Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Monokrom
Silahkan razia typo dan lain-lain, karena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.
...|Happy Reading|...
...••★••...
Vika membuka pintu megah rumah Eyang Sinta, tadi selagi sarapan pagi di kediaman Bu Sekar, Vika menelepon Bu Jum untuk mengemas barang-barangnya yang dulu ia bawa saat pindah ke rumah ini. Berat rasanya meninggalkan rumah ini, walaupun Vika hanya tinggal beberapa bulan disini. Kenangan yang terukir di rumah ini begitu banyak hingga membuat Vika tak rela pergi dari sini.
"Assalamualaikum, Bu Jum?"
"Waalaikumsalam, Mbak Vika beneran mau pergi?" sahut Bu Jum, yang ternyata baru saja keluar dari kamar Vika, ia membawa koper besar sedangkan koper kecil dan ransel Vika sudah berada di samping pintu.
Pembantu yang setia mengabdi pada Eyang Sinta selama bertahun-tahun itu ikut sedih dengan keadaan yang menimpa Vika. Ia juga sudah mendengar tentang apa yang terjadi dari Bu Sekar, dari mulai kecelakaan yang menimpa majikannya sewaktu ia pergi berbelanja hingga sampai berita Vika menginap di rumahnya karena sudah diusir oleh Hendra.
"Iya Bu, Vika juga udah dapet apartemennya, Bu Jum sudah kemas barang-barang Vika?"
"Sudah Mbak, tapi kenapa barang-barang yang Eyang kasih enggak dikemas juga?"
"Enggak Bu, itu semua bukan hak aku lagi. Ya sudah ya bu, Vika pergi dulu, Bu Jum jaga kesehatan ya, Vika titip Eyang. Assalamualaikum." ujar Vika sembari menyalami wanita paruh baya itu.
"Waalaikumsalam, Mbak Vika hati-hati, jaga kesehatan juga ya mbak!" Vika mengangguk, berat rasanya pergi meninggalkan rumah ini beserta kenangannya, tapi ia harus pergi. Ia tak boleh egois, jika terus bersama keluarga ini kesialan akan terus menimpa orang-orang yang Vika sayangi, tak peduli dengan rumor tentang ia pembawa sial itu, atau memang dirinya yang membuat mereka terjebak masalah.
"Vika, gue anter yah?" Vika tersentak ketika melihat Faiq dan mobilnya tiba di hadapannya. "Kak Faiq nggak istirahat?"
"Udah cukup istirahatnya, sekarang masuk gue anter lo pindahan." Vika tersenyum mendengar itu, dia tahu dibalik kejudesan Faiq dalam berbicara menyembunyikan perhatian terhadapnya, apa benar yang waktu itu Faiq serius ingin menjadikan Vika pacarnya? Kalau benar itu akan sangat susah, karena Vika juga menyadari bahwa yang selama ini ia rasakan kepada Faiq mulai berubah, ini akan membuat Vika jadi sulit menjauh darinya.
"Huft, Kak aku harap hubungan kita seperti ini aja." ucapnya lirih.
"Lo ngomong apa sih?"
"Enggak, bukan apa-apa lupakan yang tadi."
Faiq mengangguk ia menanyakan alamat Apartemen baru Vika setelah itu tidak ada percakapan lagi, perjalanan sunyi merayapi mereka berdua tidak ada yang berani memulai percakapan hingga sampai di apartemen yang akan ditempati Vika.
"Vik, lo masih sekolah di SMA Nusa Bakti-kan?"
"Aku enggak tahu kak, mungkin aku bakal keluar dan milih kerja aja uang SPP di situ kan mahal, belum lagi aku bayar sewa apartemen dan biaya hidup aku." ujar Vika sembari melepas sabuk pengamannya. "Gue bantu lo, gue udah bilang gue akan selalu bantu lo."
"Enggak kak, jangan! Aku nggak mau membebani Kak Faiq dengan setumpuk masalah yang aku punya. Lagi pula aku bisa aja pulang kampung kalau sekiranya aku kesusahan hidup di sini, di kampung lebih murah biaya hidupnya." Vika tersenyum tipis, ia keluar dari dalam mobil yang sudah terparkir rapi di lahan parkir. Gadis itu mengeluarkan koper kecilnya dan ransel, sementara Faiq mengeluarkan koper yang lebih besar dari dalam bagasi.
Hati kecil Faiq terluka mendengar perkataan dari gadis yang diam-diam telah mengambil sebagian dari hatinya. Memikirkan mereka akan tinggal berjauhan saja membuat Faiq frustasi dan apa ini? Mereka akan beda sekolah, bahkan akan ada kemungkinan dimana ia tak bisa melihat wajah Vika secara langsung?
Mereka berjalan menuju lift, keheningan merayapi kedua insan itu hanya kontak mata dengan isyarat yang berbeda, satunya ingin menjauh dan satunya lagi ingin mendekat pada akhirnya keduanya sama seperti kutub magnet yang sama mereka akan sama-sama terlontarkan. Otak kecil mereka memikirkan hal-hal runyam yang kemungkinan akan terjadi, tapi bagaimana cara lolos akan hal-hal itu?
"Kak Faiq" ucap Vika.
"Vika" ucap Faiq. Vika tersenyum tipis dengan situasi akward ini. "Lo duluan." ucap Faiq pada akhirnya. Pemuda itu mengeratkan pegangannya pada koper milik Vika, ia jadi nervous sekarang.
"Kak, sebaiknya Kakak pulang, Kakak-kan belum sembuh lalu-"
"Enggak usah bantu lo? Gue bosen denger lo ngomong kayak gitu berulang-ulang. Ini kemauan gue, gue tulus bukan karena paksaan Eyang atau Ibu. Gue–gue sayang sama lo, gue suka lo Vika, ini serius!"
