Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fenomena Memasuki Gerbang
Akbar memperhatikan sekeliling dengan lebih seksama. Ketika mereka tiba di lampu merah, matanya tertuju pada seorang pengamen di tepi jalan.
Pria itu memainkan gitar sambil menyanyikan lagu ceria, menarik perhatian orang-orang yang lewat.
Akbar: “Mang Toing, ada uang recehan tidak untuk diberikan ke pengamen?”
Mang Toing menoleh dan tersenyum.
Mang Toing: “Oh, tentu saja, Den Niko. Tunggu sebentar.”
Mang Toing membuka laci kecil di dasbor dan mengeluarkan beberapa uang recehan. Dia menyerahkannya kepada Akbar, yang merasa senang bisa melakukan sesuatu yang baik.
Akbar: (melambaikan tangan) “Ini untukmu!” (menyerahkan uang ke pengamen)
Pengamen itu menatap Akbar dengan terkejut, lalu mengucapkan terima kasih dengan senyum lebar, senang mendapatkan perhatian dan dukungan.
Melihat momen itu, Akbar merasa hatinya sedikit lebih ringan. Meskipun dia berada dalam situasi yang sulit, tindakan kecil ini memberinya rasa tujuan dan koneksi dengan dunia di sekelilingnya.
Setelah lampu hijau menyala, mobil melanjutkan perjalanan. Akbar kembali menatap ke luar, merasa lebih siap untuk menjalani hari yang penuh tantangan ini.
Setelah memberikan uang kepada pengamen, Akbar kembali bersantai di kursi mobil. Namun, tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya menarik perhatian. Dia mengeluarkan ponsel dan melihat pesan masuk.
Maya: Mamah sudah transfer 10 juta untuk uang jajan kamu seminggu, ya!
Akbar terkejut dan membaca pesan itu dua kali untuk memastikan. Sebuah jumlah yang cukup besar bagi seorang dewasa sepertinya.
Akbar: (dalam hati) Wow, 10 juta? Ini luar biasa, tapi untuk apa?
Dia merasa sedikit terbebani oleh tanggung jawab yang datang bersama uang itu. Dia tahu, sebagai Niko, ada harapan besar untuk menggunakan uang itu dengan bijak.
Mungkin untuk kegiatan sekolah atau membantu orang lain.
Akbar menatap ponselnya sejenak, merasakan campuran antara kegembiraan dan kecemasan. Dia ingin memanfaatkan uang itu dengan baik, menjaga kepercayaan yang diberikan Mamah kepadanya.
Akbar: (dalam hati) Oke, Gue harus memikirkan cara terbaik untuk menggunakannya.
Dengan pikiran yang mulai terisi oleh rencana, dia menutup ponselnya dan kembali menatap ke luar, merasa semakin siap untuk menjalani hari yang penuh tantangan ini.
Akbar merasa sedikit lelah setelah semua peristiwa pagi itu. Dia memutuskan untuk berpura-pura tertidur, berharap bisa menghindari pertanyaan tentang tempat-tempat di Jakarta yang masih asing baginya.
Dengan mata tertutup, dia membiarkan pikirannya melayang.
Beberapa menit kemudian, suara mesin mobil dan suara lalu lintas yang ramai menjadi latar belakang, mengantar Akbar ke dalam keheningan yang nyaman.
Akbar: (pura-pura bangun) “Mang Toing, dah nyampe belum?”
Mang Toing menoleh sambil tersenyum, tampak mengerti maksud Akbar.
Mang Toing: “Kan rumah Aden ada di PIK, masih jauh dari sekolah Aden. Sabar dulu, Aden Niko, tidur lagi aja.”
Akbar tersenyum, merasa lega karena tidak perlu menjawab pertanyaan yang sulit. Meskipun dia berpura-pura tidur, dia menyerap informasi dari percakapan ini. Dia tahu bahwa PIK, atau Pantai Indah Kenangan, adalah kawasan perumahan elite yang sering dibicarakan orang-orang.
Akbar: (dalam hati) Jadi, rumah mereka di sana. Mungkin aku harus belajar lebih banyak tentang Jakarta. Ini semua terasa baru dan menarik, tapi juga sedikit menakutkan.
