikenal mampu menangani kelahiran dengan cara-cara tradisional. Malam itu, langit desa bersiap menyambut gerhana bulan total, sebuah pertanda yang menggetarkan hati penduduk setempat.

"Kang, piye?" tanya Arya saat akhirnya tiba di rumah Surya.

"Mbak mu, Mbak mu mau melahirkan," jawab Surya singkat, segera menyuruh Arya menjemput Mbah Rejo dengan sepeda motor.

"Ndang cepet, selak gerhana bulan."

Malam semakin larut, dan kegelisahan makin dalam menyelimuti Surya. Di sudut ruangan, ia memandang jarum jam yang terasa bergerak lambat, seakan-akan waktu enggan berpihak padanya.

Sebelum Arya berangkat, Surya mengingatkan, "Arya... Arya, pesen e si Mbok! Kalau mau jemput Mbah Rejo jangan menoleh ke belakang."

Arya merasa heran, "Ada apa to, Kang? Kok pakai hal-hal kaya gitu!"

"Katanya si Mbok. Biar kita cepat sampai."

Dengan penuh kesungguhan, Surya menatapnya, "Dadi cah enom sing manut, yen ono kolo mengo ki. Biasane mandi omongan e!"

Tak mau membantah, Arya akhirnya menjawab, "Ya sudah, saya tak berangkat dulu, Kang!"

Malam itu, di bawah bayang-bayang gerhana, perjuangan seorang suami dan sahabat untuk menyambut kehidupan baru di tengah keterbatasan berlanjut. Rasa khawatir bercampur harap, seiring langkah Arya yang semakin menjauh, membawa secercah harapan untuk Surya dan Selviawati.

**

Malam semakin larut, dan bulan perlahan merangkak menuju puncak, menyelimuti Desa Sindarasa dalam keheningan. Di dalam rumah sederhana itu, Selviawati bergelut dengan rasa sakit yang datang tanpa ampun. Dengan napas terengah-engah, ia merintih,

"Mas… Mas Surya! Aku dah gak kuat lagi, Mas." Tangan halusnya meremas perut yang mulai berkontraksi, gelombang demi gelombang rasa sakit yang tak bisa lagi ditahan.

Surya yang duduk di sampingnya, mengelus lembut perut istrinya, berbisik penuh kasih, "Sabar, ya, Nak. Paklikmu baru pergi cari dokter."

Namun, Selviawati tiba-tiba bangkit dengan satu tangan memegang pinggangnya yang nyeri, "Mas, aku mau ke belakang!"

Surya segera menahannya, "Bu, kamu itu bukan mau buang hajat, jadi nggak usah ke belakang. Aku malah takut kalau kamu jatuh."

"Aku bingung, Mas," Selviawati bergumam, tatapan matanya samar menahan kesakitan yang kian mendera.

Kontraksi di rahimnya semakin sering, datang dengan jeda yang makin tipis, membuatnya menggeliat kesakitan. "Sabar, Nak. Bentar lagi Paklik-mu pulang," ucap Surya, meski hatinya pun diliputi kecemasan yang kian berat. Ia tak tega melihat istrinya harus melalui malam yang begitu menyiksa ini. Sejak tadi, wanita berambut sebahu itu terus mengeluh, meminta diantar ke kamar mandi untuk buang air besar.

Surya mencoba menenangkannya lagi, "Bu, wes toh, nggak usah bangun! Tiduran saja. Itu bukan karena mau ke kamar mandi. Itu karena Bu-e ini mau melahirkan."

Selviawati menggigit bibirnya, lalu merintih lagi, "Tapi Mas, aku kudu ngeden! Aku nggak bisa kalau harus ngeden di ranjang… aku pengennya…"

Surya menahan perasaan tak tega yang kian menggerogoti hatinya. "Bu, sebentar lagi dokter datang. Sabar, ya, Bu!" ucapnya, berusaha menyembunyikan kekhawatiran dengan kata-kata yang menenangkan, meski ia tahu sesungguhnya bukan seorang dokter yang akan datang. Namun, harapan kecil itu diucapkannya untuk meredakan hati wanita yang paling dicintainya. Di balik keremangan malam, Surya menunggu, menyimpan semua kecemasan dalam diam, sementara ia terus mengelus punggung istrinya dengan penuh kasih.

**

Malam itu, di bawah langit yang bersiap menyambut gerhana bulan, Arya melaju dengan sepeda motor buntut yang sudah renta.

"Ndek jaman pejuang! Njur kelingan anak lanang. Mbiyen tak openi ning saiki ono ngendi," ia bersenandung, berharap lagu sederhana itu bisa mengusir sepi dan takut yang mulai menjalar di perjalanan.

Lampu motornya yang redup dan klakson yang tak lagi berfungsi membuatnya harus lebih waspada. Udara malam begitu dingin, menembus lapisan jaketnya hingga terasa menggigil di tulang.

Sepanjang jalan, hanya suara binatang malam yang mengiringi langkah motornya. Ketika melewati perempatan, Arya bergumam pelan, "Nderek langkung, Mbah! Nuwun sewu, assalamualaikum," seolah mengucap salam pada sosok-sosok gaib yang mungkin bersemayam di sana.

Namun tiba-tiba, suara binatang yang sedari tadi riuh mendadak hening, hanya menyisakan desis angin yang seolah membawa isyarat.

"Astagfirullahaladzim! Opo kae!" Arya menghentikan motor dengan jantung yang berdegup kencang.

Di ujung jembatan, ia melihat sosok putih berdiri kaku. Mata Arya yang minus membuat penglihatannya semakin samar. Ia mengucek mata berulang kali, berharap apa yang dilihatnya hanyalah ilusi.

Jembatan itu adalah satu-satunya penghubung antara Desa Sindarasa dan Desa Sruwen. Dengan berat hati, Arya memberanikan diri melewatinya. Ia menutup mata dan menghela napas dalam-dalam, menerjang jembatan sepanjang lima meter itu dengan doa-doa yang terbisik di bibir.

Namun nahas, di tengah perjalanan, ada sesuatu yang menempel di lengannya. Arya terkejut dan menghentikan motor, berteriak ketakutan, "Ampun, Mbah! Saya tidak mengganggu!"

Namun ketika membuka mata, ia mendapati hanya sehelai kain putih yang tersangkut di lengannya. Ternyata, kain itu adalah kain berkabung yang sudah usang, terlepas dari bambu yang seharusnya menahannya di pinggir jalan.

"Sontoloyo!" maki Arya sambil menahan tawa lega.

Setelah perjalanan panjang dan menggelitik itu, Arya tiba di rumah Mbah Rejo, seorang bidan desa yang juga dikenal sebagai dukun bayi. Dengan napas tersengal, Arya langsung menyampaikan tujuannya.

"Le, iki Malam Sabtu Pahing tanggal 1 Suro," ujar Mbah Rejo dengan nada serius, "Ayo ndang mangkat! Bayi ini harus lahir sebelum gerhana bulan. Jika tidak, dia akan membawa nasibnya sendiri."

Arya mengangguk, "Enggih, Mbah. Monggo!" Ia segera mengajak Mbah Rejo naik ke motornya.

"Cepet sitik, Le!" Mbah Rejo mengingatkan.

"Motornya gak bisa ngebut, Mbah. Motor tua," jawab Arya, sedikit menunduk.

"Dua jam lagi gerhana datang!"

"Sabar, njih, Mbah," jawab Arya, berusaha agar motor tua itu tetap melaju dengan kecepatan terbaiknya.

Malam kian larut, angin semakin dingin, dan di belakang mereka, bayangan gerhana bulan seakan semakin mendekat, seolah-olah tak sabar menyaksikan datangnya kehidupan baru di tengah desa yang sunyi.

**

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!