Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Sogokan
"Rama! Ada yang datang mencarimu. Dia menunggu di luar!"
Rama yang tadinya sedang sibuk mencuci piring kemudian menghentikan aktivitasnya. Ia melepaskan apron yang sejak tadi dikenakan dan berjalan ke arah depan restoran tempatnya bekerja.
Ia penasaran siapa yang datang menemuinya. Kalau kakaknya, biasanya akan mengirim pesan sebelum datang.
Suasana restoran tempatnya bekerja lumayan ramai. Ia melewati meja-meja para tamu. Di luar terlihat sosok lelaki berdiri membelakanginya sedang menunggu.
Ia mengulaskan senyum, yakin jika orang yang ingin menemuinya adalah Rudi, kakak iparnya. Dia berpikir Lina pasti sudah menceritakan tentang rencananya yang akan membuat kafe sendiri. Rudi pasti akan memberikan uang untuknya. Rama mempercepat langkah hingga ia menjumpai kakak iparnya.
"Ada apa kak? Tumben datang ke sini. Disuruh Kak Lina, ya?" tanya Rama dengan raut wajah penuh senyum. Bertolak belakang dengan raut wajah yang Rudi tunjukkan.
"Rama, Lina tidak menghubungimu?" tanya Rudi.
Rama mengernyitkan dahi. Sepertinya apa yang ia pikirkan tidak sesuai kenyataan.
"Kak Lina ... Tidak menghubungiku. Kita terakhir teleponan kemarin pagi. Memangnya ada apa?" ia seperti merasakan firasat buruk.
Rudi menghela napas panjang. Ia kira akan mudah menemukan istrinya. Lina bahkan pergi dari rumah tanpa membawa apapun. Paling tidak ia akan menemui Rama untuk menenangkan diri sementara.
Sepertinya memang Lina tidak mau diajak kerjasama dengannya. Padahal ia juga sudah muak dengan masa lalunya dan ingin benar-benar memulai hidup baru dengan Lina. Hanya saja, ia masih perlu banyak uang untuk menjamin kehidupan mereka.
"Lina sedang kesal padaku gara-gara aku lembur dan tidak jadi nonton. Dia pergi dari rumah, ponselnya dinonaktifkan," ucap Rudi memasang wajah sedih.
Rama agak heran mendengar kakaknya bertingkah kekanak-kanakkan seperti itu. Biasanya kakaknya mudah untuk memaafkan orang.
"Jadi, kalian bertengkar?" tanya Rama heran.
"Yah, begitulah. Rumah tangga memang kadang ada bertengkarnya."
"Ya sudah kalau begitu. Aku mau mencari Lina di tempat teman-temannya, siapa tahu ada di sana," pamit Rudi.
"Teman? Kakakku sudah punya teman ya, di kota ini?" tanya Rama curiga. Kakaknya sering datang mengunjunginya karena katanya tidak punya teman. Katanya dia bosan di rumah sendirian. Jadi, ia heran saja Rudi mengatakan kakaknya punya teman.
Rudi terlihat panik mendapat pertanyaan Rama. "Ah, itu, baru-baru ini dia ikut komunitas pertemanan. Jadi, dia lumayan punya banyak teman sekarang," kilahnya.
Rama mengagguk-angguk.
"Ya sudah. Aku pergi dulu!"
Rudi yang tidak mau diinterogasi lebih lanjut memilih untuk segera pergi. Setidaknya ia tahu istrinya tidak di tempat rama. Ia langsung kembali masuk ke dalam mobil.
"Kemana dia kira-kira."
Rudi berpikir keras menentukan tempat Lina berada saat ini.
Tiba-tiba terlintas ide untuk menanyakan kepada mertuanya. Meskipun sepertinya tidak mungkin, itu tidak bisa dilewatkan untuk bertanya.
Rudi mengambil ponselnya, mencari nomor milik ibu mertuanya. Sebelum menekan tombol panggilan, ia terhenti.
"Apa pantas aku tiba-tiba menghubungi?" gumamnya.
Rudi membatalkan panggilan tersebut. Ia beralih ke aplikasi m-banking miliknya. Ia mengulaskan senyum sembari memasukkan nominal uang yang akan ia transfer kepada ibu mertuanya. Ia menuliskan angka 20 juta kemudian mengirimnya.
Rudi beralih membuka nomor kontak dan mengaktifkan panggilan kepada ibu mertuanya.
"Halo?"
Terdengar suara jawaban dari ibu mertua.
"Halo, Ibu. Selamat malam." Rudi memberikan sapaan baik.
"Rudi ... Kamu sebenarnya ada masalah apa dengan Lina?"
Suara ibu mertua tampak terdengar pelan seperti berbisik. Ia juga membahas tentang hubungan mereka. Rudi jadi yakin jika mertuanya sudah tahu mereka ada masalah.
"Ibu, barusan aku sudah transfer 20 juta ke nomor rekening Ibu. Kebetulan aku dapat bonusan." Rudi sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Eh, benar kamu transfer ibu 20 juta? Kok banyak sekali. Terima kasih!"
Ibu mertua terdengar senang. Rudi mengembangkan senyuman.
"Iya, Ibu. Orang tua Lina juga orang tua saya. Jadi sudah wajar kalau saling memberi," ucap Rudi.
"Eh, tapi, kenapa Lina pulang-pulang wajahnya memar? Apa benar kamu yang sudah memukulinya?"
Rudi sudah menyiapkan diri untuk mendengar pertanyaan itu.
"Ah, itu, Bu. Kita memang sedikit bertengkar. Kami saling pukul, bukan hanya Lina saja yang memar. Saya juga. Rumah juga hancur. Tapi, aku memang agak kelewatan membalas pukulan Lina. Aku menyesal, Bu."
Rudi berusaha mengambil hati mertuanya. Seperti yang ia yakini, Lina tidak akan membicarakan masalah mereka yang sebenarnya.
"Ibu juga sudah menduga kalau masalah kalian bukan kesalahan satu pihak. Tapi, gara-gara itu Lina ngotot mau bercerai dengan kamu! Ibu harus bagaimana? Ibu bingung! Punya menantu sebaik kamu itu susah, tapi Lina malah mau menyia-nyiakannya."
Rudi tersenyum. Ia merasa senang ada yang memihaknya.
"Aku juga tidak tahu, Bu. Lina itu sangat keras kepala. Aku setiap hari kerja keras juga untuk dia. Tapi, hanya gara-gara masalah kecil langsung minta cerai."
"Iya, Lina memang wataknya seperti itu."
"Ibu tolong bantu bujuk Lina supaya tidak meminta cerai, ya. Aku masih sayang dengan Lina."
"Dia takut kamu pukuli lagi."
"Aku tidak akan begitu, Ibu. Kemarin hanya khilaf. Janji tidak akan terulang lagi!" kata Rudi dengan mantap.
"Ya sudah, nanti ibu akan mencoba bicara pelan-pelan padanya. Kamu juga harus membujuknya, datang ke sini dan bawa pulang Lina."
"Iya, Bu. Akan aku lakukan. Besok aku akan datang ke sana."
"Ya sudah, Ibu tutup dulu teleponnya. Takut Lina curiga. Dia sudah bilang sebenarnya ibu tidak boleh memberitahumu dia ada di sini!"
"Iya, Bu. Terima kasih."
Rudi menutup teleponnya. Ia merasa lega mengetahui dimana Lina berada. Ia hanya perlu membujuk istrinya agar kembali dengannya, menurut dengannya. Bagaimanapun juga, keluarga Lina tidak akan bisa bertahan tanpa bantuan darinya.