Membayangkan kawasan tersebut, dia bisa merasakan atmosfer kemewahan dan keanggunan yang mengelilingi tempat itu.
Rasa ingin tahunya semakin tumbuh, dan dia bertekad untuk menjelajahi setiap sudut kota ini.
Sambil mendengarkan suara kendaraan yang bergerak di luar, Akbar kembali memejamkan mata, meresapi suasana, sambil menunggu momen selanjutnya dalam perjalanannya.
Karena kelelahan, Akbar akhirnya benar-benar tertidur di dalam mobil. Suara mesin yang bergetar dan gerakan mobil membuatnya merasa nyaman, dan dia tak sadar berapa lama dia tertidur.
Setelah beberapa waktu, Mang Toing dengan lembut membangunkannya.
Sesampainya di gerbang Sekolah, Mang Toing, supir pribadi Niko, berkata, "Den, dikit lagi kita sampai. Maaf, Den, tolong bangun."
Akbar mengerjap, masih setengah terlelap di kursi belakang. Dia menghela napas dan mencoba mengusap matanya, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti.
Suasana pagi yang cerah di luar mobil menggoda untuk terus tidur, tetapi dia tahu bahwa hari ini ada banyak hal yang menantinya.
Dengan perlahan, Niko bangkit dan melihat ke luar jendela. Dia menyadari dirinya telah sampai di gerbang sekolah.
Gerbang Depan Sekolah
Ketika Akbar melihat keluar jendela, suara bising di gerbang sekolah sangat luar biasa.
"Tiiinnnnn.... Toooooonn...Breemmzzzz ...... Breemmmmzzz Breeemmmmmzzzzzzz....."
"VROOOOM! .........VROOOOM! .........
RRRRRAAAAAWWRR!"
Klakson mobil menggema, dan suara mesin mobil-mobil mewah terdengar jelas di telinganya. Ia merasakan getaran semangat yang menyelimuti suasana, seolah-olah hari ini adalah hari istimewa.
Di sekelilingnya, kerumunan orang-orang di jalan tampak terpesona oleh mobil-mobil mahal yang melintas, beberapa di antaranya berusaha mengambil foto.
Akbar, kini dalam tubuh Niko, merasa campur aduk. Di satu sisi, ada kegembiraan untuk akhirnya bisa menjalani kehidupan yang selama ini hanya bisa ia impikan. Di sisi lain, rasa cemas tentang bagaimana seharusnya dia bersikap sebagai Niko.
Akbar, yang masih di dalam mobil, memandang sekeliling bangunan dengan mata terbelalak. Apa yang dilihatnya adalah gerbang besar yang megah, mirip dengan gerbang kerajaan Eropa.
Ornamen-ornamen artistik dan detail arsitektur yang menakjubkan membuatnya bertanya-tanya, apakah ini benar-benar sekolah?
“Gerbangnya sebesar ini? Keren banget!” pikirnya dalam hati, rasa ingin tahunya semakin membuncah. Dia terpesona oleh kemewahan dan keindahan lingkungan sekitarnya.
Akbar juga memperhatikan mobil-mobil mewah yang tengah mengantri di luar gerbang, masing-masing dengan supirnya yang terlihat rapi dan profesional. Beberapa siswa tampak bersantai di dalam mobil, sementara yang lain berbincang-bincang dengan teman-teman mereka, seolah tidak ada beban.
Kombinasi antara kemewahan dan kesibukan ini menciptakan suasana yang membuatnya bersemangat sekaligus cemas. Dia membayangkan betapa menawannya kehidupan di sini, dengan semua perhatian yang diberikan pada anak-anak yang bersekolah di tempat ini.
"Kalau aku bisa mendapatkan perhatian Maya di sini," pikirnya, "semuanya pasti akan berbeda."
Ketika Akbar asyik melihat sekeliling dari dalam mobil, tiba-tiba salah satu penjaga sekolah berpakaian modis, lengkap dengan jas yang rapi, menghampiri mobil sedan putih milik Akbar.
Penjaga itu tampak percaya diri, dan dari cara dia berjalan, Akbar bisa merasakan bahwa dia adalah orang yang penting di sini.
Akbar merasakan jantungnya berdegup kencang saat penjaga itu mendekat. Ia melihat penjaga itu memperhatikan logo emas di mobil, seolah-olah mengenali tanda tersebut.
“Sepertinya mereka tahu siapa aku, atau setidaknya tahu tentang keluarga ini,” pikir Akbar, rasa bangga dan gugup bercampur aduk.
Penjaga itu mengetuk kaca jendela dengan sopan, dan Akbar dengan cepat menurunkan kaca lebih dalam, menampilkan senyum yang berusaha ia tiru dari foto-foto Niko.
“Selamat pagi, Tuan. Apakah Anda memerlukan bantuan?” tanya penjaga dengan nada hormat, jelas ingin memastikan siapa yang ada di dalam mobil tersebut.
Akbar mengangguk, berusaha terdengar tenang meski di dalamnya gelisah. “Pagi! Saya Niko, baru saja tiba. Terima kasih!”
jawabnya, berusaha terdengar percaya diri.
Dengan itu, penjaga tersebut mengangguk dan tersenyum, seolah-olah yakin akan identitasnya. Akbar merasa ada rasa hormat dan keistimewaan yang menyelimuti situasi ini, dan dia tahu bahwa hari ini adalah awal dari petualangan baru yang tidak akan pernah dia lupakan.
Tak lama setelah itu, penjaga tersebut mengeluarkan walkie-talkie dari kantungnya dan dengan tegas berkata, “VIP was here. Clear the line!” Suaranya tegas dan profesional, membuat suasana menjadi semakin serius.
Akbar mengamati bagaimana para penjaga lainnya segera merespons perintah tersebut. Mereka bergegas untuk membuka jalan, memberi ruang bagi mobil putih yang dinaiki Akbar.
Sementara itu, Mang Toing menghidupkan mesin mobil kembali, dan suara mesin menggema di antara hiruk-pikuk di gerbang.
Breemmmmzzz Breeemmmmmzzzzzzz!!
Akbar merasa jantungnya berdebar kencang. Dalam sekejap, mobilnya melintas, sementara para penjaga sigap mengatur lalu lintas dan memastikan kendaraan lain tetap berhenti.
Mobil putih itu melaju dengan mulus, meninggalkan antrean mobil-mobil mewah yang masih menunggu dengan kebingungan.
Akbar merasa seperti pusat perhatian, merasakan kilau sorotan di sekelilingnya.
“Wow, aku benar-benar di sini!” pikirnya, senyum lebar tidak bisa dia sembunyikan.
Dengan setiap detakan ban mobil di jalanan, Akbar merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Hari ini, dia akan menjalani petualangan yang telah lama dia impikan.
Gerbang Koridor Depan
Suara derit ban mobil berbelok,"Screeech... creak... vrrrrr...!"
Di balik gerbang, Akbar bisa melihat lebih jauh ke dalam area sekolah. Mobil-mobil mewah yang sedang mengantri tampak rapi, seolah-olah semuanya tahu siapa pemilik mobil putih yang kini melaju dengan mulus. Mereka tidak berani menggangu jalan, memberikan ruang bagi Akbar dan Mang Toing.
"Tiiinnnnn.... Toooooonn...Breemmzzzz ...... Breemmmmzzz Breeemmmmmzzzzzzz....."
"VROOOOM!...........VROOOOM!............ RRRRRAAAAAWWRR!..........."
Klakson mobil menggema di sekitar, menciptakan simfoni kebisingan yang menandai kesibukan pagi. Pilar-pilar besar berdiri kokoh di sepanjang jalan masuk, memberikan kesan megah pada bangunan di depannya. Akbar terpesona oleh keindahan dan kemewahan yang mengelilinginya.
Dalam pikirannya, dia membayangkan bagaimana setiap siswa yang melintas di sini memiliki cerita unik dan kehidupan yang menarik.
Suasana pagi yang cerah itu semakin membuatnya bersemangat, seakan menanti petualangan baru yang akan segera dimulai.
"Ini lebih dari sekadar sekolah," pikir Akbar, merasakan ketegangan dan excitement bercampur aduk. Dia ingin menyelami semua ini, mengeksplorasi setiap sudut, dan merasakan kehidupan yang selama ini hanya bisa ia impikan.
Dengan setiap detakan ban mobil di atas jalanan, harapan dan rasa ingin tahunya semakin membara. Akbar tahu bahwa hari ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya.