🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#16
#16
"Namanya … " Ammar menerawang, menggaruk kening dengan jemari kecilnya, "Lupa …" Jawabnya dengan seringai lucu.
Hilda tersenyum sembari mengadak rambut Ammar, "Gimana sih … ngajak main Om-Om tapi lupa tanya nama, itu tidak sopan namanya. Lain kali jangan diulang lagi ya?"
Ammar mengangguk, kemudian kembali melanjutkan makan malamnya.
Usai makan malam, seperti biasa Hilda menemani kedua putranya belajar, tak lama, karena karena Azam dan Ammar tak bisa terlalu lama berkonsentrasi, kecuali jika mengerjakan hobi mereka.
Jam 10 malam ketika mobil Irfan berhenti di Halaman. Lelahnya seketika hilang manakala menatap sang istri yang masih sibuk dengan pembukuan Catering dan Perkebunan, Irfan tahu Hilda pun sama lelahnya seperti dirinya, namun Hilda menahan kantuk demi menanti kedatangan suaminya.
"Eh … Mas, sudah datang, kok aku gak dengar suara mobil?" Hilda berdiri kemudian mencium tangan suaminya.
"Iya … tadi mobil langsung di bawa Pak Han pulang, karena besok harus service rutin." Jawab Irfan. "Lapar sayang." Keluh Irfan.
"Iya … aku sudah siapkan pepes ikan kesukaan Mas. mau mandi dulu atau makan dulu?"
"Aku mandi dulu saja."
Hilda mengikuti Irfan ke kamar mereka, ia menyiapkan baju dan celana rumahan untuk sang suami, kemudian kembali ke Dapur, untuk menyiapkan makan malam Irfan.
.
.
Malam semakin larut, usai sepasang jiwa itu saling membasuh kerinduan, di balik selimut, Irfan memeluk erat tubuh istrinya, baru setengah hari di luar rumah ia sudah kelewat rindu pada Ibu dari kedua putranya tersebut.
"Kenapa, Mas?" tanya Hilda heran, sudah bertahun-tahun menikah, Irfan masih saja posesif terhadap dirinya.
"Jika ditanya kenapa, aku pun tak tahu jawabannya, tapi aku berharap kamu selalu ingat, bahwa aku sangat mencintaimu," Aku Irfan.
Hilda mendongak menatap wajah Irfan yang kini tengah memejamkan mata. "Aku pun, Mas."
Irfan tersenyum mendengar jawaban Hilda, “kamu tidak bohong kan??"
"Ish … harusnya aku yang tanya begitu." sungut Hilda sembari mendorong dada suaminya.
"Kenapa? Wajar kan jika aku berpikir begitu? istriku sungguh luar biasa, wanita cantik yang lemah lembut, penyayang, dan kini bersiap mengembangkan Catering nya menjadi semakin terkenal bukan hanya di Yogyakarta, tapi juga di Ibu Kota. Jangan malu ya, karena suamimu ini hanya buruh perkebunan … "
Hilda membungkam mulut suaminya dengan telapak tangan, "Jangan dilanjutkan, Mas. Jika ada yang ketakutan disini, akulah orangnya, sebelum menikah dengan mu aku hanya janda dengan seorang anak, Mas datang membawa secercah asa, bahkan menempatkan aku di sisimu, menjadi bidadari hatimu, aku memiliki keluarga dengan do'a seorang Ibu di dalamnya, bahkan aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. wajar jika aku takut kehilangan semua itu. Bagiku, Mas terlalu sempurna. Terima kasih karena mengizinkan aku mengembangkan bakatku hingga aku berhasil sampai di titik ini. Jika tidak ada Allah diantara kita, mungkin aku akan mencintai suamiku melebihi cintaku pada Tuhanku." Hilda membalas pelukan suaminya.
Kegagalan pertamanya bersama Aldy masih menyisakan rasa sakit, walau ia sudah berusaha lupa dan menghapus semua kenangan, tapi semua itu kini seperti bayangan hitam yang terus memayungi rumah tangganya bersama irfan.
Wajar jika Hilda ketakutan, karena baginya Irfan adalah pria sempurna, rupawan, dengan segala kebaikan hati dan cakap budi pekerti. ia loyal pada sesama, dan seorang petani dan pengusaha perkebunan yang sukses. Pastinya banyak wanita yang kini mengincar posisi Hilda.
