Di tengah hiruk pikuk dunia persilatan. Sekte aliran hitam semakin gencar ingin menaklukkan berbagai sekte aliran putih guna menguasai dunia persilatan. Setiap yang dilakukan pasti ada tujuan.
Ada warisan kitab dari nenek moyang mereka yang sekarang diperebutkan oleh semua para pendekar demi meningkatkan kekuatan.
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak yang masih berusia 7 tahun. Dia menjadi saksi bisu kejahatan para pemberontak dari sekte aliran hitam yang membantai habis semua penduduk desa termasuk kedua orang tuannya.
Anak kecil yang sama sekali tidak tau apa apa, harus jadi yatim piatu sejak dini. Belum lagi sepanjang hidupnya mengalami banyak penindasan dari orang-orang.
Jika hanya menggantungkan diri dengan nasib, dia mungkin akan menjadi sosok yang dianggap sampah oleh orang lain.
Demi mengangkat harkat dan martabatnya serta menuntut balas atas kematian orang tuanya, apakah dia harus tetap menunggu sebuah keajaiban? atau menjemput keajaiban itu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleta. shy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis seribu pesona
Ambisi besar pendekar sekte aliran hitam semakin membuat resah dunia persilatan. Konflik antara pendekar aliran putih dengan pendekar aliran hitam makin menjadi jadi.
Baru-baru ini, komplotan pendekar aliran hitam kembali melakukan serangan dadakan di sebuah desa yang berada di sebelah barat wilayah kekuasaan kerajaan Hua.
Sebuah desa kecil namun tidak terpencil yang bersebelahan dengan Desa Bunga Teratai Biru.
Desa Bunga Melati.
Jarak antara keduanya jika ingin ditempuh, akan memakan waktu 3 jam perjalanan bagi para pendekar. Namun untuk orang biasa, memerlukan waktu berkali-kali lipat lebih lama sekitar 3 atau 4 hari.
Seperti yang terjadi 3 tahun yang lalu, saat para pemberontak pendekar aliran hitam berhasil meluluh lantahkan sebuah desa hanya dalam jangka waktu kurang dari satu hari.
Saat 3 tahun yang lalu, tujuan mereka melakukan itu hanyalah sebagai bentuk teror saja kepada setiap pendekar maupun orang biasa agar mewanti-wanti setiap pergerakan dan langkah yang mereka perbuat.
Secara tidak langsung mereka ingin merusak mental setiap orang pendekar dari kalangan aliran putih supaya menganggap mereka adalah momok yang sangat menakutkan.
Namun untuk kali ini, serangan yang dilancarkan oleh mereka memiliki sebab dan tujuan yang pasti, yaitu memperebutkan sebuah kitab kuno yang diketahui berada pada pimpinan desa tersebut.
Desa Bunga Melati.
Setiap desa pasti tidak lepas dengan seorang mata-mata yang berkamuflase menjadi apapun itu entah tokoh masyarakat ataupun para petinggi desa itu sendiri. Demi mendapatkan informasi yang penting dan akurat, tidak jarang para pendekar sekte aliran hitam juga menggunakan jasa dari dalam untuk mempermudah urusan mereka selain mengirimkan mata-mata.
Penghianat.
Setelah tersebar luas kejadian yang menimpa desa Bunga melati, membuat semua desa mulai lebih memperketat keamanan wilayahnya masing-masing. Tidak terkecuali desa Bunga teratai biru yang wilayahnya bersebelahan langsung dengan desa Bunga melati.
Tepat hari ini, semua para tetua desa Bunga teratai biru melakukan pertemuan dadakan yang semuanya dipimpin langsung oleh guru mereka yaitu Jiao Ming.
Tetua Gui Lui, murid ketiga dari Jiao Ming. Pendekar dengan julukan Naga biru yang mampu menguasai teknik pedang naga biru, salah satu jurus langka di dunia yang sulit sekali untuk dikuasai.
Tetua Zeelong, murid keempat dari Jiao Ming. Pendekar pedang es, pemilik cincin ruang waktu yang sangat langka, hanya ada 5 saja di dunia persilatan.
Tetua Arkan, murid kelima Jiao Ming. Merupakan saudara tiri dari Jiao Ming sendiri yang mempunyai keahlian dalam kecepatan serta keseimbangan dalam penggunaan jurus-jurus pedang.
Tetua Choi, murid Jiao Ming dengan pendekar bertipe racun. Namanya dikenal luas sebagai Choi Pendekar Racun.
Tetua Bai Feng, tetua yang merupakan kerabat dekat dari nenek Ling maupun mendiang tetua Chow. Bai Feng dikenal sebagai pendekar ahli strategi dalam sebuah pertarungan individu maupun kelompok.
Adapun muridnya yang pertama adalah Ling-Ling atau nenek Ling, dan yang muridnya yang kedua adalah mendiang tetua Chow.
Masing-masing mempunyai kelebihan dalam penguasaan ilmu beladiri. Antara satu dengan yang lainnya mempunyai keunggulan yang berbeda-beda.
Akan tetapi, semuanya merupakan tipe pendekar berpedang. Kesamaan yang menjadikan mereka dikenal oleh semua orang dengan julukan 6 tetua pedang.
Kecuali nenek Ling yang telah digugurkan jabatannya sebagai tetua desa.
...
"Tuan muda, tolong kasihanilah kami. Maafkan kesalahan putriku, dia tidak tau apa-apa tuan muda. Aku mohon, hukum saja aku."
Seorang pria paruh baya memelas meminta belas kasih orang dihadapannya ini yang ingin menuntut balas perbuatan putri kecilnya karena telah berani menyinggung dan mengusik hati dirinya.
"Maafkanlah dia tuan muda. Ini semua salahku yang telah gagal mendidiknya dengan baik." Merendahkan harga diri demi keselamatan putri kecilnya.
"Cuih!!" Dasar kaum rendahan! Kau pikir aku akan menerima permintaan maaf seperti ini ha!" Orang ini adalah Xingcho. Watak dan prilakunya semakin menjadi-jadi. Diusianya yang ke-11 tahun ini, membuat Xingcho semakin brutal dan semena-mena atas tindakannya. Siapapun tidak ada yang boleh menyinggungnya, tidak perduli siapapun yang salah.
"Ayah bangunlah, jangan merendahkan diri didepan manusia seperti ini" Seorang gadis kecil berusia 9 tahunan berusaha mengangkat tubuh ayahnya supaya tidak mengemis dan merendahkan harga dirinya.
Gadis kecil yang memiliki paras cantik nan mempesona. Kulit putih, hidung mancung, rambut terurai lurus, serta memiliki bola mata yang indah membuat Xingcho terpesona dan berusaha dekat dengan dengan gadis itu awalnya.
Namun, dengan tegas gadis kecil itu menolaknya karena tau sifat buruk Xingcho yang sudah menjadi perbincangan hangat setiap orang tanpa terkecuali.
"Aku Xingcho, ayo perkenalkan dirimu" Kepercayaan terhadap dirinya membuat Xingcho dengan angkuh mengulurkan tangan berusaha menjabat tangan gadis kecil tersebut.
"Anak ini cantik sekali" batin Xingcho menatap mata berwarna biru tersebut.
"Maaf, aku tidak mau" Jawab gadis kecil itu tanpa melirik sedikitpun ke arah Xingcho.
"Ayolah" Xingcho memaksa dan menarik tangan gadis kecil itu agar berjabat tangan dengannya.
"Aku tidak mau kenal dan dekat denganmu!! Tolong jauhi aku." Tegas gadis kecil itu risih.
Kalimat yang membuat Xingcho naik pitam sampai dengan kasarnya dia menarik tangan gadis itu lagi memaksanya supaya menjadikan dirinya sebagai teman.
"Ayo kita berteman." Xingcho memaksa.
Gadis kecil itu melawan dan menggigit tangan Xingcho yang meninggalkan bekas ditangan anak berusia 11 tahun tersebut.
"Aku tidak mau berteman denganmu!! Pergilah!!" Gadis kecil itu dengan mata yang menyala-nyala mendorong keras dada Xingcho.
Banyak pasang mata melihat kejadian itu namun satu orang pun tidak berani bereaksi atas tindakan Xingcho yang sangat tidak sopan tersebut.
Kepalang malu atas penolakan gadis kecil dihadapannya, Xingcho dengan pengaruh dari kakeknya langsung mendorong keras gadis kecil itu sampai terjatuh tanpa rasa takut walaupun banyak mata memperhatikan tindakan kasarnya itu.
"Kau siapa berani menolak permintaanku?" tanya Xingcho berjalan mendekat kearah gadis itu yang reflek bergerak mundur dengan mendorong tubuh menggunakan perut dan lutut, sementara tangannya bertumpu di depan.
Ngesot.
Sampai pada akhirnya ayah dari gadis cantik itu datang dan langsung bersujud di kaki Xingcho meminta maaf atas tindakan putrinya walaupun sebenarnya dia tau jika tidak mungkin putri kecilnya itu mencari pasal terlebih dahulu dengan orang.
Xingcho menarik pedang dari sarungnya, tangannya mengacung bilah tajam pedangnya menghadap ke depan ingin menebas leher pria paruh baya didepannya ini.
Pria paruh baya itu bukan tidak mampu untuk melawan. Dengan ilmu beladirinya, sangat lebih dari cukup untuk membuat anak kecil dihadapannya ini terkapar tidak bernyawa hanya dalam beberapa kali serangan.
Akan tetapi, yang dia pikirkan adalah akibat kedepannya seandainya kalau dia benar-benar berbuat nekat. Masa bodoh dengan keselamatan dirinya, dia tidak peduli. Semua ini tentang keselamatan putri kecilnya.
Apalagi latarbelakang keluarga Xingcho yang tidak main-main, bukan orang sembarangan. Kesalahan kecil seperti ini perlu diselesaikan agar tidak menimbulkan konflik dikemudian hari.
Namun, hal yang bodoh juga jika sampai mengorbankan nyawanya begitu saja ditangan bocah ingusan ini. Kalau dia mati, bagaimana dengan hidup putri kecilnya?
Pria paruh baya itu terpikirkan sebuah ide sebelum dia benar-benar akan menghajar anak ini jika memang rencananya kali ini tidak bisa membuat Xingcho menyarungkan kembali pedangnya.
Merogoh saku di celananya, mengeluarkan sesuatu yang mirip seperti batu berwarna kehitam-hitaman. Pria paruh baya itu menyodorkan benda tersebut dihadapan Xingcho."Tolong maafkan kami berdua tuan muda"
Xingcho menyipitkan mata dengan fokus pada satu titik yang membuat matanya kian terbelalak.
"Permata siluman?" Xingcho kaget.
Semua pendekar pasti lebih mudah mengenali bentuk persis dari permata siluman, apalagi Xingcho. Di akademi tempat dia mengembangkan bakat ilmu beladirinya, sudah sering dijelaskan tentang permata siluman, dari bentuk hingga ciri-cirinya.
Semenjak beberapa tahun terakhir, desa memutuskan mendirikan sebuah akademi atau tempat pendidikan untuk anak-anak dalam proses belajar pengetahuan ilmu beladiri baik dari segi teori maupun praktek demi membentuk generasi emas dihari depannya.
Permata siluman yang jika dikonsumsi akan meningkatkan daya tahan tubuh. Xingcho ingat sekali pembahasan tentang itu.
"Sini!!" Xingcho merampas begitu saja permata siluman itu dari tangan pria paruh baya tersebut.
"Cih, dasar anak tidak tau malu. Jika saja aku mampu, akan aku cincang anak ini hidup-hidup" Geram pria paruh baya itu dalam hati.
