NovelToon NovelToon
Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Qatar love
Popularitas:685
Nilai: 5
Nama Author: siscaatann

Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENGHALANG YANG TAK TERDUGA

Hari-hari berlalu, dan hubungan antara Megha dan Bima semakin dekat. Setiap momen yang mereka habiskan bersama membuat Megha merasa semakin bahagia. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal di hati Bima. Megha merasakan ketegangan yang tidak biasa di antara mereka, tapi dia berusaha untuk berpikir positif.

Suatu sore, mereka lagi nongkrong di rooftop kampus, menikmati sunset yang indah sambil minum kopi. Suasana sangat romantis dan hangat, membuat Megha merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya lebih dalam.

“Bim, lo tahu kan, betapa berartinya lo buat gue?” tanya Megha dengan suara lembut.

Bima mengangguk, tersenyum. “Iya, Meg. Gue juga ngerasa hal yang sama.”

Megha merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Jadi… kita bisa memulai hubungan ini dengan lebih serius? Gue bener-bener pengen kita jadi pasangan.”

Namun, tiba-tiba wajah Bima berubah. Dia tampak ragu, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. “Meg, tentang itu… gue sebenarnya masih bingung.”

Megha merasa jantungnya serasa terhenti. “Bingung? Maksud lo gimana, Bim?”

Bima menghela napas dalam-dalam. “Gue suka lo, dan gue seneng banget bisa deket sama lo. Tapi… kadang-kadang, gue ngerasa belum siap buat punya hubungan yang serius. Ada banyak hal yang harus gue pikirin.”

Mendengar itu, hati Megha terasa hancur. Dia merasa kecewa, marah, dan bingung sekaligus. “Tapi kita udah jalan bareng, kita udah ngebahas impian, Bim! Lo bilang kita saling dukung!”

“Gue tahu, dan itu semua benar,” jawab Bima dengan suara pelan. “Tapi ada banyak hal yang gue rasakan, dan gue takut kalau hubungan ini justru bikin kita jauh satu sama lain. Gue belum bisa menjamin apa-apa saat ini.”

Megha merasa air mata menggenang di matanya. “Jadi, lo lebih memilih untuk tidak mengambil langkah? Kita sudah dekat, Bim. Kenapa lo harus ragu?”

Bima tampak bingung, seperti dia juga terjebak antara perasaannya dan realita. “Meg, ini bukan tentang lo. Lo orang yang luar biasa, tapi gue harus jujur sama diri sendiri. Gue belum siap untuk menghadapi hubungan yang lebih serius. Gue butuh waktu.”

Megha menunduk, berusaha menahan air mata. “Gue paham, tapi gue tidak tahu harus bagaimana. Selama ini, gue udah berharap kita bisa lebih dari sekadar teman.”

Keheningan meliputi mereka. Bima berusaha meraih tangan Megha, tapi dia menarik tangannya kembali. “Gue minta maaf, Meg. Gue harap lo bisa mengerti.”

Setelah momen yang penuh ketegangan itu, mereka berdua hanya terdiam. Megha berusaha mengumpulkan kembali perasaannya yang berantakan. Dia tahu, ini adalah penghalang yang tidak terduga dalam hubungan mereka. Dia berpikir, mungkin ini adalah saatnya untuk mundur, meskipun hatinya sangat ingin terus maju.

Beberapa hari setelah percakapan itu, Megha berusaha beradaptasi dengan keadaan baru. Dia mencoba untuk tetap bersikap normal, tapi hatinya terasa berat. Di kelas, saat Bima duduk di sebelahnya, ada jarak yang tidak bisa dia jembatani. Bima tampak seperti tidak tahu harus berbuat apa, dan Megha merasa bingung dengan semua perasaannya.

“Eh, Meg!” panggil temannya, Tania, saat mereka sedang istirahat. “Lo baik-baik aja? Lo terlihat kayak ada yang mengganjal.”

Megha memaksakan senyum. “Iya, Tania. Cuma… sedikit bingung soal Bima.”

Tania mengangguk, tampak paham. “Kadang emang sulit ya, ngebangun hubungan. Tapi lo harus ingat, nggak semua hal berjalan sesuai rencana.”

“Iya, gue tahu. Tapi rasanya nyakitin banget, Tania. Gue pengen kita bisa lebih dari sekadar teman, dan sekarang dia bilang dia belum siap.”

Tania merangkul Megha. “Meg, kadang kita harus menghargai keputusan orang lain. Mungkin Bima lagi berjuang dengan perasaannya sendiri. Jangan terlalu keras sama diri lo sendiri.”

Megha menghela napas. “Iya, mungkin lo bener. Tapi itu bukan berarti gue nggak kecewa, kan?”

“Pastinya. Lo berhak merasa kecewa. Cuma, jangan biarin rasa kecewa itu menghentikan langkah lo. Gue percaya lo bisa move on,” kata Tania sambil menyemangati.

Setelah percakapan itu, Megha mencoba untuk lebih fokus pada diri sendiri. Dia mulai ikut kegiatan di kampus yang bisa membantunya mengalihkan pikiran. Dia bergabung dengan komunitas seni, mengikuti beberapa workshop, dan menghabiskan waktu dengan teman-teman.

Namun, meskipun dia berusaha, bayangan Bima tetap menghantui pikirannya. Setiap kali mendengar tawa Bima dari jauh, hatinya terasa sakit. Dia berusaha untuk tidak memikirkan perasaan cintanya yang terpendam, tapi semakin dia mencoba, semakin sulit rasanya.

Suatu hari, saat mereka sedang belajar di perpustakaan, Bima tiba-tiba menghampiri Megha. “Meg, bisa kita bicara sebentar?”

Megha terkejut, “Uh, iya. Ada apa, Bim?”

Bima terlihat serius. “Gue cuma mau bilang, meskipun kita nggak bisa berpacaran sekarang, gue tetap pengen lo ada dalam hidup gue. Kita bisa tetap temanan, kan?”

Megha terdiam sejenak, merasa sakit hati mendengar itu. “Iya, Bim. Kita bisa temanan. Tapi gue juga butuh waktu buat diri sendiri.”

Bima mengangguk. “Gue paham. Semoga kita bisa tetap dekat, meskipun dengan cara yang berbeda.”

Setelah percakapan itu, Megha merasa lebih jelas tentang apa yang dia inginkan. Dia tahu bahwa penghalang yang tak terduga ini mungkin akan membuatnya merasa sakit, tetapi dia tidak bisa terus menerus terjebak dalam perasaan yang tidak terbalas.

Hari-hari berikutnya, dia berusaha untuk melanjutkan hidupnya. Walaupun perasaannya terhadap Bima masih ada, Megha belajar untuk menghargai dirinya sendiri dan menjaga jarak yang sehat. Di dalam hati, dia berharap bahwa suatu saat nanti, Bima bisa menemukan kejelasan tentang perasaannya, dan mungkin mereka bisa kembali mendekat.

Dengan tekad baru, Megha berjanji untuk tidak membiarkan penghalang ini menghentikannya. Dia akan terus berjuang untuk kebahagiaannya sendiri, apapun yang terjadi.

Setelah perbincangan tersebut, Megha merasakan ada angin segar dalam hidupnya meskipun hatinya masih terbelah. Setiap hari, dia berusaha untuk kembali menjalani rutinitasnya dengan semangat baru. Dia mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus, belajar lebih giat, dan menghabiskan waktu dengan teman-teman dekatnya.

Tania, sahabatnya yang selalu setia, berperan besar dalam membantunya melewati masa-masa sulit ini. Mereka sering pergi ke kafe atau tempat nongkrong setelah kuliah, membahas segala hal mulai dari tugas kuliah sampai kehidupan percintaan. Tania selalu bisa menghibur Megha dengan ceritanya yang konyol, membuat Megha tertawa dan lupa sejenak tentang Bima.

Namun, meskipun demikian, setiap kali dia melihat Bima di kelas atau di sekitar kampus, hatinya selalu bergetar. Dia berusaha mengalihkan pandangannya, tapi rasanya hampir mustahil. Di dalam hatinya, dia masih berharap agar Bima bisa melihat dirinya dengan cara yang berbeda, seperti yang dia impikan selama ini.

Suatu hari, ketika sedang duduk di bangku taman kampus, Megha melihat Bima berbincang dengan teman-teman sekelasnya. Dia tampak santai dan bahagia, dan itu membuat Megha merasa sedikit sakit. “Kenapa sih gue harus merasakan ini?” pikirnya. Namun, dia tahu dia harus bisa mengatasi perasaannya dan tidak membiarkan semua ini mengganggu fokusnya.

Waktu berlalu, dan semester semakin mendekati ujian akhir. Megha semakin fokus belajar. Dia sering belajar kelompok dengan teman-teman sekelasnya, berusaha untuk mengejar ketertinggalan dan meraih nilai yang baik. Namun, di balik semua usaha itu, dia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan perasaan yang tersisa untuk Bima.

Suatu malam, saat sedang belajar di kamar, Megha mendapat pesan dari Bima. “Meg, ada tugas kelompok yang harus kita kerjakan. Bisa ketemu di perpustakaan besok?”

Hati Megha berdebar-debar. Dia belum siap untuk bertemu Bima dalam situasi yang lebih dekat. Namun, dia tahu tugas tersebut penting dan tidak bisa menghindar. “Oke, Bim. Jam berapa?” jawabnya dengan berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

“Jam 3, ya?” balas Bima.

Megha mengangguk pada diri sendiri. “Oke, bisa. Semoga aja ini nggak terlalu awkward.”

Keesokan harinya, saat dia tiba di perpustakaan, Bima sudah menunggu di sana. “Hey, Meg!” sapanya dengan senyum lebar.

“Hey, Bim,” jawab Megha sambil berusaha tersenyum meski dalam hati dia masih merasa campur aduk. Mereka mencari tempat yang cukup nyaman untuk duduk dan mulai mengerjakan tugas.

Sementara mereka bekerja, Megha merasakan ada ketegangan di antara mereka. Bima berusaha untuk bersikap normal, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Dia tampak lebih terbuka, dan kadang-kadang, mereka berbagi tawa ketika salah satu dari mereka membuat lelucon kecil. Namun, di saat yang sama, ada perasaan canggung yang tak terhindarkan.

Setelah beberapa saat, Bima tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. “Meg, maaf kalau gue bikin lo merasa bingung kemarin. Gue cuma butuh waktu buat ngerespon perasaan ini,” katanya, menatap mata Megha dengan serius.

Megha merasa hatinya bergetar. “Gak apa-apa, Bim. Gue paham kok. Kadang-kadang kita memang butuh waktu untuk merenung.”

Bima mengangguk. “Iya, bener. Tapi, kadang gue merasa bersalah juga. Lo udah ngasih kesempatan yang banyak buat gue, dan mungkin itu yang bikin gue bingung.”

Megha merasa sedikit lega. “Gue cuma pengen lo jujur sama diri sendiri, Bim. Kalo lo belum siap, ya udah. Kita bisa temanan tanpa ada tekanan.”

“Makanya, itu yang ingin gue lakukan,” jawab Bima dengan nada lembut. “Gue tetap pengen kita dekat. Gue nggak mau kehilangan lo sebagai teman.”

Mendengar itu, Megha tersenyum. “Iya, kita bisa jadi teman. Gue harap ini bukan akhir dari semua ini.”

Selesai dengan tugas, mereka memutuskan untuk makan siang bareng. Di tempat makan, obrolan mereka semakin hangat dan santai. Bima mulai membuka diri lebih banyak, berbagi cerita tentang hidupnya, cita-citanya, dan segala hal yang membuat Megha merasa dekat lagi dengannya. Namun, di balik semua itu, Megha masih merasa was-was akan perasaan yang dia simpan.

Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar kampus. Suasana di luar sangat cerah, membuat Megha merasa lebih baik. Mereka tertawa, mengobrol tentang hal-hal konyol yang terjadi di kampus, dan sepertinya semua beban di antara mereka mulai perlahan-lahan menghilang.

Tapi, saat mereka kembali ke kelas, Bima mendadak jadi lebih serius. “Meg, kalo lo masih merasa ada yang kurang antara kita, please kasih tau gue. Gue nggak mau ngelakuin hal yang salah atau bikin lo sakit hati.”

Megha terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan kata-katanya. “Gue ngerasa baik-baik aja, Bim. Mungkin ini semua emang butuh waktu. Gue harap lo bisa memberi diri lo waktu itu.”

“Lo bener,” jawab Bima sambil mengangguk. “Gue janji untuk nggak terburu-buru. Kita bisa pelan-pelan.”

Hari-hari selanjutnya, hubungan mereka mulai membaik. Mereka tidak lagi merasa canggung dan bisa berkomunikasi dengan lebih nyaman. Namun, di dalam hati Megha, rasa cintanya untuk Bima tidak pernah padam. Dia tetap berharap bahwa suatu saat, Bima bisa membuka hati dan melihatnya dengan cara yang lebih dalam.

Saat semester semakin mendekati akhir, Megha berusaha untuk tetap fokus pada studinya. Dia tahu, saat ujian datang, semua perhatian harus tertuju pada hasil yang ingin dia capai. Tetapi di malam hari, saat dia bersantai, pikirannya selalu kembali kepada Bima. Dia berharap, semoga suatu saat nanti, semua akan berjalan seperti yang dia inginkan.

Seiring berjalannya waktu, Megha mulai menyadari bahwa cinta tidak selalu harus dipaksakan. Kadang, cinta perlu waktu untuk tumbuh, seperti bunga yang perlahan-lahan mekar di bawah sinar matahari. Dia berharap agar Bima bisa menemukan kejelasan dalam dirinya, dan mungkin, dia juga bisa menemukan jalannya menuju kebahagiaan yang dia impikan.

“Apapun yang terjadi, gue akan tetap berjuang untuk apa yang gue rasa,” pikir Megha sambil menatap bintang-bintang di langit malam. “Gue akan menunggu, sampai saatnya tiba.”

Begitulah Megha, tetap optimis meskipun ada penghalang yang tak terduga di depan mereka. Dia percaya bahwa cinta, dalam segala bentuknya, akan selalu menemukan jalannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!