Sudah lebih baik mengatakan perasaannya secara barbar daripada tidak sama sekali. Itu keputusan yang akhirnya Faiq buat setelah sekian waktu mereka dilingkupi oleh keheningan.
Vika menatap manik Faiq, ada frustasi dan rasa cemas yang dapat ia lihat dari mata elangnya. "Kak nggak seharusnya Kakak suka sama aku, Kakak tahu sendiri kan aku–"
"Shuut, lo enggak salah semua ini takdir, please support your dream, your future. Jangan pesimis Vika semakin lo berpikir negatif semakin banyak peluang pikiran negatif itu menjadi nyata."
Sial kenapa harus sekarang pusing lagi, uggh..
"Gue bisa istirahat di apartemen lo sebentar aja? Gue mau... tidur." suara Faiq bertambah serak seperti sedang batuk berdahak, sorot matanya meredup dan keseimbangannya sedikit goyang, melihat itu Vika langsung merengkuhnya hanya waspada jika pria itu terjatuh nantinya. "Kak Faiq–Kakak udah minum obat belum?" tanya Vika, jantungnya berdebar kencang hingga dapat ia dengar dengan telinga sendiri. Eh? Apa ini hanya suara detak jantungnya atau yang lain? Faiq?
"Belum, tapi gue enggak pa-pa kok, gue biasa gini kalau lagi demam."
"Nggak pa-pa gimana? Badan Kakak tambah panas tahu!"
Tingg
Pintu lift terbuka menampakan seorang anak laki-laki kecil, ia memiringkan kepalanya ke kiri ketika melihat Faiq dan Vika seperti berpelukan.
"Dek, bisa tolong bantu Kakak? Teman Kakak sakit." Mendengar itu anak kecil tersebut berlari menuju arah dia datang. Vika putus asa ia kira anak itu pergi karena takut dengannya. Gadis itu bingung bagaimana cara membawa Faiq dan koper-kopernya ke unit apartemen namun ternyata anak kecil itu kembali dengan membawa pria paruh baya, kemungkinan ayah dari anak laki-laki itu.
"Temannya kenapa, Mbak?" ujar pria itu, dia mengambil Faiq yang masih menyender pada Vika. Mengalihkan tubuh Faiq agar bertumpu pada tubuhnya.
"Teman saya demam Pak, dia maksain bantu saya pindahan jadi makin drop begini." ujar Vika, ia melirik ke arah Faiq yang memejamkan mata.
"Ooo, apartemen Mbak-nya nomor berapa?"
"Nomor 26 Pak."
Pria paruh baya itu dengan sigap memapah Faiq menuju apartemen Vika, sedangkan anak kecil tadi dan Vika membuntuti di belakang sembari membawa semua kopernya.
Pria itu membaringkan Faiq pada tempat tidur yang ada. "Di kamar saya ada beberapa obat, saya ambilkan ya tunggu sebentar."
"Terimakasih Pak."
"Kak aku buatin teh ya." Faiq tetap diam, dia mengangguk pelan sambil menekan pangkal hidungnya. Selang beberapa menit pria paruh baya itu kembali dengan kantong plastik berisi beberapa obat. "Terima kasih Pak, ini saya sudah buatkan teh."
"Makasih Mbak, kalau butuh bantuan bisa ke kamar saya nomor 30." Vika mengangguk, menyetujui itu. Lalu membawa cangkir teh kepada pria paruh baya itu dan anaknya yang sedari tadi masih menunggu di kamar Vika.
"Kak, duduk obatnya diminum dulu." mendengar itu Faiq langsung mendudukan tubuhnya, Vika langsung memberi beberapa bantal di belakang punggung Faiq untuk membuat pemuda itu merasa nyaman. "Melihat kalian berdua saya jadi ingat mendiang istri saya."
"Hee? Istri bapak sudah tiada?" Vika menutup mulutnya begitu sadar bahwa volumenya cukup tinggi untuk orang yang terkejut.
"Iya dulu dia meninggal karena melindungi Cio dari kecelakaan, Cio jadi bisu padahal kata dokter tidak ada luka pada pita suaranya, kata dokter yang menangani Cio, Cio bisu karena trauma." Vika menelan ludahnya susah payah, pasti ini sangat sulit bagi Cio yang masih kecil mungkin umurnya baru enam tahun. Vika sempat mengira anak kecil itu tak mau bicara karena malu tapi ternyata tidak, miris sekali nasibnya.
"Cio, kenalin nama Kakak, Kak Vika. Cio kalau bosan main aja ke sini ya?" Bocah itu mengangguk sembari tersenyum kecil, senyumnya sangat manis.
"Ya sudah kalau begitu saya sama Cio mau pergi belanja dulu, Cio ikut Papah biar temennya Kak Vika istirahat." Anak itu langsung menggandeng tangan ayahnya. Vika jadi ingat ayahnya sendiri, banyak hal yang biasa mereka lakukan bersama.
Sudah lama aku enggak ketemu ayah, ayah baik-baik aja ya, Vika janji enggak akan ngerepotin ayah lagi, Vika kangen ayah.
"Kak, nanti kalau mau pulang Vika teleponin Kak Aries ya, biar nganter Kakak." Mendengar itu Faiq mengangguk, matanya ingin terpejam secepat mungkin karena efek obat yang baru saja ia makan.
...*...
...*...
...*...
...TBC...
...Thanks for Reading 💙🌻...
...Jangan lupa like dan komen ya🫶...
...Luv You All💙🌻...
^^^🐞Kepik Senja^^^