Sementara gadis kecil itu mengepalkan tangannya keras melihat ayahnya rela bersujud demi melindungi dirinya. Padahal dia tau jika ayahnya mampu melibas anak kurang ajar itu dengan mudah.
Namun dia juga tau kalau ayahnya tidak mau mengambil resiko besar jika melakukan hal tersebut apalagi Xingcho merupakan cucu dari Bai Feng, tetua desa Bunga Teratai Biru.
"Dasar tidak tau malu!!" Batin gadis kecil itu menatap netra mata Xingcho penuh amarah.
"Aku akan memaafkan mu dan gadis itu kalau kau bisa memberikan permata siluman ini lebih banyak kepadaku."
Dengan tidak tau malunya Xingcho malah ingin meminta permata siluman lagi. Xingcho berkata dengan berbisik agar tidak didengar oleh orang lainnya. Kekesalan terhadap gadis kecil itu seketika menghilang setelah melihat permata siluman yang sekarang berada ditangannya.
Xingcho menyadari jika pria paruh baya ini tidak ingin orang lain mengetahui jika dia mempunyai barang ilegal di desanya yaitu permata siluman. Nampak jelas jika permata siluman itu hanya ditunjukkan didepan Xingcho dengan tangan sampingnya terlihat menutup agar orang-orang yang melihat tidak mengetahui jika ini adalah permata siluman.
Tidak perduli dari mana asal permata siluman yang didapatkan oleh pria paruh baya tersebut. Dia ingin semuanya tanpa berbagi kepada orang lain. Kesempatan emas bisa mengkonsumsi permata siluman dalam jumlah banyak tanpa perlu mengeluarkan uang ataupun keringat untuk mendapatkannya.
"Hanya ini yang ku punya tuan muda, aku tidak memilikinya lagi" Pria paruh baya itu berkilah seraya berpura-pura memelas.
Xingcho tersenyum sinis. "Dua hari lagi aku akan kesini. Aku menginginkannya lagi. Kalau kau tidak memberikannya...." Xingcho semakin mendekatkan mulutnya ditelinga pria paruh baya itu, kemudian mengucapkan kata-kata yang membuat empunya membelalakkan mata.
"Sial!!!!" pria paruh baya itu mengumpat dalam hatinya.
Xingcho melenggang pergi begitu saja, perasaan senang karena sesuatu yang berharga sudah didapatkannya secara gratis.
"Tidak peduli orang tua itu mendapatkannya dari mana, yang penting aku bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Aku tidak akan melepaskan kedua-duanya." Xingcho tersenyum licik.
Pria paruh baya itu langsung memeluk putri kecilnya yang terlihat begitu emosi karena tindakan Xingcho yang berani merendahkan ayahnya.
"Apakah aku boleh membunuhnya?" tanya gadis kecil itu sambil menatap mata ayahnya penuh arti.
"Tidak perlu putri kecil ayah mengotori tangan yang bersih suci ini."
"Sabar ya nak. Jika dia berani bertindak lebih, ayah pastikan anak itu akan menyesali tindakan cerobohnya karena telah berurusan dengan orang yang salah."
Kedua ayah dan anak itu menatap siluet bayangan Xingcho yang telah pergi menjauh, juga melihat tatapan orang-orang berbagai ekspresi kepada mereka berdua.
"Selagi bisa, jangan pernah memperlihatkan kemampuan kita didepan umum" ucap pria paruh baya itu pelan.
Gadis kecil dengan seribu pesona itu hanya menganggukkan kepalanya paham.
Tidak semua harus ditunjukkan didepan semua orang akan kemampuan maupun kelebihan yang kita punya. Adakalanya semua itu harus ditutupi entah demi keamanan, kenyamanan serta keterpaksaan.
"Kau memang cantik nak. Cantik seperti mendiang ibumu. Ayah khawatir dengan kecantikan yang kamu miliki, justru akan menjadi malapetaka untuk dirimu dimasa mendatang." Batin pria paruh baya itu seraya menatap putri kecilnya yang juga sedang menatap dirinya.
Saling menatap.