"Yah … kamu benar, kita sama-sama saling membutuhkan, Semoga Allah tak cemburu dengan perasaan kita, hingga membuat Nya memisahkan perasaan kita." Irfan mengecup sekilas bibir Hilda. "Oh iya … bagaimana aktivitas anak-anak hari ini?"
.
.
“Papa kapan pulangnya?” Tanya Reva dengan suara manjanya yang khas.
Aldy mengerucutkan bibirnya, “maafkan Papa sayang, sepertinya masih 10 hari lagi.”
Reva menunduk sedih, membuat Aldy merasa bersalah, ia pun sudah teramat merindukan putri kecilnya tersebut, tapi apalah daya, karena ia bertanggung jawab pada banyak pegawai yang bergantung juga pada kinerja dan kecakapannya sebagai seorang pemimpin.
"10 hari itu berapa lama Pah?" Tanya Reva.
Aldy mengerutkan keningnya, ia meletakkan gawainya agar bisa menggerakkan kedua tangannya, "Nih … jika kesepuluh jari kamu habis, itu berarti 10 hari sudah berlalu." jawab Aldy, membuat Reva tersenyum senang karena ia akan mulai hitung mundur menggunakan kesepuluh jarinya.
"Yeeeyy … oke Papa, mengerti."
"Bye Papa, I love you…"
"Papa love you to sayang."
Perbincangan Papa dan Anak itu pun berakhir.
Karena Aldy sedang malas berbicara dengan sang istri, maka ia buru-buru mematikan gawainya, padahal di ujung sana Widya sudah siap membombardir suaminya dengan banyak pertanyaan.
Aldy terlalu lelah berulang kali menjelaskan, bahkan mencoba memahami kecemburuan Widya pada mantan istrinya, namun Widya seperti sengaja berkepala batu, tak pernah mau mengerti akan penjelasan Aldy, jadi kini Aldy tak ingin berpanjang kata lagi, karena ia sudah cukup lelah dengan semua rentetan masalah perusahaan.
Beberapa waktu berlalu, Aldy buru-buru menutup laptopnya, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 16 tepat. Seperti ada panggilan alami untuk kembali menengok Lapangan Bola di gedung sebelah, karena kemarin ia tak menjumpai Ammar, mungkin sedang libur, maka hari ini ia ingin memastikan keberadaan bocah tersebut.
Wajahnya berseri-seri ketika ia berlari kecil meninggalkan lobi, Aldy bahkan meninggalkan semua barang-barangnya di ruangan, karena nanti usai main bola ia akan kembali.
Senyumnya benar-benar merekah ketika melihat Ammar masih sibuk mengolah bola dengan kedua kakinya, padahal ia sedang duduk menunggu jemputan.
"Ammar … !!!" Seru Aldy ketika jaraknya semakin dekat.
Ammar menoleh ke sumber suara, ia pun tersenyum, lupa pada peringatan Yangkung nya untuk tidak berinteraksi dengan orang asing.
Aldy berlari kecil, kedua tangannya melepas dasi yang masih mengalung di lehernya. Begitu tak sabar menghampiri Ammar, bocah asing yang baru ia kenal, tapi Aldy merasa dekat sebagaimana ia berdekatan dengan Reva, putrinya sendiri.
Karena konsentrasinya terpecah, bola di kaki Ammar tiba-tiba menggelinding ke jalan raya, Aldy mulai panik ketika Ammar mengejar bola tersebut, bahkan ia belum sempat berteriak mengingatkan, ketika sebuah mobil melaju kencang di dekat Ammar, hingga membuat bocah tersebut terpental ke sisi jalan dengan dengan darah mengalir cepat dari kepala dan beberapa bagian tubuh kecilnya, sesaat setelah tubuhnya terpental.
"Ammaaaarr …!!!" Aldy berteriak keras, jantungnya seperti melompat keluar dari tempatnya, ini pertama kalinya ia menjadi saksi mata sebuah kecelakaan, dan ia merasa raganya lah yang terhempas dari ketinggian.
Dengan cepat orang-orang berkumpul melihat apa yang sedang terjadi, "Tolooong … siapapun tolong panggil ambulance, anak ini butuh pertolongan!!" pekik Aldy, berharap ada orang baik yang mau membantunya.
"Ammar … " Aldy menepuk pipi Ammar beberapa kali, sadar betul bahwa usahanya sia-sia, karena Ammar sudah tak sadarkan diri.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg