Dominict Seorang jendral kerajaan yang diam-diam jatuh cinta pada tuan putri namun gengsi untuk menyatakan perasaanya hal hasil Dominict jadi sering menggoda Tuan Putri. Dominict akan melakukan apapun untuk Tuan Putri_nya, pencemburu akut. Tegas dan kejam Dominict hanya lembut pada gadis yang ia cintai. Akan murka ketika sang Putri gadis pujaannya melakukan hal yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
“Pangeran Benedict?!” seru Elara, terkejut saat menyadari sosok yang berdiri di sudut gelap koridor itu.
Pangeran Benedict melangkah keluar dari bayangan dengan tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ada sesuatu yang sulit ditebak dalam sorot matanya. “Kau tampak sangat marah dengan ucapan Dominict tadi,” ucapnya, nadanya rendah namun menggoda. Rupanya, dia telah mendengar percakapan Elara dan Dominict di ruang perawatan sebelumnya.
Elara menatapnya dengan alis berkerut, pipinya memerah karena kemarahan. “Dia… Dia sangat menyebalkan!” gumamnya dengan suara tertahan, seolah mengingat kembali kata-kata menyakitkan Dominict. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, berusaha menahan emosinya.
Benedict terkekeh pelan, langkahnya mendekat hingga hanya ada beberapa jengkal di antara mereka. “Jika dia begitu menyebalkan,” bisiknya lembut, nadanya seperti racun manis, “kenapa tidak kau lakukan sesuatu untuk memisahkan dia dari orang yang dia sukai?”
Elara mendongak, matanya menyipit curiga. “Apa maksudmu, Yang Mulia?” tanyanya, mencoba membaca niat di balik senyum licik pangeran itu.
Benedict menatapnya dengan intens, matanya seperti bara api yang mengintimidasi namun memikat. “Aku hanya menawarkan dukungan,” ujarnya dengan nada yang membuat bulu kuduk Elara meremang. “Kau ingin dia sadar betapa salahnya dia memperlakukanmu, bukan? Kalau begitu, buatlah dia merasakannya. Aku akan membantumu.”
Elara terdiam, pikirannya berputar-putar. Kata-kata Benedict terdengar seperti godaan yang tak bisa diabaikan, namun dia tahu, ada sesuatu yang berbahaya di balik senyum dan nada ramahnya.
“Kenapa kau ingin membantuku?” tanya Elara akhirnya, suaranya hampir berbisik.
Benedict menyandarkan punggungnya ke dinding, matanya masih mengunci tatapan Elara. “Karena,” jawabnya pelan, senyumannya berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, hampir menyerupai pengakuan, “terkadang, kekacauan kecil adalah cara terbaik untuk membuka mata seseorang.”
Perlahan Pangeran Benedict menarik dirinya dari Elara, meninggalkannya dalam kebingungan antra keinginan memiliki Dominict dan resiko yang mungkin akan ia hadapi.
"Pikirkanlah dengan baik." Ucap Pangeran Benedict lagi sebelum ia pergi meninggalkan ruangan farmasi.
Sesaat Elara tampak berpikir tentang tawaran Pangeran Benedict, nafasnya masih memburu karena marah dan cemburunya terhadap Putri Ana yang selalu berada di mata Dominict.
"Baiklah, aku bersedia untuk bekerja sama dengan mu, Pangeran." Kata Elara, sebelum pangeran Benedict pergi meninggalkan ruangan farmasi. Meski ini sudah yang kedua kalinya pangeran Benedict mengatakan hal yang sama padanya, namun kali ini Elara telah membulatkan tekadnya untuk memisahkan Dominict dari Putri Ana.
Pangeran Benedict yang mendengar jawaban dari Elara menyeringai puas. kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan dengan puas, dengan senyuman licik bak iblis di bibirnya.
...~o0o~...
Dua Minggu berikutnya, Dominict telah di nyatakan pulih sepenuhnya dan kondisinya telah benar-benar pulih.
Di dalam ruang perawatan, Elara dengan lembut membuka perban yang menutupi luka di dada Dominict. Dengan hati-hati, ia memeriksa kembali kondisi tubuh Dominict untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah sembuh.
Sesaat, Dominict memperhatikan Elara yang begitu telaten merawatnya selama beberapa hari ini. Dominict tampak memikirkan perkataannya beberapa hari yang lalu yang membuat Elara merasa sedih.
Saat itu Dominict hanya ingin agar Elara tak melanjutkan perasaanya yang tak mungkin Dominict balas, namun saat ini Dominict melihat ketulusan Elara. Meski ia menolak perasaannya tapi Elara masih mau merawat nya dengan sepenuh hati.
"Elara..." Panggil Dominict, kali ini suaranya terdengar lebih terdengar lebih lembut saat memanggil Elara. "Aku... Aku minta maaf, tidak seharusnya aku bicara kasar seperti itu padamu, Maafkan aku."
Sejenak, Elara terdiam, matanya menatap dalam ke mata Dominict. Perasaan terkejut bercampur bahagia menyelimuti dirinya ketika Dominict dengan tulus meminta maaf kepadanya.
"iya, Jenderal. Tidak apa-apa," jawab Elara sambil menundukkan kepala dengan lembut. "Saya mengerti, Jendral mungkin bukan saya yang menjadi pilihan hati anda." Ungkap Elara, tulus.
Saat ini Dominict merasakan perasaan Elara yang mendalam padanya, dan juga sikapnya yang dewasa, Dominict merasa bersalah dengan apa yang sempat ia katakan sebelumnya.
Tiba-tiba, Dominict meraih tubuh Elara lembut dan memeluknya. Sontak saat itu Elara benar-benar terkejut dan tak bisa menyembunyikan rasa harunya, ia tak menyangka Dominict akan memeluknya. Hal yang selam ini ia dambakan, merasakan pelukan hangat dari pria yang selama ini ia cintai.
Dengan tangan gemetar dan rasa tak percaya dengan apa yang terjadi Elara membalas pelukan Dominict dengan perasaan bahagia dan perasaan haru yang menyelimuti hatinya saat ini.
"Aku benar-benar minta maaf, Elara." ucap Dominict tulus.
Namun, siapa sangka Putri Ana menyaksikan pemandangan itu tepat saat ia hendak menjenguk Dominict siang itu. Ia tidak pernah menduga bahwa kekhawatirannya selama ini tentang hubungan antara Elara dan Dominict—yang selama ini ia anggap hanya sebatas dugaan—terbukti nyata di depan matanya.
Dengan perasaan campur aduk, Putri Ana pergi meninggalkan ruang perawatan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan membuatnya sadar alasan kenapa Dominict tak pernah membalas suratnya selama bertugas di perbatasan.
Dan di hari ini juga, Dominict kembali bertugas di biro militer setelah beberapa minggu di rawat karena kejadian penyerangan di benteng perbatasan yang menyebabkan dirinya terluka parah.
Dan hari ini bertepatan dengan perayaan festival musim dingin. Setiap tahunnya akan di ada kan festival besar di kota setiap meyambut datangnya musim dingin.
Di biro militer, Thadeus menyambut Dominict dengan senyum lebar.
"Senang melihat Anda kembali, Jenderal!" sapanya, hampir terlalu ceria.
"Ya, terima kasih, Thadeus. Sekarang, bagaimana laporan beberapa hari ini?" tanya Dominict dengan nada serius, alisnya sedikit mengernyit.
Thadeus menyerahkan tumpukan dokumen sambil berkata dengan nada pelan, "Ehm... Ya, semuanya berjalan lancar. Kecuali... mungkin... beberapa masalah kecil."
Dominict menghentikan gerakannya, menoleh cepat seperti elang yang mengendus mangsanya. "Masalah kecil? Masalah apa, Thadeus?" tanyanya dengan nada mencurigakan.
Thadeus, seperti tertangkap basah mencuri kue dari dapur, mulai melirik ke sana kemari. "Ehm, itu... begini..."
Namun sebelum Thadeus sempat mengarang jawaban, pintu ruangan terbuka lebar, dan seorang pelayan wanita masuk dengan napas tersengal, rambutnya sedikit berantakan seperti baru saja dikejar angin topan.
"Tuan! Tuan Thadeus!" serunya, hampir berteriak.
Thadeus mengangkat alis, "Apa? Aku sedang sibuk diinterogasi—"
"Jenderal?!" Pelayan itu terkejut melihat Dominict juga berada di sana.
Dominict menatapnya tajam. "Ada apa?! Cepat katakan!"
Pelayan itu melambaikan tangannya dengan panik. "Tuan Putri! Tuan Putri melarikan diri lagi!"
Ruangan mendadak sunyi selama dua detik, cukup lama untuk mendengar suara burung di luar jendela. Lalu, BAM! Dominict membanting dokumen ke meja, suaranya membuat Thadeus melompat kecil.
"Bocah tengil!" teriak Dominict sambil berdiri, wajahnya memerah. "Baru saja aku pulih, sudah harus menghadapi ini lagi!"
Thadeus mencoba menenangkan situasi. "Jenderal, mungkin dia cuma pergi jalan-jalan—"
"Jalan-jalan?! Jalan ke mana? Ke Mars?!" potong Dominict, mengacak-acak rambutnya. "Lihat saja! Kalau aku menemukannya, aku akan menyeretnya ke istana sambil... sambil mengikatnya dengan tali kambing kalau perlu!"
Thadeus mencoba menahan tawa, tetapi pelayan itu hanya bisa berdiri bingung, bertanya-tanya apakah dia harus membantu atau melarikan diri juga.
"Baru saja mau aku bilang, eh, sudah kejadian," gumam Thadeus pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Dominict langsung menoleh cepat ke arah Thadeus, matanya menyipit tajam seperti elang yang baru saja menemukan mangsa. Wajahnya sudah memerah, menahan amarah yang siap meledak.
"Sudah berapa kali hal ini terjadi, hah?! Berapa kali, Thadeus?" teriak Dominict, suaranya bergema di seluruh ruangan.
Thadeus mengangkat bahu kecil, mencoba tersenyum. "Ehm... tujuh? Atau mungkin delapan kali? Tapi yang kesembilan ini kayaknya paling dramatis, sih."
Dominict mengusap wajahnya dengan kasar, lalu memandang langit-langit seperti sedang meminta bantuan para dewa. "AARGH! Mana ada putri kerajaan yang tingkahnya seperti dia?! Apa dia pikir dia ini burung? Terbang bebas ke mana saja?!"
Thadeus, yang mulai menikmati situasi, menambahkan, "Kalau boleh jujur, dia lebih mirip kucing, sih. Hilang, muncul, lalu kabur lagi tanpa permisi."
Dominict menatap Thadeus, wajahnya penuh frustrasi. "Kucing?! Aku lebih cocok menyebutnya... kambing liar yang sulit diatur! Kalau aku menemukannya, Thadeus, kalau aku menemukannya, aku bersumpah aku akan... aku akan menggiringnya pulang seperti menggiring domba ke kandang!"
Thadeus menutup mulut, menahan tawa yang hampir meledak. Pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan mulai mundur perlahan, berusaha menghindari tornado amarah Dominict.
Sementara itu, Dominict mendengus keras, berjalan mondar-mandir seperti naga yang sedang bersiap menyemburkan api. "Baru saja aku pulih! Baru saja aku mau tenang! Tapi tidak! Putri Ana pasti punya radar untuk tahu kapan aku sedang menikmati hidup, dan dia memutuskan untuk menghancurkannya!"
Thadeus, kali ini tidak tahan lagi, membisik pelan, "Mungkin itu bakat khususnya, Jenderal."
Dominict berhenti, melotot pada Thadeus. "Thadeus, aku serius. Jangan buat aku tambah gila hari ini."
Thadeus hanya tersenyum simpul, menunggu drama berikutnya sambil diam-diam menikmati kekacauan kecil itu.
"Aku benci pekerjaanku kalau begini caranya!!" teriak Dominict sambil menghentakkan tinjunya ke meja hingga tinta tercecer ke mana-mana.
"Aku akan mencarinya sendiri!" geramnya, lalu bergegas keluar dari kantornya dengan langkah besar-besar, membanting pintu kayu besar hingga suara gemanya terdengar di seluruh aula biro militer. Pintu itu berderit pelan, seperti takut kena marah juga.
Thadeus, yang sedang masih berdiri di dalam ruangan bersama pelayan tadi, hanya mengangkat alis. "Sudah aku duga, Jenderal bakal kerasukan lagi."
Thadeus mencoba menahan tawa ketika mendengar Dominict berteriak lagi dari kejauhan, "DAN KENAPA ADA KAKI KUDA DI TEMPAT MAKAN PUTRI?! SIAPA YANG TIDAK MEMBERSIHKANNYA?!"
Thadeus menggeleng sambil terkikik. "Ya ampun, sepertinya kali ini kaburnya Putri Ana benar-benar bikin dia gila."
bersambung....
Pangeran Benedict juga ok 🫨 bingung